Hamzah Sahal
Penulis Kolom

Founder Alif.ID. Menulis dua buku humor; Humor Ngaji Kaum Santri (2004) dan Ulama Bercanda Santri Tertawa (2020), dan buku lainnya

Gus Dur dan Kolesterol, Eh, Nasi Padang

Fb Img 1671621473323

Soal makanan berkolesterol, orang Indonesia jagonya. Dari anak-anak, remaja, hingga orangtua, semua suka kolesterol. Sumber kolesterolnya minimal jenis makanan yang umumnya melalui proses digoreng, seperti tahu, tempe, bakwan, pisang, dan kerupuk. Maksimalnya tak terbatas, bisa jeroan, kepala kambing, soto babad, udang, kuah bersantan, dan masih banyak lagi.

Ya, orang Indonesia, mungkin tanpa kecuali, tak bisa jauh-jauh dari kolesterol atau lemak. Komunitas santri mungkin masuk golongan yang terakhir: tidak bisa dipisahkan dari kolesterol.

Dari 4 ketua umum PBNU, mungkin cuma Kiai Hasyim Muzadi yang kadang-kadang tidak tergoda dengan kolesterol. Kadang-kadang yaa, seringnya tergoda. Ada cerita beliau mampu menghindar dari suguhan udang ketika mengisi pengajian di Madura (sudah pernah saya tulis). Selain beliau, yaitu Gus Dur, Kiai Said, dan Gus Yahya…eemmm.. Jangan ditanya..

Gus Dur, selain suka mampir di warung soto, juga kerap berlama-lama di rumah makan Padang. Kenapa berlama-lama? Kita tahu, makan nasi padang tidak bisa secepat melahap soto, kolesterol demi kolesterol harus dinikmati secara seksama dalam tempo selambat-lambatnya.

Kisah Gus Dur hobi makanan berlemak, cerita Gus Mus, sudah dilakukan saat sama-sama di Mesir. Gus Dur suka beli jeroan untuk disantap berjamaah. Alasannya simpel, jeroan di sana harganya murah sekali, malah bisa dikasihkan cuma-cuma. Kenapa? Gus Yahya pernah menuliskan ceritanya. Saya tidak berani mengulangnya. Kiai Said bagaimana? Saya pernah melihat langsung bagaimana beliau makan kepala kambing.

Junior mereka, Gus Yahya, dari sisi penampakan tubuh, sepertinya lebih sehat. Gus Yahya paling langsing di antara 3 ketua umum PBNU sebelumnya. Entah kenapa beliau tidak segemuk adik-adiknya, seperti Gus Yaqut misalnya, padahal..padahal.. “padahal”-nya banyak banget ini..haha….

“Padahal” pertama, beliau Presiden Terong Gosong. Ini artinya, selain punya situs Terong Gosong berisi kisah-kisah kiai, juga fans berat sambel terong yang memang nikmatnya masya Allah. Dan adatnya, sambal terong itu pasnya disantap malam hari, dengan nasi kemebul, telur dadar, dan krupuk kaleng. “Padahal” kedua, sebagaimana para kiai umumnya, tidak bisa menolak jika disuguhi hamparan piring di ruang tamu tanpa meja-kursi, kapan pun, tidak peduli masih kenyang, apalagi lapar karena habis berdiri 1,5 jam di podium. “Padahal” ketiga, bahwa beliau juga sama seperti kiai-kiai yang lain, yaitu anggota PKB: Pencinta Kepala kamBing. Soal badan Gus Yahya yang tidak gemuk, itu nasib baik saja.

Baca juga:  Ibnu Sina dan Tradisi Berpikir dalam Islam

Namun, di antara sekian kiai pengagum kolesterol, seperti hanya Gus Dur yang berusaha “menutup-nutupinya”. Hah? Menutup-nutupinya?

Iya, Gus Dur yang selalu terus terang, tidak jaim, tetapi kali ini ingin tampil agak elegan, tidak tampak-tampak amat dirinya penyantap nasi padang sejati. Mungkin ini berguna jika Ibu Shinta Nuriyah bertanya, bahwa suaminya lebih suka makan soto daripada makan di restoran Padang dengan gulai otak sapi, gulai kepala kakap, tunjang, balado empedu, atau ayam pop yang kinclong karena berminyak. Dengan apa Gus Dur “menutup-nutupi” dirinya penyuka nasi Padang?

Dengan menulis. Majalah Tempo edisi 7 April 1984 memuat tulisan Gus Dur berjudul “Lagu Jawa di Restoran Padang”.

Gus Dur memulai tulisanya dengan ringan dan mengajak pembacanya tersenyum, “Salah satu kreasi unik bangsa kita adalah restoran Padang, yang ada di mana-mana. Bahkan, di bulan, waktu Neil Amstrong ke sana, kata lelucon. Dalam bentuknya yang paling sederhana, restoran Padang menawarkan cara praktis bagi pembeli: pilih sendiri yang disajikan, bayar hanya yang dimakan.”

Kata “praktis” dan “sederhana” yang muncul di paragraf pertama langsung diberi syarah, digarisbawahi oleh Gus Dur bahwa restoran Padang itu hakikatnya jauh dari kata sederhana. “Restoran Padang itu bukan sesuatu yang dapat disederhanakan, qua konsep,” Gus Dur pelan-pelan mengalisa.

Saya membaca beberapa kali esai ini, seperti membaca esai-esai Gus Dur lainnya. Saat membaca pertama kali, saya menelan ludah, lezat sekali, ingin segera lari ke restoran Padang. Terbayang di mata kepala kakap yang berlumur kuah gulai. Terbayang mengunyah nasi dengan “pelicin” sesendok kuah kuning.

