Sedang Membaca
23 Tahun Jadi TKI di Arab Saudi, Muhammad Sirot Sukses Besarkan 4 Anak
Hamzah Sahal
Penulis Kolom

Founder Alif.ID. Menulis dua buku humor; Humor Ngaji Kaum Santri (2004) dan Ulama Bercanda Santri Tertawa (2020), dan buku lainnya

23 Tahun Jadi TKI di Arab Saudi, Muhammad Sirot Sukses Besarkan 4 Anak

20220621 114024

Jika kedatangan Jemaah Haji Indonesia, ruang Paviliun Haji Bandara King Abdul Aziz Jeddah, sibuknya bukan main. Ruangan berbentuk kubus dengan dindin kaca tebus pandang, mendadak dipenuhi sekitar 450 jemaah plus para petugas haji dan aneka jenis aktivitas dilakukan secara serentak.

Jemaah yang belum sempurna pakaian kain ihramnya, maka harus bergegas menyempurnakannya. Sebetulnya, jemaah sudah menggunakan kain ihram saat di bandara keberangkatan, atau saat di atas pesawat sebelum masuk wilayah Yalamlam, tetapi tak sedikit yang masih menggunakan pakaian dalam.

Bagi jemaah yang mengejar keutamaan amalan sunah, mereka segera mandi di tempat yang berada di belakang paviliun. Sudah pasti antri. Tapi fasilitas kamar mandi di terminal haji cukup baik karena memang dibangun khusus. Jika sudah selesai mandi, mereka shalat sunah ihram di musala yang ada di dalam paviliun. Nah, jika sudah di musala, jemaah pasti terasa nyaman karena karpet empuk. Dan setelah shalat, coba terlentang sebentar meluruskan badan, uuuuhhhh…pasti enak sekali, setelah duduk kaku di pesawat berjam-jam. Tidak perlu sungkan-sungkan beristirahat, demi kesehatan yang nantinya juga akan mendukung kelancaran beribadah.

Bagi jemaah yang sakit, mereka akan segera dibantu para petugas kesehatan. Jika yang sakit memerlukan penanganan khusus seperti infus, maka akan dibawa ke ruang kesehatan. Sakit setelah tiba di bandara King Abdul Aziz adalah kewajaran, terutama bagi jemaah komorbit, sepuh, hingga kelelahan karena tidak bisa tidur di pesawat plus sebelum ke embarkasi mereka mengikuti rangkaian acara pemberangkatan haji di kampung halaman. Banyak sekali jemaah yang tidak tidur sehari semalam alias 24 jam.

Bagi mereka yang merasa harus segera menghubungi keluarga di tanah air, maka akan disibukkan mengaktifkan ponsel masing-masing. Teman saya Surya Yuli P dari Media Center Haji akan cekatan membantu jemaah yang kerepotan dengan urusan ponsel.

“Biasanya ibu-ibu yang butuh bantuan mengaktifkan saat di pavilun,” kata Surya. Dengan membantu jemaah, Surya senang karena bisa sambil wawancara untuk korannya. “Simbiosis mutualisme,” tambah Surya wartawan dari Suara Merdeka, Semarang Jawa Tengah.

Bagi jemaah yang ingin santai dahulu, tidak buru-buru mandi atau shalat, dipersilakan menikmati makanan ringan dan air zamzam dingin yang dibagikan kakak-kakak relawan yang mengenakan busana abu-abu. Dengan bahasa Indonesia yang terdengar cedal, relawan Arab Saudi akan menawarkan hidangannya, “Silakan Ya Haji Indonesia.. Silakan..”

Baca juga:  Meresapi Segarnya Taitung (1): Bermain-main dengan Teh di Chulu

Bagaimana dengan petugas haji Indonesia?

Lebih sibuk lagi. Wong mereka yang mengurusi 400an jemaah yang datang. Unit keamanan dan perlindungan, pendataan jemaah, kesehatan, konsumsi, transportasi, media center dan lain sebagainya akan bekerja sesuai dengan tugasnya masing-masing.

Kesibukan paviliun akan mereda jika ada rombongan yang sudah berbaris di tengah-tengah ruangan. Suasana akan berubah drastis, menjadi haru-biru jika pembimbing ibadah mulai memegang megaphone dan berdiri di depan barisan; menuntun lafal niat umrah disusul kumandang talbiyah yang nadanya khas:

Labbaika-llahumma labbaik, labbaika la syarika laka labbaik. Innal hamda wan ni‘mata laka wal mulk. La syarika lak… Aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah. Aku datang memenuhi panggilan-Mu. . Tiada sekutu bagi-Mu. Sungguhnya, segala puji, nikmat, dan segala kekuasaan adalah milik-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu..

