Nanti malam, masyarakat Semarang dan sekitarnya akan berduyun-duyun mengungkapkan rasa syukur atas ulang tahunnya Kiai Haji Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus.
“75 Tahun Gus Mus: Persembahan Sahabat dan Santri untuk Kiaiku,” begitu bunyi undangan yang beredar luas. Acara akan dimulai bakda Magrib di Komplek Sam Poo Kong, Jalan Simongan 129 Bongsari, Semarang.
Acara yang digelar oleh berbagai unsur masyarakat dan juga tempatnya acaranya memberikan informasi kepada kita bahwa Gus Mus hidup tidak hanya dalam “gelombang” pesantren dan Nahdlatul Ulama, tapi juga lintas identitas dan golongan. Hari ini, spektrum yang luas dari kehidupan Gus Mus menjadi sangat penting di tengah sebagian masyarakat menonjolkan identitas kelompoknya di tengah tumbuhnya “perumahan muslim”, di tengah menguatnya cara berpakaian menjadi penanda siapa yang paling Islam. Di sinilah, kita wajib bersyukur atas kesehatan dan umur Gus Mus.
Gus Mus yang lahir tanggal 10 Agustus 1944 adalah kiai yang dianugerahi banyak hal, kepandaian berbicara, menulis dalam berbagai bentuk, melukis, berbahasa, hingga kemampuan membaca cerpen dan puisi di muka umum. Komplit sekali, bukan saja untuk ukuran golongan ulama, tapi juga untuk ukuran orang pada umumnya. Kemampuan ini membuat Gus Mus dikenal luas dan memiliki daya adaptasi dengan segala zaman dan situasi.
Dan ini yang terpenting, kemampuannya melintasi banyak disiplin ilmu memperlihatkan kepada kita bahwa Gus Mus adalah manusia pembelajar. Dan sepertinya, feneomena Gus Mus ini menjadi orang pesantren yang menulis dalam “aksara latin”. Lihat saja orang-orang pesantren yang menulis dalam aksara latin seperti, sekedar contoh, Kiai Saifuddin Zuhri, Mahbub Djunaidi, Gus Dur atau Ahmad Tohari. Mereka belajar di segala disiplin ilmu, berpikiran terbuka, dan bergaul dengan banyak kalangan.
Bagaimana dengan aksara Arab dan Pegon?
Aksara Arab dan Pegon adalah basis Gus Mus. Karakter Gus Mus bersumber dari dua aksara tersebut. Aksara (dan bahasa) Arab adalah “inti”, karena dari sana ilmu keimanan dan keislaman berasal. Gus Mus memiliki ilmu bahasa dan sastra Arab dengan detail. Dari sinilah kita bisa memahami kenapa saat Gus Mus membaca Alquran atau mengutip hadis begitu nyaman di hati, enak di telinga, dan cocok untuk kita praktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Siapa pun yang mendengarnya, baik santri ataupun bukan santri, baik Islam ataupun bukan, baik perempuan ataupun laki-laki, bisa turut menikmati Islam.
Entoh begitu, dalam pengajian atau forum umum, Gus Mus tidak gampang membaca ayat Alquran atau menyitir hadis, kecuali kata-kata kunci yang sangat penting, seperti al-qisth, al-‘adl, ar-rahman, ar-rahim.
Saat menyitir hadis pun, yang bolak-balik disampaikan adalah kata kunci: Nabi yang tabassum, yang senyum, Nabi yang ajwad, yang paling dermawan, Nabi yang fathonah, yang cerdas, Nabi yang al-amin, yang terpercaya. Apa Gus Mus tidak menyampaikan hadis yang berisi cara berpakaian Nabi? Cara Nabi makan? Kisah Nabi berpoligami?
Ya menyampaikan juga, wong kiai, wong Gus Mus juga biasa tampil seperti orang Arab, memakai udeng-udeng (serban yang dililitkan di kepala, seperti Pangeran Diponegoro), dan saya kira saat salat Jumat, kemeja Gus Mus selalu (pasti tidak “selalu”) warna putih juga, sebagaimana yang dianjurkan Nabi. Gus Mus pun dipastikan sangat memahami larangan isybal (melebihkan pakaian hingga menutupi mata kaki).
“Mengikuti larang isybal seperti dalam hadis ya silakan, bagus, tapi jangan mencela yang orang yang bercelana hingga menutupi mata kaki, karena belum tentu sombong. Isybal itu ada catatannya,” mungkin ini jawaban Gus Mus jika kita bertanya tentang pakaian Rasulullah saw. Dan seterusnya, dan seterusnya… Gus Mus selalu mudah dalam menjelaskan agama.
Satu lagi aksara yang yang Gus Mus “hidup” di dalamnya. Apa itu?
Pegon atau aksara Jawi. Abdul Mun’im DZ menyebutnya “Pego”, bukan “Pegon”. Katanya Pegon itu kata sifat, seperti Kejawen atau Kebatinan. Kiai Maimoen Zubari dalam sebuah ceramahnya mengatakan, Pegon adalah ciri khas ulama Nusantara. Pegon, kata Mbah Moen, aslinya ditulis miring. “Tidak ada aksara yang ditulis miring, kecuali Pegon,” kata Mbah Moen. Benar atau tidak, tentu butuh penelitian lebih lanjut. Yang pasti, Pegon ini menjadi penanda Islam yang berkembang di Indonesia. Pegon hidup dalam aneka ragam bahasa yang di Nusantara: Melayu, Sunda, Jawa, Madura, Bali, Lombok, dan lain sebagainya.
Nah, Gus Mus adalah putra dari ulama yang memiliki karya tulis beraksara Pegon: Kiai Bisri Mustofa. Beberapa karya beliau yang terkenal di kalangan pesantren Jawa, antara lain, Tafsir Al Ibriz, Tarikhul Auliya dan Ngudi Susilo. Karya pertama yang saya sebut dibaca secara luas oleh orang-orang tua di kampung sampai sekarang. Almarhumah ibu saya –yang tidak bisa baca aksara Latin– misalnya, tidak membaca “buku” tafsir, kecuali al-Ibriz. Bayangkan jika tidak ada kitab itu, ibu saya hanya membaca Alquran, tanpa mengerti maknanya.
Sampai sekarang, aksara Pegon ini digunakan sebagai aksara sehari-hari di pesantren. Para santri saat memberi keterangan atau terjemah di buku-buku berbahasa Arab (kitab disebutnya) menggunakan aksar Pegon. Di sinilah Gus Mus dan jutaan masyarakat santri belajar tentang adaptasi, tentang lokalitas, tentang betapa pentingnya “bahasa dan karya sendiri”, tentang tali-temali dan sanad keilmuan, tentang tradisi.
Saya kira, tiga aksara inilah yang berkontribusi besar dalam membentuk sosok Gus Mus. Gus Mus memiliki kesadaran penuh bahwa aksara Arab, Latin, dan Pegon adalah rahmat agung yang harus disyukuri. Perpaduan tiga aksara itulah yang dijadikan landasan oleh Gus Mus dalam beragama, berbudaya, bermasyarakat, ber-NU, berkemajuan, bukan menglorifikasi salah satunya.
Selamat ulang tahun Gusque…