5 pra syarat orang dapat menulis dengan lancar: ada gagasan utama, punya tujuan, cukup bahan, tersedianya kesempatan (waktu), dan dorongan motivasi. 5 hal itu harus ada semua. Jika salah satunya lepas, hampir dipastikan keinginan menulis cuma ada di angan-angan.
Namun, sepulang dari nobar di kantor PBNU (yang awalnya Gus Mus ingin hadir juga, tetapi batal karena kelelahan), saya menambah 1 syarat lagi, yakni terkelolanya “perasaan”. Sebetulnya, saya ingin ketawa dengan syarat baru itu. Menulis saja kok pakai perasaan, kayak orang kasmaran saja. Tetapi, demikianlan kenyataannya. Di kamar mandi ingat pertandingan, salat Subuh terbayang gol-gol Mbappe, dengar lagu Hayya Hayya ingat muka merah pelatih Perancis Didier Deschamps. Jika bakda Subuh diteruskan menonton cuplikan gol demi gol tadi yang menguras emosi itu, hampir dipastikan tidak bisa meneruskan tidur.
Lebih dari itu, saya mengingat unsur-unsur di luar permainan sepak bola; saat perpanjangan waktu, pemain Perancis berkulit hitam semua, kecuali penjaga gawangnya. Ini melambungkan imajinasi saya tentang kehidupan sosial di Perancis. Kita tahu Perancis, di samping negara dengan tingkat toleransi yang tinggi, tetapi juga punya banyak PR sosial, tak terkecuali masalah ras.
Sewaktu saya sarapan, terbayang kemiskinan Republika Argentina. Tak lama berselang, saya ingat Rusia dan Ukraina yang sudah 10 bulan lebih berperang: adalah kebodohan yang sempurna jika mereka tidak menonton bola dan memilik perang.
Dari pukul 10 pagi Zuhur hingga, tak sepatah kata pun kuketikkan di papan ketik. Mengapa?
Itu tadi, berjam-jam saya tidak bisa mengelola perasaan. Pikiran berkecamuk. Selain larut dalam dukung-mendukung dan kalah, juga masih terheran-heran, takjub, rasa tak percaya dengan pertandingan Messi versus Mbappe. Mbappe memang tidak bisa angkat tropi, tetapi daya kejut yang dia ditunjukkan dinihari tadi, adalah momentum tak terlupakan.
Sementara itu, Messi, dari segala macam segi, sangat pantas memenangi pertandingan. Bagi saya, Messi adalah sinonim dari kata keajaiban (yang langsung diturunkan oleh Tuhan).
Dari satu pra syarat menulis yang baru muncul itu, sepertinya saya menemukan jawaban kenapa Gus Dur begitu lancar membuat analisa-analisa bola sepanjang piala dunia 1994, yaitu Gus Dur tidak larut dalam dukung-mendukung salah satu tim kesebelasan. Gus Dur menikmati bola dari sisi permainan, bukan siapa yang kalah dan menang.
Sikap Gus Dur seperti ini sudah tampak di Piala Dunia 1982 di Spanyol. Dalam esainya, yang bejudul ‘“Piala Dunia ‘82 dan Landreform”, Gus Dur mengungkapkan kekecewaannya pada tim-tim besar yang bermain “negatif”: semua tim memilih aman, bertahan, tidak menyerang. Gol diharapkan dari skema serangan balik. Dia mencontohkan Italia dengan strategi Cattenaccio-nya. Gus Dur menyebut “kampungan” untuk permainan negatif seperti yang dilakukan Italia atau Jerman Barat. Saking kecewanya dengan taktik permainan seperti itu, Gus Dur menulis begini:
“Siapa pun yang jadi juara ‘Mundial 1982’ tidak akan mampu mengangkat keharuman sepak bola sebagai seni.” (Beberapa kali Gus Dur menulis piala dunia dengan bahasa Arab: Mundial). Piala Dunia 1982 Italia menang atas Jerman Timur.
***
12 tahun kemudian, di Piala Dunia 1994, sikap Gus Dur pada tim Italia berbeda. Dia menulis tim sepak bola Italia dengan semangat, judulnya “Arrigo Sacchi dan Ketegaran Strateginya”. Kegairahan Gus Dur begitu terasa dalam esai ini. Dia memuji-muji setinggi langit pelatih Sacchi. “Bukanlah Sacchi, kalau dia tidak berani mengambil resiko,” tulisnya.
Gus Dur girang dengan diturunkannya 2 penyerang tajam Roberto Baggio (saya jadi ingat gaya rambut kuncirnya) dan Casiraghi, bahkan 2 pemain belakang Maldini dan Beonoriva diminta membantu dengan intens, tidak boleh jauh-jauh dari Baggio dan Casiraghi. Ini artinya, tugas ganda membebaninya, pontang-panting maju ke depan dan lari ke belakang jika ada serang balik. Daya serang bahkan masih dipertahankan saat tim Italia hanya tinggal 10 pemain karena ada kartu merah.