Siang itu, Rabu 22 Juni 2022, yang membimbing jemaah untuk niat dan talbiyah adalah Muhammad Sirot. Sebetulnya, tugas utama dia penempatan jemaah, tapi jika sudah selesai tugas utamanya, dia turut membimbing ibadah. Gerakannya memang gesit, rapi, bicaranya santun, telaten melayani jemaah. Dia mampu membimbing ibadah?

Tidak diragukan lagi. Sirot fasih menuntun niat, mengumandangkan talbiyah, dan memimpin doa. Tidak lupa, sebelum itu semua, dia selalu mengingat penggunaan kain ihram. “Bapak dan Ibu, sudah mandi? Kain ihram sudah sempurna? Alhamdulillah jika sudah.. Mari kita luruskan lagi niat datang di Tanah Suci…”

Berkat kemampuannya itulah, oleh teman-teman, Muhammad Sirot dipanggil ustaz.

Mencari Berkah Kiai

Muhammad Sirot lahir di Bangkalan, 9 September 1972. Sejak lulus SD, dia menempuh pendidikan di Pesantren Ath-Thayyibah, Burneh, Bangkalan. Boleh dibilang sangat lama dia di pesantren, yaitu 10 tahun, dari tahun 1984-1994. Namun, hanya 4 tahun pertama dia fokus mengaji, belajar materi-materi keagamaan dan bahasa Arab. 6 tahun selebihnya, dia  ikut pengasuh pesantren, Kiai Haji Cholily Fathul Bari.

”Saya menyuci pakaian kiai, mengurus rumah, mengantar kiai pergi (jadi supir) dan banyak kebutuhan keluarga kiai saya kerjakan. Ngebuleh, kata orang Madura, Pak.. Ngalap berkah, kata orang Jawa. Mencari berkah,” Sirot bercerita pengalamannya di pesantren.

Kata teman saya Cholili Cholil, orang Pasuruan keturunan bangkalan, mencari keberkahan kiai adalah praktik yang sangat wajar dilakukan orang Madura, bahkan mereka tidak mengaji, tapi hanya menjadi khadam atau pembantu. Khadam atau pembantu dalam praktiknya, kata Cholili, bukan seperti asisten rumah tangga yang diberi gaji atau sebagai profesi, tapi ngawulo. 

“Secara total mereka menyerahkan tenaga dan pikirannya untuk mengabdi pada kiai dan keluarganya. Orang Madura sangat bangga dekat dengan kiai,” kata Cholili.

Baca juga:  Gempa Lombok, Pesan Sabar dari Tuan Guru

Cholili menceritakan kepada saya bahwa praktik mirip seperti itu pernah dilakukan para sahabat untuk Nabi Muhammad Saw. “Sahabat Anis bin Malik itu ngabuleh kepada Nabi selama 10 tahun. Lalu Nabi mendoakan Anas agar panjang umur, berkah, rezeki banyak dan keturunan baik. Dan benar, Anas bin Malik berumur 150 tahun, punya anak 100, dan nama beliau harum sampai sekarang,” Cholili memberi contoh.

Praktik mencari berkah kiai tidak khas Madura. Di banyak tempat di mana pesantren berkembang, praktik seperti itu lumrah terjadi. Istilahnya pun macam-macam, ada yang disebut “santri dalem”, khadam, dan lain-lain. Di pesantren tempat saya nyantri, di Krapyak disebut DPR, kependekan dari Dapur, karena sebagian tugasnya berada di dapur; memasak dan sejenisnya. Di Krapyak, ada “santri DPR” di ndalem Kiai Ali Maksum menjadi DPR betulan. Dia adalah Kiai Muslih, guru saya yang membaca Tafsir Jalalain.

Sukses Membesarkan 4 Anak

Tahun 1997, Sirot menikahi Aini, orang Bangkalan juga. Kiainya membelikan mobil untuk angkutan sebagai usaha pesantren. Sirot menjadi sopir angkutan dari Kamal ke daerah Burneh, bahkan sampai Sampang. Dia mendapatkan penghasilan dari mobil tersebut. Tapi ongkos operasional dan sisa yang dibagi untuk dirinya dan guru-guru pesantren tidak cukup. Banyak ruginya. Bermula dari situasi ini, Sirot terbersit keinginan menjadi Tenaga Kerja Indonesia di Arab Saudi. Selain karena penghasilan mengelola mobil pesantren tidak mencukupi, juga karena krisis ekonomi 1998.

