“Sifat-sifat yang seharusnya tidak ada pada diri murid-murid dan lulusan sekolah, justru menempel erat, seperti penakut dalam segala hal, selalu bergantung kepada orang lain, mau menjual pendiriannya, menaruh kepentingan agama di belakang, cuma memikirkan kepentingan perutnya sendiri, mau menghambakan dirinya pada uang dan pangkat serta jabatan.” (Kiai Abdul Wahid Hasyim)
“Gelar ‘kiai’, sejak zaman dahulu, tidak mudah disematkan ke sembarang orang. Orang yang digelari kiai juga cenderung menghindar karena berat tanggungannya.” (Abdul Karim Hasyim)
Mari kita peringati Hari Pendidikan Nasional kali ini, 2 Mei, dengan membaca tulisan berjudul “Memperbaiki Pesanteren” atau Pondok karya putranya Kiai Muhammad Hasyim Asy’ari, yakni Abdul Karim Hasyim, yang dimuat di majalah Berita Nahdlatoel Oelama (BNO) No. 12 Tahun 9. Mengapa hari pendidikan kita bicara pesantren?
Jawabnya, karena pesantren bagian dari dunia pendidikan yang telah tumbuh berabad-abad silam, dan sekarang masih tegak berdiri. Pesantren tidak bisa dipisahkan dari dunia pendidikan di negeri ini. Sebelum mengemukakan isi tulisan yang terbit pada April 1940, alangkah baiknya kita mengenal sekelumit tentang penulisnya, yaitu A. Karim Hasyim.
A. Karim Hasyim adalah putra dari salah seorang guru besar Islam di Tanah Jawa, pendiri Nahdlatul Ulama Hadrotusy Syaikh KH Hasyim Asy’ari. Karim Lahir di Jombang, tahun 1919. Zaman bergolakan mengusir penjajah, ia adalah satu dari sekian pejuang berlatar belakang pesantren.
Guru agama adalah rutinitas kesehariannya. Almagfurlah KH A. Karim Hasyim menjadi pengasuh Pesantren Tebuireng Jombang, sepinggal kakaknya, KH A. Wahid Hasyim. Seperti para sesepuh kita dahulu, A. Karim Hasyim adalah Kiai Haji, tapi ia lebih suka mengawali al-Faqir di awal namanya.
Di dalam tulisan tersebut, yang secara khusus diberi rubrik bernama Zelforrectie (bahasa Belanda: koreksi diri), Karim menyoroti masa depan pesantren dan para santri. Namun, tulisan tersebut melihatnya dari sisi kiai dan putranya, sebagai pengasuh dan generasi penerus pesantren. Kenapa kiai dan putranya?
“Di mana ada teluk, di situ timbunan kapal bukan?” ia menjawab bertanyaannya sendiri dengan retoris.
Yang menarik, persis sebelum halaman yang memuat tulisan Kiai Karim, majalah Berita Nahdlatoel Oelama ini menampilkan tulisan kakaknya, Kiai Abdul Wahid Hasyim (saat itu mungkin belum dipanggil kiai), judulnya “Boeat Goeroe”. Isinya, kritik tajam tentang pendidikan zaman itu. Dalam tulisannya, Kiai Wahid mengatakan:
“Kemunduran sekolah bukan saja ada pada kemunduruan ‘pelajaran’, tapi juga mendera bidang ‘pendidikan’.”
“Ada lagi kemoendoeran madaris (sekolah) kita jang lebih menjoesahkan dan lebih meroegikan, jaitu kemoendoeran dalam hal pendidikan,” tulis Kiai Wahid.
Kiai Wahid mengungkapkan, sifat-sifat yang seharusnya tidak ada pada diri murid-murid dan lulusan sekolah, justru menempel erat, seperti penakut dalam segala hal, selalu bergantung kepada orang lain, mau menjual pendiriannya, menaruh kepentingan agama di belakang, cuma memikirkan kepentingan perutnya sendiri, mau menghambakan dirinya pada uang dan pangkat serta jabatan.
Tapi sifat-sifat yang seharusnya ada pada diri murid-murid dan alumni sekolah, kata Kiai Wahid, hilang. Sifat-sifat yang hilang itu adalah berani karena benar, pandai berusaha sendiri, teguh dalam pendirian, mau mengorbankan tenaga untuk agama, mengutamakan kepentingan umum, tahu akan harga diri dan lain-lain.
Kembali pada duduk perkara yang dibahas Karim. Dalam tulisannya, ia menegaskan bahwa gelar “kiai”, sejak zaman dahulu, tidak mudah disematkan ke sembarang orang. Orang yang digelari kiai juga cenderung menghindar karena berat tanggungannya.
“Tiada moedah orang akan mentjapai gelar kiai. Roh dan djiwanja harus koeat,” tulis Karim yang saat itu berusia 21 tahun.
