Zaman dulu, NU dan Muhammadiyah, tidak bisa dimungkiri, susah bertemu, meskipun ada juga yang muda bertemu. Sindir-sindiran, bahkan tak jarang yang keras, biasa terjadi. Di NU, banyak tokoh yang berikhtiar mendekatkan, dengan misalnya menjelaskan bahwa jumlah salat taraweh itu tidak perlu dipermasalahkan.
“Wong sunnah saja, kok…” begitu kata para tokoh, baik dari NU ataupun Muhammadiyah, yang ingin mendamaikan.
Tapi di kalangan awam upaya-upaya mendekatkan, memberi pemahaman, tidak berjalan mulus. Sindiran, bahkan olok-olok tetap ada. Tapi itu dulu, sekarang hubungan warga NU dan Muhammadiyah jauh labih baik. Bahkan, sekarang banyak orang NU yang jumlah tarawehnya hanya delapan, sebagaimana Muhammadiyah, plus witir tiga. Begitu juga orang Muhammadiyah sekarang, banyak yang sudah terbiasa dengan tahlil dan selawatan yang aneka macam itu.
Redaksi Alif menulis tiga olok-olok NU untuk Muhammadiyah di bawah ini dengan maksud, agar bisa ditertawakan bersama, sekedar kenangan saja, tidak bermaksud mengingat masa “kelam”. Siapa tahu, dengan menulis ini, bisa saling mendekatkan. Setuju? Inilah tiga olok-olok yang biasa dilontarkan Nahdliyin ke saudara tuanya, Muhammadiyah:
Pertama, tentang penetapan 1 Ramadan dan 1 Syawal
Kita tahun, NU menggunakan Rukyah (penglihatan, data empirik) untuk menetapkan 1 Ramadan dan 1 Syawal. Karena itu, NU tidak bisa menetapkan kapan puasa kapan Idul Fitri jauh-jauh hari. Sementara, Muhammadiyah, menetapkan datangnya bulan puasa dan Syawal itu dengan metode Hisab, sehingga, penentuan bisa dilakukan jauh hari. Misalnya, Muhammadiyah menentukan 1 Ramadan itu saat awal bulan Sya’ban, jauh-jauh hari.
Nah, orang NU suka iseng tuh, komentar yang mestinya gak perlu. Bolehlah komentar, tapi yang ilmiah dikit. Kalau ndak ngeri ilmu falak, ya tanya pada ahlinya, baru komentar. Apa sih komentar atau olok-olok orang NU?
Orang NU biasa komen begini: “Buru-buru amat ngumumin 1 Ramadan. Sabar dikit napa, kayak mau puasa besok saja?”
Kedua, tentang berkat tahlilan
Ada orang Muhammadiyah ikut tahlilan, memperingati tujuh hari tetangganya yang meninggal, yang tentu saja NU. Niatnya baik sekali, tenggang rasa.
Tapi, orang Muhammadiyah ini tidak membawa berkat saat pulang, sebagaimana jemaah tahlil yang lain.
Orang NU komen: “Mas, kalau gak mau bawa pulang, kita makan di tempat aja berkatnya…”
Ketiga, tentang orang Madura
Yang ketiga ini sangat terkenal, yakni nasihat cara cari pasangan orangtua Madura untuk anak-anaknya.
“Nak, kamu jangan kawin beda agama, kawinlah sesama orang NU, mininal orang Muhammadiyah..”
***
Bagaimana.. apakah Orang Muhammadiyah punya olok-olok atau “komen” buat orang NU? Saya siap mendengarkannya…