Foto Gus Dur berdiri di sebuah halaman bersama empat orang laki-laki dan di belakangnya sebuah bus berplat M (atau N atau H?) beredar lagi di media sosial. Pemostingnya jurnalis Zen RS, mereplay Alissa Wahid yang juga mengunggah foto Gus Dur yang sedang bersama Kiai Achmad Shiddik dan Kiai Sahal Mahfudh. Foto Gus Dur dan mapnya ini tidak muncul sekali ini saja dan seringnya orang tidak bosan menikmati dan memberi konter. Menarik memang, karena adegannya tampak natural, tidak dibuat-buat. Candid, istilah zaman sekarang.
Gus Dur, yang mengenakan batik merah lengan pendek kelihatan sedang bicara serius. Jari telunjuknya diacungkan ke atas. Sementara telapak tangan kirinya ditenggelamkan saku celana (dari model sakunya yang sepertinya celana jins). Beberapa detail dalam foto tersebut masih terlihat, seperti jam tangan di lengan kirinya dan pulpen di saku bajunya.
Dua orang di depan dan seorang di samping kiri serius memperhatikan Gus Dur. Siapa 3 orang “audiens” Gus Dur di foto itu?
“Almarhum Pak Mustofa Zuhad (berbatik tidak berkopiah), almarhum Gus Hamid Baidlowi Lasem (bersorban), dan almarhum Kiai Hafidz Utsman,” Kiai Masyhuri Malik memberi keterangan. Ada seorang lagi, tetapi tidak terlihat jelas, karena berdiri di belakang Gus Dur. Saya konfirmasi keterangan ini kepada Kiai Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus, beliau membenarkan keterangan itu. Gus Mus menambahkan Gus Hamid adalah mertua Gus Kautsar dari Pesantren Ploso, Mojo, Kediri.
Dari banyak foto, dari banyak video, dan pengalaman saya menyaksikan Gus Dur sedang berbicara, tidak pernah melihat orang-orang berpaling dari Gus Dur saat berdekatan. Sorot mata para audiens selalu serius memperhatikan Gus Dur. Kenapa demikian?
Tentu saja, karena gaya dan materi pembicaraan Gus Dur yang selalu menarik serta punya daya kejut, gerak tubuhnya yang alamiah, dan kesederhanaannya, membuat orang betah berdekatan dengan Gus Dur. Dan satu lagi, humornya yang segar, cerdas, kontekstual, selalu dinanti-nantikan (tidak heran, jika Greg Barton mengatakan, foto terbaik Gus Dur saat sedang tertawa).
Tidak berhenti sampai di situ, saat Gus Dur sedang diam, tidak berbicara pun, sorot kamera tidak jarang menangkap jari-jari Gus Dur yang tidak pernah diam menari-nari di atas meja atau pahanya. Beberapa orang menafsirkan, gerakan jari Gus Dur itu mengikuti irama musik klasik yang digemarinya. Dan gerakan jari-jarinya berfungsi menjaga kesadaran, agar selalu terjaga, atau tidak tertidur. Kita tahu, Gus Dur sering tertidur di acara-acara. Gus Dur yang super sibuk, berceramah hingga dini hari, menulis, dan banyak waktunya dihabiskan di jalan raya, membuat Gus Dur kurang tidur. Akibatnya, tertidur di acara seminar, dan lain-lain.
Kita kembali pada selembar foto Gus Dur ini. Yang paling menarik dari foto yang sedang kita bicarakan ini adalah, Gus Dur menggapit map berwarna hijau dengan dua pahanya. “Adegan” Gus Dur berdiri, dengan jari telunjuk diacungkan ke atas, satu telapak tangan dimasukkan saku celana, dan dua pahanya yang menggapit map adalah pemandangan yang sempurna. Mata, tangan, dan paha “sibuk”, bekerja semua dalam waktu bersamaan. Contoh terbaik dari adigium selembar foto lebih berbicara ketimbang 1000 kata, salah satunya, foto Gus Dur ini. Adegan dalam foto ini, membuat saya tidak memikirkan apakah Gus Dur tidak punya ajudan atau tidak, lokasinya di mana, tahun berapa, dalam acara apa. Tetapi, tentu saja, kita wajib berterima kasih pada fotografer dan yang mendokumentasikannya.
Secara pribadi, saat menikmati foto tersebut, saya teringat sebuah esai oleh Abd. Mun’im DZ berjudul “Gus Dur Mengabdi”. Dalam esai tersebut, Mun’im menceritakan Gus Dur yang tidak berhenti bergerak, mengunjungi banyak tempat untuk acara yang beragam. Kunjungan Gus Dur ke banyak tempat —tidak terkhusus mengunjungi kantong-kantong NU— adalah sebuah pengorbanan seorang pemimpin yang punya jiwa pengabdian, pendidik, dan peduli dengan umatnya.
“Sewaktu Gus Dur diundang lokakarya di sebuah pesantren di Cilacap, juga menggunakan bus saja. Setelah di terminal, lalu ia menyambung dengan angkot dan kemudian dilanjutkan dengan naik becak. Dia datang dengan membawa segepok map berisi makalah dan foto kopi kliping sebagai bahan ceramahnya,” tulis Mun’im dalam salah satu alenianya.
Saya membayangkan, mungkin Gus Dur itu menilai jarak yang didatangi atau wilayah di manapun, kayak tarif angkot zaman dulu, “Jauh dekat sama saja.” Ini mungkin yang membuat Gus Dur menikmati semua perjalannya.