Tidak ada orang pinter di Indonesia saat era Orde Baru, kecuali BJ Habibie. Memang pinter sekali beliau. Dan diakui kecerdasannya bukan hanya di Indonesia, tapi juga di luar negeri, khususnya dalam bidang pesawat terbang. Namun, ada sisi lain dari harumnya nama beliau, yakni dijadikan alat Presiden Soeharto untuk menutupi kebobrokan dirinya.
Adalah kaum santri yang mencoba “mendegradasi” kecerdasan BJ Habibie. Dengan cara apa “melawan” Habibie? Susah sekali, wong memang pinter, cerdas, dan pandai mengekskusi idenya itu. Percuma saja, tak akan ada cara yang efektif menurunkan martabat lelaki kelahiran Pare-Pare, Sulawesi Selatan 1936 ini.
Namun akhirnya, ditemukan cara “asal-asalan” demi melawan BJ Habibie. Sebetulnya bukan sosok Habibienya yang dilawan, tapi Orde Barunya.
Entah siapa yang mengarang-ngarang cerita ini, yakni BJ Habibie, waktu itu menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi, datang ke Pulau Madura. Cerita karangan ini, atau tepatnya humor ini, beredar luas di kalangan masyarakat santri.
Kunjungan pertama beliau datang ke sebuah Madrasah Ibtidaiyah (MI), setingkat SD:
Di madrasah, BJ Habibie ikut upacara bendera, jadi pembina upacara. Yang meriah setelah upacara, karena beliau membuat kejutan berupa pertanyaan berapa tinggi tiang bendera.
“Ayok, siapa yang bisa menjawab pertanyaan Bapak, hadiahnya sepatu. Berapa tinggi tiang bendera ini?” tanya Habibie.
Seorang anak mungil yang tidak pakai sepatu maju ke depan. Dengan percaya diri, bocah itu langsung naik, memanjat tiang bendera dengan cekatan. Tidak butuh delapan menit, anak itu meluncur dengan cepat ke bawah dan berdiri di depan sang menteri.
“Sepuluh meter, Pak Menteri!”
“Eh, kamu pinter sekali dan pemberani,” puji Habibie dengan gaya khasnya. “Tapi kenapa kamu susah-susah naik tiang bendera? Kan bisa diturunkan dulu, biar tidak berbahaya dan tidak capek?” lanjutnya.
Murid madrasah dengan percaya diri menjawab, “Kalau tiang bendera itu diturunkan, namanya bukan tinggi, tapi panjang. Bapak Menteri kan tanya tinggi, jadi saya naik…”
Semua yang hadir bertepuk tangan dan tertawa, termasuk sang menteri. “Kamu memang pinter Nak. Ini sepatunya, bisa langsung dipakai,” Habibie lagi-lagi memuji dengan jantan.
Kunjungan kedua, BJ Habibie datang ke pesantren yang memang sedang ada acara khataman Alquran bil ghoib (hafal).
Di pesantren itu, sang menteri duduk di depan ditemani pengasuh pesantren, menyimak dengan seksama “demo” hafal Alquran 30 juz oleh anak-anak di bawah usia 15 tahun. Terlihat sekali Habibie menikmati acara tersebut.
Tiba saat bicara di banggung, seperti biasa, menteri yang rajin puasa Senin dan Kamis, itu memuji santri-santri yang masih belia ini:
“Anak-anakku generasi penerus bangsa ini pinter-pinter sekali. Baru berumur 13 tahun, 15 tahun, bahkan ada yang yang 10 tahun, sudah hafal Alquran 30 juz. Bayangkan kalau sudah berumur 20 tahun, pasti sudah hafal lebih dari 30 juz. Ini bekal yang bagus untuk meningkatkan Imtak (iman dan takwa) dan Imtek (iman dan teknologi).”