Hamzah Sahal
Penulis Kolom

Founder Alif.ID. Menulis dua buku humor; Humor Ngaji Kaum Santri (2004) dan Ulama Bercanda Santri Tertawa (2020), dan buku lainnya

Gus Dur si Anak Yatim (1)

Gus Dur si Anak Yatim (1)

Sabtu pagi, 18 April 1953, Kiai Abdul Wahid Hasyim pergi meninggalkan Jakarta, menaiki mobil sedan Chevrolet warna putih. Tujuannya ke Sumedang, Jawa Barat, untuk mengadiri pertemun Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama di kota yang terkenal dengan “tahu Sumedang” itu.

Turut dalam perjalanan itu, Argo Sutjpto (sekretaris PBNU), duduk di belakang bersama Kiai Wahid. Lalu Abdurrahman ad-Dakhil, anak sulung Kiai Wahid, duduk di sebelah supir. Namun, belum sampai tempat tujuan, mobil yang mereka tumpangi oleng, tak terkendali, dan akhirnya menabrak truk.

Peristiwa itu terjadi pukul 13.00 di jalan berbukitan yang berkelok-kelok antara Cimahi dan Bandung. Situasi jalanan memang licin karena siang itu hujan.

Tabrakan itu mengakibatkan Kiai Wahid dan Pak Sutjipto terlontar dari mobil. Mereka tidak sadarkan diri. Sementara Gus Dur kecil dan supir tidak terluka.

Greg Barton dalam buku “Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid” menulis, Kiai Wahid dan Pak Sutjipto yang tidak sadarkan diri tidak langsung mendapatkan pertolongan. Mereka tergeletak di lokasi kejadian hingga pukul empat sore atau tiga jam setelah kecelakaan. Sementara Gus Dur duduk di tepi jalan menunggui ayahnya yang tak berdaya hingga ambulan datang.

“Tapi anehnya, walaupun tergundancang oleh kecelakaan maut ini, Gus Dur tetap berpikir tenang. Gus Dur ingat bahwa ketika ia duduk menunggui ayahnya yang tergolek tak sadarkan diri di tepi jalan, ia mendadak teringat akan pesan ayahnya bahwa terdapat sejumlah besar uang yang disimpan di bantalan kecil di tempat duduk bagian belakang. Ia pun mengambil bantalan itu dan memegangnya erat-erat. Ketika ia berada di rumah sakit, ia tetap tidak mau menyerahkan bantalan itu kepada orang lain. Banyak orang mengira bahwa Gus Dur muda memegangi bantalan itu erat-erat karena rasa sedihnya yang dalam. Baru ketika sang ibu tiba ia menyerahkan bantalan itu kepadanya,” Greg Barton menggambarkan situasi Gus Dur pada waktu itu.

Baca juga:  Ketika Masyarakat Kesengsem Najwa Shihab

Tapi dalam buku “Gus Dur, Berbeda itu Asyik” yang ditulis Iip D. Yahya, korban sempat dibawa ke pesantren Cibeureum Kidul, Cimahi, asuhan Kiai Izuddin. Baru setelah Pak Achsin datang membawa ambulan, korban  dibawa ke Rumah Sakit Boromeus, Bandung. Pak Achsin adalah pengurus NU Cabang Bandung.

Malamnya, Ibu Wahid Hasyim (Solichah) yang sedang mengandung tiga bulan tiba di rumah sakit, turut menunggui suaminya bersama Gus Dur. Keduanya tidak tidur semalaman.

Esok harinya, Kiai Wahid Hasyim tidak dapat bertahan. Putra sulung pendiri Nahdlatul Ulama KH Muhammad Hasyim Asy’ari menghembuskan nafas terakhir pukul 10.30, di Rumah Sakit Boromeus, Bandung. Argo Sutjipto meninggal beberapa jam kemudian.

Kiai Wahid Hasyim meninggal di usia 38 tahun. Beliau meninggalkan seorang istri yang sedang hamil tiga bulan (kelak lahir pada bulan Oktober 1953 dan diberi nama Hasyim Wahid), Abdurahman Ad-Dakhil yang berumur 12 tahun, Aisyah 11 tahun, Salahuddin Al-Ayubi10 tahun, Umar Al-Faruk 5 tahun, Lilik Khadijah.

Siapa yang menyangka bahwa perjalanan Kiai Wahid adalah perjalanan dan pertemuan terakhir dengan anak sulungnya. Gus Dur, seperti yang ditulis Barton, sering diajak menyertai ayahnya, baik saat menerima tamu di rumahnya ataupun pergi bersama dalam pertemuan-pertemuan penting.

Baca juga:  Raghib Abu Hamdan dan Seni Kaligrafi Baru

“Wahid Hasyim selalu berusaha sedapat mengkin mengajak putranya ini bersamanya. Ini semua karena sang ayah merasa senang ditemani putranya, dan juga karena hal ini dianggapnya merupakan bagian penting dari pendidikan anak sulungnya ini,” Barton.

Karena sering diajak itulah, kata Greg Barton, Gus Dur dapat menyaksikan dunia ayahnya yang penuh dengan berbagai macam orang dan peristiwa.  Cara hidup Gus Dur (dan adik-adiknya) yang sederhana dan gampangan adalah cara hidup ayahnya, cara hidup seorang Abdul Wahid Hasyim, seorang tokoh penting dalam perjuangan kemerdekaan.

Kecelakan yang merenggut nyawa bapaknya ini mungkin peristiwa tragis yang tidak akan pernah dilupakan Gus Dur selama hidupnya. Dalam cerita Barton, Gus Dur selalu menolak pendapat bahwa dirinya sangat terpengaruh secara emosional oleh kejadian itu.

“Dalam beberapa kesempatan selama tahun 1990an, saya membicarakan dengan Gus Dur tentang kematian ayahnya ini. Ia tak pernah tak bersedia membicarakan hal ini tetapi jelas bahwa sulit baginya untuk membicarakannya, dan oleh karena itu percakapan kami mengenai hal itu tidak pernah berlangsung lama,” demikian Greg Barton menulis.

Kiai Haji Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus, mengatakan kepada saya melalui Whatsapp tentang peristiwa kecelakaan itu,”Aku tidak bisa membayangkan tragisnya saat itu.”

Baca juga:  Gus Dur dalam Mata Pembelajar Filsafat di Kampus Katolik

“Gus Dur tidak pernah cerita dan aku tidak berani minta cerita hal tersebut. Aku pikir dia ingin melupakan dan aku tidak ingin mengingatkan ‘tragedi’ itu,” kata Gus Mus saat ditanya apakah Gus Dur pernah bercerita tentang kecelakaan maut itu. Gus Mus merupakan karib Gus Dur sejak di Kairo.

Senada dengan Barton dan Gus Mus, putri sulung Gus Dur Alissa Wahid  Gus Dur pasti terguncang oleh kematian bapaknya.

“Gus Dur orang yang sangat rasional, tapi pada momen-momen tertentu bisa sangat  emosional. Misalnya saat Nyai Solichah wafat, saya menyaksikan dia tersedu-sedu di pinggir makam. Jadi saya membayangkan saat Kiai Wahid wafat, Gus Dur pasti juga terguncang,” kata Mba Alissan, panggilan Alissa Qotrunnada.

Tapi juga, tambah Alissa, karena Gus Dur sangat rasional, mungkin kedukaan itu tertutup oleh prioritas yang lebih besar, mendampingi ibunda dan adik-adiknya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top