“Inna lillahi wa inna ilaihi rajiuun. Telah meninggal dunia dalam damai. Ayah tercinta/Guru Tercinta/Orang tua kami/Kakek Kami: Bapak Djohan Effendi. Mohon doa tulus dan ikhlas untuk Beliau.”
Demikian kabar wafatnya intelektual asal kalimantan Selatan, Djohan Effendi. Kabar yang dibubuhi nama Nona, Wind dan Doda tersebut menyebar luas di jejaring sosial sekitar pukul 19.30
Sebelumnya, Nadirsyah Hosen, intelektual Indonesia yang tinggal di Australia itu juga memberi kabar via akun twitternya, sekitar pukul 19 WIB:
“Innallahi wa inna ilaihi rojiun telah wafat bpk Djohan Effendi (78 th) di Geelong (Victoria, Australia) pada pukul 10 malam, 17 Nopember 2017”
Djohan Effendi lahir di Kandangan, Hulu Sungai Selatan, 1 Oktober 1939. Almarhum adalah menteri sekretariat negara Kabinet Persatuan Nasional era Presiden Abdurrahman Wahid. Era Gus Dur presiden bukanlah permulaan almarhum masuk istana.
Seperti ditulis di Wikipedia, Pak Djohan, demikian almarhum dipanggil, merupakan Staf Khusus Sekretaris Negara/Penulis Pidato Presiden Soeharto. Tugasnya utamanya di istana masa Orba menulis naskah pidato untuk Presiden Soeharto.
Tapi waktu yang cukup lama di istana tidak menjadikan dia seorang yang terlihat “politis”, apalagi sampai dinilai sebagai pendukung Orba. Demikian juga karirnya di Departemen Agama yang dijalaninya sedari di Amuntai hingga menjadi pejabat di Departemen Agama RI, tidak membuatnya seorang birokrat.
Sebaliknya, Pak Djohan tampak sebagai seorang intelektual karena ketekunannya dalam dunia penelitian, dekat dengat para intelektual, dan pegiat diskuasi sejak mahasiswa. Pembelaannya pada kaum minoritas, terutama Ahmadiyah, menjadikan Pak Djohan sejajar dengan tokoh-tokoh kemanusiaan tingkat nasional seperti Gus Dur.
Dalam catatan Greg Barton di buku Biografi Gus Dur, Djohan mulai berkembang sejak kuliah UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. Ia aktif di HMI bersama kawannya dari Madura, Ahmad Wahib, dan Dawam Rahardjo. Ketiganya bikin diskusi di rumah Profesor Mukti Ali.
Setelah lulus kuliah, tahun 1971 Djohan dan Wahib merantau di Jakarta. Djohan merintis karir di Depertemen Agama. Sementara Wahid bekerja di majalah Tempo. Sayang sekali, Wahid wafat di usia muda karena kecelakaan.
Saat di Jakarta itulah, Djohan muda mulai bertemu dan menjalin komunikasi instensif dengan Nurcholish Madjid dan Gus Dur. Djohan, kata Greg Barton, tamatan madrasah tradisional di Kalimantan Selatan. Ia bisa berbahasa Arab dan membaca literatur keislaman klasik.
Mungkin karena latar belakang pendidikan yang sama itulah, antara Djohan, Nurcholish–keduanya lahir sama-sama tahun 1939–dengan Gus Dur yang lebih muda setahun, lahir 1940, menjalin hubungan yang dekat hingga usia sepuh, hingga akhir hayatnya.
Memang agak aneh Djohan yang bekerja di istana, sementara Gus Dur dan NU-nya yang dijauhi Orba, kok cukup akrab? Begitu juga Nurckholish yang aktivis HMI, memiliki “kesamaan sosial” dengan Djohan.
Saya kira, ketiganya ini memang punya hubungan yang unik. Perbedaan Gus Dur, Pak Djohan, dan Cak Nur, saling mengisi, menghargai, menjembatani, berbagi informasi, melindungi, tapi masa-masa renggang juga pasti ada, selayaknya sahabat.
Mereka tampak tidak basa-basi, tidak dibuat-buat, guyub dan rukun di tengah perbedaan jalan masing-masing. Gus Dur dan Cak Nur biasa saling ledek, tapi keduanya biasa jumpa kiai-kiai di pesantren, karena Cak Nur adalah orang Jombang dan orang pesantren.
Hubungan Pak Djohan, Cak Nur dan Gus Dur, pastilah jalinan yang “produktif” dan “mutualistik”, bukan hanya sebagai jembatan yang mengurangi keregangan bagi komunitas Islam Modernis dan Islam Tradisionalis, tapi juga bagi perdamaian umat beragama di Indonesia secara luas.
Mungkin, karena hubungan itulah, dan tentu jejak intelektualnya, Greg Barton menjadikan ketiganya plus Ahmad Wahid sebagai materi disertasi untuk meraih Ph.D, dengan judul “The Emergence of Neo Modernisme; a Progresive Liberal Movement of Islamic Thaought in Indonesia: A Textual Study the Writings of Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, and Abdurrahman Wahid, 1968-1980.” Gus Dur sendiri sering menolak dikelompokkan sebagai neo-modernis dan berhaluan liberal.
Gus Dur menghormati dan mengakui kemumpunian kerja-kerja Pak Djohan, demikian juga Cak Nur.
Saat Cak Nur wafat Agustus 2005, Gus Dur dan Pak Djohan kehilangan. Sebelum wafat Desember 2009, Gus Dur menghadiri ulang tahun Pak Djohan ke-70.
Gus Dur Wafat, Pak Djohan sedih sekali. Cinta dan penghormatannya pada Gus Dur, diabadikan dalam sebuah buku berjudul “A Renewal Without Breaking Tradition: The emergence of a new discourse in Indonesia’s Nahdlatul Ulama during the Abdurrahman Wahid Era.”
Kini, beberapa jam lalu, Pak Djohan telah pergi. Ia menyusul dua sahabatnya yang telah lebih dahulu pergi. Ketiganya memang telah pergi, di Sana. Tapi cinta ketiga, ada di sini, untuk kita semua, untuk Indonesia.