“Orang kita yang berangkat haji orang kaya atau orang miskin? Hayu jawab, orang Indonesia yang berangkat haji sugih opo kere (kaya atau miskin)?”
Demikian dilontarkan Kiai Maimoen Zubair dalam sebuah pengajiam di Senori, Tuban, pada bulan Syawal 1429 atau Oktober 2008. Dalam ceramah itu beliau menggunakan baji safari warna gelap, kopyah putih, dan duduk di kursi. Di meja ada segelas teh. Beliau tampak segar bugar meski sudah berumur 80 tahun.
Pertanyaan Mbah Moen yang menggunkan bahasa Jawa itu dijawab pelan-pelan oleh jemaah yang hadir: kaya.
Tapi, sekali lagi, jawaban jemaah pelan-pelan, mungkin merasa pertanyaan atau tebak-tebakan Mbah Moen adalah jebakan.
Dan benar, Mbah Moen menyalahkan jawaban jemaah. Beliau mengatakan, jemaah haji asal Indonesia itu miskin-miskin. “Kalau mereka kaya, ya masuk restoran, bukan masak,” katanya.
Kontan jemaah tertawa. Jemaah haji yang diceritakan Mbah Moen mungkin jemaah zaman dahulu, yang tinggal di tenda-tenda ala kadarnya dan masak sendiri untuk kebutuhan makan sehari-hari. Sekarang kan makan tersedia. Tinggal makan toh?
Mbah Moen melanjutkan bahwa jemaah haji Indonesia itu bukan sekedar miskin, tapi miskin betul. “Orang Arab itu, makan ayam satu ekor berdua. Lah kita, satu ekor dimakan tujuh orang. Ini miskin atau miskin betul?”
“La ilaha illa-Allah.. hebatnya orang kita, orang Indonesia, miskin tapi merasa kaya,” lanjutnya.
Kata beliau ada yang lebih parah lagi, yakni ayam disuwir-suwir, dipotong-potong kecil sekali, lalu dimasak dikasih air banyak sekali, dikasih bumbu macam-macam, bahkan tulangnya dimasukkan juga. Bisa dimakan 20 orang.
“Eh, suwiran ayam dan air dinamakan soto, yang masak orang Lamongan. Jadi.. jadi.. namanya Soto Lamoo..”
(Tulisan ini telah berubah dari ceramah asilnya. Ada “penyesuaian” untuk kebutuhan cerita)