Bagi umat Islam di wilayah Pantura, khususnya Kabupaten Pati, Kudus, Jepara, Kendal, Semarang, dan sekitarnya, Muharam menjadi bulan penting, sakral, dan mistis. Mengapa? Ada beberapa tradisi menarik yang sampai detik ini masih lestari dan selalu menyimpan enigma.
Umat Islam di wilayah lain juga melestarikan tradisi malam satu suro, 10 suro, grebeg suro, suran, yang merupakan ritual wajib di bulan Muharam sebagai awal tahun hijriah. Sementara umat Islam di Panturo menyebutnya suronan, suroan, bodho suro dari kata “asyuro” yang berarti tanggal 10 Muharam. Di bulan ini penuh kegiatan religius yang berbalut tradisi lokal yang sarat akan sejarah peradaban Islam.
Entah kebetulan atau tidak, tradisi suronan di berbagai wilayah di Nusantara ini memang secara setting sejarah bertepatan dengan beberapa peristiwa dan kemuliaan agung. Nabi Muhammad Saw juga menyebut Muharram sebagai syahrullah (bulan Allah). Sangat wajar, jika umat Islam khususnya di Nusantara melestarikan beberapa tradisi di bulan Muharam sebagai wujud menghormati salah satu bulan sakral.
Tradisi suronan tidak hanya di Jawa. Penelitian Prasetiawan (2016: xix) menyebut, tradisi suronan masih lestari di Margolembo, Kecamatan Mangkutana, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Temuan penelitian, masyarakat melestarikan suronan terutama malam Satu Suro yang diyakini malam keramat. Kepada Allah, mereka meminta keselamatan, umur panjang dan keberkahan. Tradisi ini dilaksanakan setiap tahun, apabila tradisi malam Satu Suro tidak dilaksanakan maka akan menimbulkan bencana bagi masyarakat Margolembo.
Apakah hanya di Margolembo? Jelas tidak. Sakralitas suronan juga masih dijaga di berbagai daerah. Terutama, di wilayah Pantura dan umumnya di Jawa, DIY, dan Nusantara. Bahkan, penelitian Rofiqoh (2016: xi) menemukan, agama sangat berperan pada tradisi suronan ini terhadap pembentukan sikap keagamaan remaja di Keceme, Gerbosari, Samigaluh, Kulonprogo, DIY.
Ini artinya, suronan tidak sekadar tradisi, namun berperan meningkatkan religiositas umat Islam khususnya kaum muda. Maka urgensi melestarikan suronan adalah seratus persen, apalagi pemuda saat ini mudah tercerabut dari budayanya sendiri.
Peristiwa Besar
Ada beberapa peristiwa besar yang bertepatan dengan bulan Muharam atau Suro. Pertama, Nabi Yunus selamat karena keluar dari perut ikan paus. Kedua, Nabi Adam mendapat ampunan dari Allah. Ketiga, kemenangan Nabi Musa atas Fir’aun yang dulu memusuhinya. Keempat, keselamatan Nabi Yusuf yang bisa keluar dari sumur pembuangan.
Kelima, kenaikan Nabi Idris menuju langit tinggi. Keenam, kelahiran Nabi Isa. Ketujuh, mendaratnya kapal Nabi Nuh usai misteri ditenggelamkan selama enam bulan. Kedelapan, kesembuhan Nabi Ayub dari penyakit judzam (kusta atau lepra). Kesembilan, pengangkatan Nabi Sulaiman menjadi raja.
Kesepuluh, Nabi Dawud diberi ampunan Allah. Kesebelas, pemberian ampunan Allah untuk Nabi Muhammad, baik kesalahan masa lampau maupun mendatang. Keduabelas, kelahiran Nabi Ibrahim. Ketigabelas, Nabi Ya’qub bisa melihat kembali.
Di Nusantara sendiri, suronan tidak hanya dilatarbelakangi peristiwa besar di atas. Namun, suronan khususnya ritual malam Satu Suro dimulai ketika era Sultan Agung (1613-1645) yang menjadi pemimpin Kesultanan Mataram. Kala itu, Sultan Agung resah, karena masyarakat menerapkan sistem penanggalan tahun Saka yang merupakan warisan Hindu. Maka Sultan Agung melakukan ijtihad agar masyarakat menerapkan sistem kalender Hijriah yang diajarkan dalam Islam.