Tetapi setelah membaca yang kedua, kening saya mulai berkerut. Baru sadar, Gus Dur menumpahkan berbagai analisanya untuk membaca fenomena restoran Padang. “Aduh-aduh, Gus Dur ini, kayak kurang kerjaan saja restoran Padang dianalisa,” aku membatin.

Baca juga:  Sahabat Suhail bin Amr, Sang Orator dan Negosiator

Mula-mula dia memuji kemampuan memasak orang Minang, budaya kolektifitasnya, keswadayaannya, kemampuannya berpikir ekonomis, hingga ketrampilan mereka menyajikan banyak piring hanya dengan dua tangannya. Tetapi bukan Gus Dur kalau tidak kritis. Restoran Padang pun tak luput dari kritikannya.

Dia mengatakan restoran Padang hanya memikirkan selera umum, sehingga tidak bernilai tinggi. “Untuk para gastronom, restoran Padang di negeri kita ini sama saja pangkatnya dengan restoran hamburger di negeri sono. Keempukan sate Bangil, atau keunikan rasa soto Haji Ma’ruf di Jakarta, yang jelas berbeda dari yang ada pada makanan bernama sama di tempat-tempat lain, jelas tidak dapat dicari di restoran Padang.”

Kritik Gus Dur mengenai sasaran. Dan dia membandingkan dengan jenis makanan yang memang tidak dijajakan di tempat lain, kecuali di Jakarta seperti soto Haji Ma’ruf dan sate di Bangil, Pasuruan. Yang pertama saya sering menyantapnya, tetapi itu dulu. Sekarang tidak lagi. Sate Bangil juga pernah, diajak Ahmad Hakim Jayli, aktivis NU asal Pasuruan. Soal sate, saya agak panatik dengan sate Tegal. Dalam soal rasa, Gus Dur mengecualikan restoran padang bernama Sari Bundo di Jalan Juanda, Jakarta Pusat. Di sana, gulai kepala kakapnya memang aduhai, mengalahkan gulai di Medan Baru, yang tempatnya tidak jauh dari Sari Bundo.

Tetapi secara umum, Gus Dur memuji etos (gerakan ekonomi) melalui restoran Padang ini. Dia bilang, orang Padang punya “daya tembus”, lintas sektoral dalam kehidupan berbangsa. Di satu sisi, orang non-Minang menyukai restoran Padang—mula-mula karena kecepatannya, tetapi di sisi lain, tidak membuat orang meninggalkan kuliner dari berbagai daerah.

Lebih dari itu, kata Gus Dur, orang Padang canggih menyerap dan mengakomodir unsur-unsur di luar keminangan. Dia bercerita ketika masuk restoran Padang di bilangan Pasar Senen (daerah Jakarta Pusat, termasuk dekat kantor PBNU, memang banyak sekali restoran Padang, dari yang kecil hingga besar).

Baca juga:  Pendidikan Islam Moderat di Kampus Pesantren Kiai Abdullah Faqih

“Pemiliknya orang Minang. Juga semua penyaji hidangan. Namun, yang terdengar dialunkan melalui kaset adalah lagu-lagu pop Jawa—Jawa Timuran atau Jawa Tengahan. Mengapa?”

“Jawabnya mudah saja: ‘Banyak orang Jawa penggemar lagu begini menjadi langganan kami’.”

Itu mungkin yang dimaksud Gus Dur “daya tembus” orang Padang. Mereka, kata Gus Dur, memiliki kemampuan antisipasi, menyerap, dan mempergunakan aspek-aspek usaha yang berorientasi pasar.

“…inilah yang menjadi rahasia suksesnya restoran Padang,” tulisnya.

Gus Dur mengharapkan, juga memberi tantangan, agar restoran Padang bisa tembus ke pasar internasional seperti celana jin Levi’s, hamburger, atau ayam Kentucky. Orang Padang, kata Gus Dur, memiliki kekuatan memasarkan diri yang luar biasa kenyal.

Geleng-geleng saya membaca esai Gus Dur yang ini. Memang luar biasa dan luar kebiasaan tokoh kita ini. Bayangkan, tahun 1984 sudah mengalisa begitu jauh makanan khas Nusantara. Tahun itu loh, hampir 40 tahun lalu. Waktu itu, diksi “kuliner” belum masuk kosa kata masyarakat kita. Bondan “maknyus” Winarno belum masuk televisi, apalagi program master chep 30 tahun berikutnya baru ada. Bagaimana dia beride agar restoran Padang tembus pasar global?

Mungkin saja, ide ini berasal dari penjiwaan Gus Dur mencicipi berbagai makanan Nusantara, termasuk saat tinggal di luar negeri. Dia pasti menikmati kebab Turki saat di Mesir, keju dari Belanda saat di Baghdad, dan membayangkan warung Padang, berdampingan dengan cafe di sisi sungai, di Amsterdam saat tinggal di Belanda.

Tetapi bisa jadi, esai Gus Dur kali ini tidak semendakik-dakik analisanya. Aslinya, dia hanya ingin lebih terlihat sebagai peneliti saja, daripada pengemar santapan sajian berkolesterol, eh, nasi Padang. Bila Bu Shinta Nuriyah bertanya makan apa saja di restoran Padang, Gus Dur akan menjawab, “Ya harus mencicipi semuanya, agar agar bisa menganalisa dengan komperhensif.”

 

21 Desember,

Tambun-Bekasi

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top