“Pada tahun 1999 sekitar awal Agustus, kami punya rencana dan bermusyawarah dengan istri, mencari nafkah ke Arab Saudi. Saya pasti matur kiai juga. Alhamdulillah semua merestui. Akhir September 1999 saya dan istri berangkat dengan visa TKI.”

Dia mengungkapkan biaya ke Arab Saudi dikumpulkan dari hutang keluarga dan tetangga. “Kalau tidak salah ingat saya dapat hutangan sekitar 8.000 Real Saudi (SR) untuk urus visa, tiket dan buat sangu. Alhamdulillah setelah bekerja keras selama setahun, kami berhasil mengembalikan utang itu.”

Terhitung dari tahun 1999 hingga tahun 2022, Sirot sudah 23 tahun. September tahun ini, Muhammad Sirot ulang tahun ke-55. Itu Artinya, hampir separuh umurnya dihabiskan di tanah rantau. Tapi, dia beruntung, karena berangkat bersama istri tercinta. Bahkan dua anaknya lahir di Jeddah.

Baca juga:  Kota Tus, Kampung Halaman Imam Ghazali

Namun demikian, dia terlewat momen-momen penting yang terjadi di Madura. Saat bapaknya, Sanadi, wafat tahun 2006, Sirot tidak bisa menghantarkannya di tempat peristirahatan terakhir. Demikian juga ketika ibunya, bernama Siti Mariyah, menghembuskan nafas terakhir tahun 2011, Sirot tidak bisa menyaksikannya, begitu ketika 2 kakaknya wafat 2002 dan 2008. Puncak kesedihannya terjadi saat gurunya tercintanya KH Cholily Fathul Bari dipanggil Allah SWT, Sirot tidak bisa takziah. “Kami hanya bisa shalat gaib dan tahlil.” Saat mengatakan kalimat pendeka tersebut, air muka kesedihannya tidak bisa disembunyikan.

Namun demikian, semua kesedihan, kesepian, kerja keras, waktu pulang ke kampung yang tidak menentu, kadang 2 tahun, 3 tahun, dan segala dinamikanya di Arab Saudi terbayar dengan bayangan hidupnya, yaitu memesantrenkan dan menyekolahkan anak-anaknya. Saat bercerita 4 anaknya, wajah Sirot berseri-seri dan bolak-balik mengucapkan tahmid. Sirot seakan menanti pertanyaan saya tentang anak-anaknya, “Anak berapa? Sekolah di mana? Sekarang di mana?”

dengan runtut dan lancar, Sirot menerangkan pendidikan 4 anaknya, “Alhamdulillah, 3 anak saya sudah besar-besar. Alhamdulillah semua mendapatkan pendidikan. Yang pertama laki-laki Cholis Siroj sudah selesai, sekarang mengabdi di pesantren Al-Hikam Bangkalan. Kedua Hafid, nyantri di Al-Amin Prenduan. Sekarang kuliah di Al-Azhar Mesir. Sudah tahun terakhir. Ketiga Hidayah Sekarang kuliah di UIN Surabaya, sebelumnya di Prenduan juga. Yang terakhir Suhailah, masih di Prenduan. Alhamdulillah 2 anak juga sudah haji.”

“Itu pilihan anak-anak, Pak, kami hanya mendukung dan mendoakan,” jawab Sirot ketika saya tanya pesantren anaknya.

Di Jeddah, Muhammad Sirot bekerja sebagai penjaga rumah dan supir. Jika musim haji, dia pamit kepada majikannya untuk bekerja sebagai tenaga pendukung Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH). Tenaga pendukung adalah pekerja yang berasal dari mukimin di Saudi ataupun pelajar dari Timur Tengah. Yang sangat bermanfaat dari tenaga pendukung ini adalah kemampuan bahasa Arabnya. Jumlah tenaga pendukung ini sekitar 700 orang yang ditempatkan di berbagai daerah kerja dengan keahlian yang beragam. Sirot menjadi bagian dari mereka lebih dari satu kali. ”Saya senang Pak ketemu orang Indonesia, apalagi jika tenaga saya dibutuhkan,” pungkasnya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top