Saya merasa, selintas catatan ini, penting disampaikan. Tidak ada maksud jelek. Secara pribadi saya hanya ingin belajar politik. Terus terang saja, saya dulu merasa dendam. Tetapi sudah saya kubur. Tidak ada gunanya dendam-dendam. Gus Dur sudah mendidik kita semua bahwa dendam itu merugikan persaudaraan antarsesama anak bangsa.
Cuma persitiwa politik, yaitu pelengseran Presiden Gus Dur, tidak boleh dilupakan. Maafkan iya, lupa tidak,” kata Gus Dur dengan ringan. Mengapa?
Sebab, pertama, efek dijatuhkannya Presiden Gus Dur masih terasa sampai sekarang. Tatanan berbangsa dan bernegara hari ini, yang bengkok-bengkok, itu berasal dari penjatuhan Presiden Gus Dur. Contoh, Presiden Gus Dur meniadakan Dwi Fungsi ABRI (sekarang bernama TNI), hari ini nasibnya tidak jelas. Istilah Dwi Fungsi memang tidak muncul lagi, tetapi secara substansi, jadi kabur. Presiden Gus Dur menghilangkan Dwi Funsi, sebagai salah satu amanat reformasi, dengan pengorbanan politik yang besar. Presiden Gus Dur dimusuhi oleh tentara sedemikian rupa, padahal presiden, panglima tertinggi. Tetapi Presiden Gus Dur maju terus. Seperti adatnya, beliau tidak ada takutnya sama sekali.
Presiden Gus Dur belum betul-betul menuntaskan agenda hubungan TNI, Polri, Politik, Bisnis, masyarakat, keburu lengser. Beliau baru menaikkan gaji anggota TNI dan Polri (guru dan birokrat), sistem lainnya belum mapan. Watak tentara dan polisi puluhan silam tidak akan luntur begitu saja. Akibatnya seperti hari ini: kabur.
Sebab kedua, agar kita bisa mengambil pelajaran dari “tragedi politik” pelengseran Presiden Gus Dur di tengah jalan. Gus Dur dan Pak Amien itu orang baik, tetapi keduanya berpisah karena ada kegagalan memahami satu sama lain, lalu salah satunya tersulut fitnah dan tidak memahaminya. Ke depan, kegagalan semacam itu tidak boleh terjadi lagi. Biaya yang harus ditanggung tak terhitung, rakyat dan negara yang jadi korbannya.
Sebelum meneruskan tema politik, di era Presiden Gus Dur, saya ingin mengutip kisah Pak Amien kanal Youtube Ahmad Dhani. Dalam wawancara itu, Dhani melontarkan pertanyaan bagus sekali, “Kapan Pak Amien pertama kali mendengar nama Gus Dur?”
Jawabannya juga bagus dan disampaikan dengan sungguh-sungguh. Pak Amien mengaku dikunjungi Gus Dur saat sedang kuliah Chicago sekitar tahun 1976-77.
Lalu setelah Pak Amien pulang ke Indonesia, tahun 1981, Gus Dur datang ke Jogja, kembali mengunjunginya. Pak Amien juga mengingat tahun kelahiran Gus Dur, juga Cak Nur, dengan baik. “4 tahun lebih muda, kalau dengan Cak Nur 5 tahun, dia 1939, Gus Dur 1940, saya 1944,” Pak Amien menjawab pertanyaan Dhani. Nada Pak Amien serius, informasinya detail. Saya menangkap ketulusan Pak Amien saat mengenang awal-awal bertemu Gus Dur.
Setelah itu, Gus Dur dan Pak Amien, sering bertemu, tanpa banyak diekspos ke publik. Saya pernah membaca, ketika ibu Gus Dur wafat, Pak Amien melayatnya di Matraman, Jakarta Timur. Ini luar biasa (Semoga generasi kita meniru hubungan manusiawi seperti ini).
Hubungan Gus Dur dan Pak Amien terus berlanjut. Puncaknya Pak Amien, ketua MPR saat itu, menjadi inisiator pencalonan Gus Dur jadi presiden. Dan berhasil. Keberhasilan ini tidak terjadi ujug-ujug, tidak tiba-tiba. Memang ada dinamika selama mereka berteman 30-an tahun sebelum reformasi, tetapi itu wajar saja. Yang harus kita “nikmati” adalah buah dari perjalanan panjang persahabatan keduanya. Dan hasilnya reformasi itu.
Lalu keduanya menempati posisi tertinggi, Gus Dur menjadi presiden dan Pak Amien menjadi ketua MPR. Wah-wah, kapan formasi ideal seperti itu akan mencul lagi. Melihat situasi politik hari ini, rasa-rasanya, tidak akan terjadi lagi dalam 50 tahun yang akan depan. Presiden dan ketua MPR-nya ulama, cendekiawan, punya kapasitas sebagai pemimpin, tahu sejarah, keduanya menguasai banyak bahasa asing, dan punya basis masa. Luar biasa bukan?
Sayang sekali, Presiden Gus Dur tidak mau berkompromi dan Pak Amien tersulut fitnah serta tidak memahami situasi yang lebih besar. Entah kenapa, pada masa itu, keduanya seperti tidak saling mengenal lagi.
Misalnya, saya heran, kenapa Pak Amien begitu sinis ketika Gus Dur melakukan lawatan keluar negeri. Benar ini, Pak Amien tidak memahaminya? Atau Gus Dur gagal mengkomunikasikanya kepada Pak Amien? Atau dua-duanya benar?
Presiden Gus Dur ke Timur Leste, tabur bunga di kuburan korban Santa Cruz, Maret 2000 atau 5 bulan setelah dilantik. Beliau berpidato, salah satu isinya meminta maaf kepada korban dan keluarga korban, atas nama bangsa Indonesia.
Di sana Presiden Gus Dur disambut istimewa oleh Presiden Xanana Gusmao dan rakyat Timor Leste (saat Xanana Gusmao dipenjara Orde Baru, Gus Dur menjenguknya di penjara. Gus Dur bilang solidaritas sesama Gus: Gus Dur dan Gusmao).
Tetapi Pak Amien seperti tidak rela Gus Dur melakukan itu. Tidak ada dukungan, tidak ada apresiasi. Malah disebutnya nglencer. Apa Pak Amien tidak mengerti arti kunjungan Gus Dur dan manfaatnya? Ah, masa iya Pak Amien tidak paham?
Timor Leste baru merdeka loh dari Indonesia dan jejak kekerasan tentara kita di sana mengerikan. Jika kita tidak berbuat baik kepada mereka, bisa memusuhi kita dan mengompori Papua agar merdeka juga.
Jika Pak Amien bersikap keras atas keinginan Gus Dur menormalisasi hubungan dengan Israel, bisa kita maklumi. Isu hubungan Indonesia-Israel pun harusnya Pak Amien memahami juga. Keduanya teman lama loh, diskusi, makan bareng, saling kunjung sesama pemimpin umat Islam. Masa Pak Amien tidak mengerti cara Gus Dur berpikir? Masa pada waktu itu Pak Amien sudah dikompori Prabowo? (Bersambung)
16 Desember,
Tambun Bekasi