Apa alat musik yang bisa saya mainkan? Jawabnya tak perlu mikir: tak ada satupun alat musik yang bisa saya mainkan.
Gitar, piano, drum, kendang, seruling, harmonika, angklung, rebana, genjring, kecrek, biola. Semua itu cuma bisa saya dengar.
Tapi bukankah saya bisa memukul bedug? Bukankah saat pulang kampung, akhir tahun 2013, saya memperkenalkan bedug pada si kecil Nata Nawa? Sambil memegang tubuh bedug saya bercerita kepadanya bahwa waktu kecil suka rebutan nabuh bedug dengan teman-teman, utamanya ketika malam Idul Fitri. Tapi apakah bedug itu alat musik?
Oh tuhan, ampunilah saya karena baru sadar bahwa bedug itu termasuk alat musik pukul, kayak gendang, drum, perkusi dan lain-lain.
Selama ini, kesadaran saya merekam bedug bukanlah alat musik. Ia, dan kentongan, adalah perangkat masjid. Kesadaran yang hakikatnya tidak sadar ini makin sempurna dengan ‘ajaran’ bahwa di masjid tidak boleh memainkan alat musik, dan alat musik sendiri banyak yang diharamkan dalam ajaran Islam. Wal hasil, pengetahuan ‘paten’ yang ada di kepala berkata, bedug itu ya bedug, bukan alat musik. Bedug itu masuk perangkat-perangkat masjid, seperti tikar (sekarang karpet), mimbar, toa, atau gencet (jam matahari), bukan gitar, harmonik, perkusi atau biola.
Saya baru sadar bahwa bedug itu alat usik belakangan ini, setelah berkali-kali melototi video konser Kantata Takwa tahun 1990 di Surabaya. Di video konser itu, saya suka memperhatikan Sawung Jabo yang menabuh drum besar (entah apa namanya) sambil jingkrak-jingkrak. Dalam hatiku, bukankah jika digantung, alat musik yang dipukul Jabo itu berubah (seperti) bedug?
Saya akrab dengan bedug. Saya pun berani bertaruh –jangan serius-serius, ini guyon saja– bahwa antara bedug dan saya jauh lebih punya keakraban ketimbang Balawan dengan gitarnya. Apa buktinya? Satu, waktu remaja, saya suka tidur ditemani bedug, karena saya tidur di masjid, di bawahnya bedug. Apakah Balawan suka tidur di pura dan di pura ada gitar? Dua, ketika sembayang Jumat, saya lebih suka melakukannya di dekat bedug, karena bedug pasti letaknya di bagian belakang masjid. Apakah Balawan bawa gitar saat sembahyang di pura?
Di masjid, bedug berfungsi mengabarkan waktu sembayang. Di kampung saya, Mulyasari-Cirebon, banyak ragam bunyi bedug, yang mungkin tidak ada di daerah lain, yakni bunyi bedug ketika waktu Ashar, khusus hari Kamis. Bedug dibunyikan dengan panjang untuk mengabarkan bahwa malam Jumat akan tiba. Pada Ashar hari biasa, bedug cuma dipukul pendek, tiga kali saja. Ketika Jumatan (sembahyang Jumat), dibunyikannya bedug untuk mengiri bacaan surat al-fatihah dan at-tahiyat (dua bacaan penting dalam sembayang). Setelah selasai, baru adzan pertama dikumandangkan.
Selain dua waktu itu, nada beedug hampir sama semua. Kecuali nada bedug di malam Idul fitri yang disebut dugdag, di Sunda ngadulag, bunyi bedug di masjid nyaris tidak mengandung dimensi hiburan, sebagaimana alat musik lain.
Agama
Dulu membedakan masjid yang ada di Kairo dengan masjid yang ada di Kotagede bisa dilihat dari arsitektur. Arsitektur, bahkan menjadi pembeda masjid antar daerah di Indonesia. Masjid Kudus berbeda dengan masjid Jogja, masjid di Agam Sumater Barat berbeda dengn masjid di Lombok. Tapi sekarang, aristektur masjid-masjid nyaris seragam. Saat ini, pembeda antara masjid di Indonesia dengan mesjid di luar negeri, sepertinya hanya bedug. Di mana di belahan dunia ini yang masjidnya menyimpan bedug kecuali di Indonesia?
Tapi, akhir-akhir ini, bedug di masjid juga dipersoalkan lagi. Banyak bedug di masjid yang dibuang, karena dianggap tidak sesuai dengan Islam, di Madinah dan Mekkah tidak ada bedug. Nabi Muhammad tidak pernah menabuh bedug di masjid. Kelompok atau pandangan baru dalam Islam itu ada yang mencoba moderat, yaitu dengan cara membiarkan bedug tetap di masjid, tapi tidak dibunyikan.
Di kampung saya saja, bunyi bedug sembayang Jumat sudah berubah. Pembacaan surat al-Fatihah dan at-Tahiyat tidak lagi diiringi bedug. Bedug bunyi dulu, setelah selesai, baru pembacaan. Bagi saya yang sejak kecil tumbuh bersama bedug, perubahan ini tentu bikin ati gelo.
Ini sebetulnya tema lama. Pada awal abad 20, ketika Wahabi gencar masuk Nusantara, mereka bukan hanya menyerang pengikut tarekat, madzhab, hingga dukun, tapi juga ingin membuang bedug.
Sejak serangan inilah, menurut saya, bedug menjadi bagian dari agama Islam di Nusantara, tepatnya menjadi bagian Muslim yang menjunjung tinggi kenusantaraan. Meskipun menabuh bedug tidak berpahala, tapi melindungi bedug dan segala macam bunyi-bunyiannya adalah turut menjaga kekayaan Indonesia. Adanya atau tidak adanya bedug tidak akan mengubah iman kita, tapi memusuhi atau menemani bedug berpengaruh terhadap warna keberagamaan kita.