Bahkan lagi, setelah Italia membuat gol, tidak lantas berubah menjadi bertahan, padahal cuma 10 pemain. Ini yang disebut Gus Dur bahwa Arrigo Sacchi memiliki ketegaran. Kegirangan Gus Dur atas strategi Sacchi ini, tidak hanya terlihat dari diksi-diksinya, tetap secara kuantitas, tulisannya lebih panjang di antara tulisan lainnya.
Kenapa Gus Dur suka pada permainan yang menyerang, jual beli serangan?
Saya kira kita bisa menebak jawabannya, yaitu sesuai dengan karakrter gagasan sosial keagamaan Gus Dur yang progresif, blak-blakan, dan bergembira dengan humor-humornya.
Yang menjadi ciri khas dari tulisan Gus Dur tentang bola adalah kekuatan dalam mengulas strategi, tak-tik, skema permainan. Ini artinya, Gus Dur menulis sang arsitek pertandingan. Siapa lagi kalau bukan pelatih. Presiden, pengusaha, mafia, penjudi boleh hadir di stadion, tetapi mereka hanya berhak menonton, tidak boleh nyamperin pelatih dan campur tangan. Di lapangan, pelatihlah pemimpin satu-satunya.
Selain mengulas pelatih Italia (Sacchi diulas di 2 esai), Brasil, juga mengulas pelatih Swedia Tommy Svensson, pelatih Bulgaria Dimitar Penev, pelatih Spanyol Xavier Clemente Lazaro, pelatih Belanda Dick Advocaat (ditulis dalam esai tersendiri berjudul “Kesalahan Taktis Dick Advokaat”), dan lain sebagainya.
Dalam esainya berjudul “Saling Menekan, Hasilnya Berbeda”, yaitu ulasan panjang tentang 2 pelatih atas pertandingan Italia vs Bulgaria, Gus Dur menuntaskan catatannya dengan sebuah pertanyaan tentang pelatih: “Pelajaran cukup berharga bagi para pelatih kita di masa depan, bukan?”
Ulasan terakhir Piala Dunia 1994, Gus Dur menampilkan esai “Akhir Ulasan: Siapakah Penentunya?” Di sini Gus Dur mengulas pertandingan final Italia versus Brasil yang dimenangkan Brasil. Lagi-lagi inti tulisannya tentang strategi pelatih. Judul berupa pertanyaan itu dia jawab sendiri.
“Jelaslah dari apa yang diuraikan di atas, bahwa penentu kehebatan sebuah tim, tetap adalah kualitas pelatihnya,” demikian Gus Dur menulis dengan gamblang.
Gus Dur menjiwai betul peran dan tugas seorang pelatih atau manajer sepak bola, seperti penjiwaannya saat memimpin NU dan menjadi Presiden RI ke-4.
Dalam mengalisa bola, Gus Dur tidak hanya menunjukkan kepada publik minat dan kepandaiannya dalam urusan si kulit bundar, tetapi juga lihai sekali mengaitkan pertandingan di lapangan hijau dengan peristiwa-persitiwa di luar; politik, sosial, budaya, dan ekonomi. Gus Dur seperti sedang mengikuti pepatah “sekali dayung dua tiga pulau terlewati”. Pembaca pasti juga senang dengan model komentator seperti itu. Walhasil, Gus Dur mendapatkan engagement lebih dari masyarakat luas penggila sepak bola. Gus Dur dikenal juga oleh masyarakat umum yang selama ini tidak mengikuti wacana utama Gus Dur; keagamaan, kebangsaan, perpolitikan, kebudayaan, NU, dan dunia internasional.
Bagi khalayak yang sudah dekat dengan ide-ide Gus Dur makin mengaguminya. Bagi kelompok ini, Gus Dur seorang penulis yang sempurna.
Bagi para lawan politiknya, terutama Soeharto, fenomena Gus Dur menulis dan menjadi komentator bola membuatnya makin bingung. “Strategi bola saja dipahami dengan demikian baik oleh Gus Dur, apalagi strategi sosial politik?” Begitu mungkin kata Soeharto. Oleh karena itu, Soeharto menyiapkan “total foot ball” untuk menjatuhkan Gus Dur di Muktamar NU 1994.
Tetapi Gus Dur tidak mau kalah. Dia sangat jitu meramu strategi pelatih Italia Arrigo Sacchi dan pelatih Brasil Carlos Alberto Parreira (yang berhadapan di final), sehingga mampu memenangi Muktamar NU tahun 1994 di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat, dengan sukses. (www.alif.id)
19 Desember,
Tambun, Bekasi.