Ia menjelaskan makna kuat itu dengan orang yang berjiwa “Islam” 100 persen, bukan berjiwa “Selam”, artinya “nyesaki alam”, alias hanya bikin penuh jagat raya saja.
Ia berhujah, tanggungan yang berat pada kiai juga tidak hanya dialami semasa hidup, tapi juga ketika meninggal dunia, karena beban itu menurun pada anak-anaknya dan cucu-cucunya. Di sinilah, Karim mulai mengupas putra-putra kiai, mungkin juga mengupas dirinya.
Katanya, kiai muda itu kurang cakap dalam mengasuh pesantren. Sebab, kiai muda tersebut kurang mendapat asuhan dan perhatian yang sempurna. Pada saat yang sama, Karim juga mengkritik santri yang lebih takut kepada putra kiai daripada harimau, padahal putra kiai tersebut tidak lebih pandai daripada santrinya.
Keadaan putra kiai dalam amatan Kiai Karim ini disebabkan karena beban berat serta tanggung jawab seorang kiai yang banyak, sehingga tidak dapat mengurus dan memperhatikan putra-putra sendiri.
Dikatakannya, ketidaksempurnaan dalam mengasuh anak-anak itu, bukan karena kiai itu tidak tahu menahu ujung pangkal ilmu tarbiyah (pendidikan) atau tidak pernah membaca buku para pemikir dari Eropa, tapi karena tidak punya waktu, tidak ada waktu. Semenjak kecil, katanya, putra kiai itu tak dapat pendidikan dan latihan-latihan yang sempurna.
“Sajang, seriboe kali sajang, mereka itoe poetera-poetera harimau, tetapi tiada bertaring, mereka itu poetera-poetera singa tetapi ta’dapat mengaoem, dan meraka itoelah poetera-poetera banteng, tetapi ta’ bertandoek.”
Tentu saja, pendapat Karim di atas tidak sedang menggebyah uyah, karena mungkin kita tahu, tidaklah sedikit anak turun kiai pandai dan bijaksana. Bahkan mungkin, tanpa mengurangi rasa hormat pada orang tua, lebih pandai dari anaknya. Kita sama-sama melihat, banyak orang tua yang tidak nyantri, tapi ia berhasil memesantrenkan anaknya bertahun-tahun, jauh dari rumahnya, ke luar daerah, bahkan hingga ke Mekkah.
Sekedar contoh, Gus Dur, di samping memiliki ilmu agama, juga memahami sastra, musik, hingga sepak bola, sesuatu yang mungkin tidak digeluti oleh buyutnya.
Tulisan Kiai Karim tidak lebih adalah menangkap gejala, bahwa ada di antara putra kiai, pada waktu itu, kurang mendapat perhatian. Bapaknya pergi jauh ke luar daerah, guna syiar Islam, untuk mengembangkan Nahdlatul Ulama, tidak bisa pulang pada hari itu juga, karena belum ada pesawat.
Kalau pun ada di rumah, para kiai sibuk mengajar anak orang lain di pesantrennya, menerima tamu, menikahkan tetangganya, mendoakan orang mati, dan seabrek kewajibannya sebagai pemimpin umat.
Hal lain yang sebetulnya sedang diutarakan Kiai Abdul Karim Hasyim adalah, menasehati teman-temannya sesama kiai. Kita tahu jaman itu bangsa sedang membutuhkan orang-orang, kiai-kiai, yang mengerti tatanan sosial, mempunyai keluasan ilmu, dan ide cemerlang, jaringan sosial kuat, dan ikhlas berjuang untuk membangun bangsa berdaulat.
“Tapi, jangan lupa anak sendiri,” mungkin begitu peringatan Kiai Karim pada teman-teman seperjuangannya.
Kiai Karim, yang wafat di Mekkah tahun 1973, menyatakan tulisan tersebut dimaksudkan untuk turut memperbaiki pesantren kita, karena pesantren merupakan bagian dari masyarakat. Ia mengaku dengan tulisannya ini memang ingin “mengganggu” para putra kiai.
“Tapi dengan tjara itoe, boekannja penoelis bentji, atau mengandjoer-andjoerkan agar jangan kita menghormati para poetera kiai, itoe sekali-kali tidak, kita wajib hormat-menghormati dan harga-menghargai, tetapi kalau kita tahoe bahwa ada di antara kita ada jang salah, kita wadjib poela mengingatkannja, demikian poela sebaliknnya,” jelasnya.
Di akhir tulisan, Kiai Karim berkesimpulan bahwa memperbaiki pesantren harus dengan memperbaiki para santri, dan para santri itu tak dapat diperbaiki dan menjadi masak manakala para putra kiai tidak kita rebus dahulu dalam periuk pendidikan hingga masak benar.
Tulisan ini pertama kali dimuat di NU Online