Mungkin, Gus Baha ini kiai muda yang paling produktif membuat humor. Gus Baha melontarkan humornya dalam kesempatan ceramah-ceramahnya, eh, pengajian-pengajiannya. Iya, Gus Baha membedakan pengajian dan ceramah. Pengajian itu membaca kitab atau ada referensi yang langsung dibaca, sementara ceramah itu “tangan kosong”.
Tidak hanya itu, setelah melontar humor, sering kali kita mendengar Gus Baha ikut tertawa terbahak-bahak bersama santrinya. Tawanya sangat lepas dan dengan volume yang kencang. Tak jarang dia melepas kopiahnya saat tertawa, tanda cukup serius tertawa dan berhumor.
“Gus Baha itu kalau ketawa lupa kalau dirinya kiai atau ulama,” begitu teman saya berkata.
Mendengar komentar itu, saya menimpali, “Lah ketewa itu halal. Masa gak boleh?” Saya merespons begitu juga dari Gus Baha. “Lah ada orang senang-senang tanpa maksiat kok dilarang?” begitu Gus Baha kira-kira memberi argumentasi atas kebiasaannya dalam bercanda.
Berikut ini humor Gus Baha yang saya ambil dari sebuah ceramahnya:
Ada kiai, santrinya terbasa qodlo shalat Subuh, padahal sudah dengar azan. Suatu hari, ketika kiainya keliling asrama dan dehem (seperti batuk ringan), “Ehm…!!!”
Mendengar kiainya ber-dehem, santrinya tergopoh-gopoh bangun dan shalat semua.
Melihat polah para santri, sang kiai marah, “Kamu ini santri apa? Saat Allah yang manggil tidak langsung bangun, ketika saya yang makhluk langsung bangun. Harusnya ketika dipanggil Allah itu langsung, tetapi saya yang makhluk malah kamu takut. Kamu sama Allah malah biasa-biasa saja!”
”Karena Allah lebih baik ketimbang Pak Kiai,” jawab santrinya dengan jujur. Gus Baha dan santrinya tertawa terbahak-bahak.
Tidak lama setelah itu, gurunya sang kiai datang dan bercerita pada gurunya. Gurunya tertawa mendengar cerita itu sambil berkomentar, “Santrimu itu benar.” Gus Baha lagi-lagi tertawa terbahak-bahak.
Setelah cerita itu, Gus Baha mengatakan bahwa urusan sama kiai itu lebih ribet ketimbang urusan sama Allah Swt. “Allah itu baik, gak ribet.”
“Begitu juga kiai dengan Nabi Muhammad. Orang itu lebih mudah (berurusan) dengan Nabi, karena beliau bil mu’mini raufurrahim.”