Hasil dari ijtihad itu, Sultan Agung memperluas ajaran Islam di tanah Jawa dengan menggunakan metode perpaduan antara tradisi Jawa dan Islam. Maka jadilah beberapa tradisi di bulan Suro yang bertepatan dengan Muharam itu sendiri. Salah satu wujud nyatanya berupa penanggalan 1 Muharam (1 Suro) yang bermanifestasi menjadi beberapa tradisi.
Apa yang dilakukan Sultan Agung sangat islami, humanis, dan mampu mengomparasikan kebenaran beragama tanpa mencerabut kebenaran berbudaya dan bernegara. Hal seperti ini harus didukung dan dilestarikan, agar Islam benar-benar menjadi agama rahmat bagi seluruh alam meskipun manusia dititahkan Allah hidup di bumi.
Suronan di Pantura
Suronan di Pantura memiliki keunikan dengan tahapan kegiatan dari awal hingga akhir bulan. Pertama, perayaan malam Satu Suro yang biasa dikemas dengan “malam tirakatan”. Kegiatannya berupa istigatsah, tahlilan, manakiban, doa bersama dengan membawa makanan dari rumah untuk dinikmati bersama sebagai wujud syukur kepada Allah. Pelaksanaannya, bisa di gang-gang, lapangan, dan umumnya di musala atau masjid.
Kedua, perayaan 10 Suro dengan menggelar santunan kepada yatim piatu, dan sedekah kepada fakir miskin. Bahkan, orang Pati menyebut 10 Suro ini sebagai “hari raya yatim piatu” karena dari berbagai jemaah pengajian, muslimat, fatayat, yayasan, sekolah, takmir masjid, menggelar pengajian dan santunan yang memberkahi yatim piatu serta fakir miskin.
Ketiga, perayaan haul akbar sesuai daerah masing-masing. Entah kebetulan atau tidak, di Pantura banyak wali besar yang haul saat bulan Suro. Di Kudus, bulan Suro menjadi puncak haul Sunan Muria yang ditandai dengan upacara Ganti Luwur.
Di Pati sendiri, saat saya kecil, ketika bulan Suro datang, yang saya tunggu hanya momentum ziarah ke kuburan Syekh Ahmad Mutamakkin Kajen, Margoyoso, Pati. Apalagi, banyak ritual di Kajen karena bertepatan Haul Mbah Mutamakkin. Dari tahun ke tahun, peziarah tak pernah sepi yang datang ke kuburan Mbah Mutamakkin sebagai mercusuar waliyullah di Pati. Sejak tahun kemarin Haul Mbah Mutamakkin dikemas dengan Festival Kajen yang menyuguhkan beberapa tradisi kuno dan zaman now yang menyesuaikan perkembangan.
Selain Mbah Mutamakkin, ada beberapa haul akbar seperti Haul KH. Abdurrohman di Ngagel, Haul KH. Hasbullah di Kembang, Dukuhseti, Pati. Di daerah lain di Pati hampir sama, perayaan suronan dikiblatkan pada ziarah dan wisata religi di kuburan Mbah Mutamakkin. Bagi warga Kajen, Suro menjadi berkah tersendiri karena dari jalan raya hingga kompleks kuburan tidak pernah sepi bahkan selalu macet saat suronan.
Di Jepara, ada tradisi Kirap Tumpeng dan hasil bumi yang dipusatkan di kompleks Sendang Bidadari Daren, Nalumsari, Jepara. Warga Kota Ukir juga selalu merayakan Festival Suronan khususnya di daerah Guyangan, Bangsri. Tradisi ini berupa peringatan tahun baru hijriah dan Haul KH. Mustofa Abdul Hamid yang berjasa dalam menyiarkan Islam di Jepara.
Di Kendal, perayaan suronan juga sama yang digelar bertepatan dengan Haul Sunan Abinawa. Selain pengajian, ada kirab dan warga memperebutkan nasi bungkus khususnya di Desa Pekuncen, Pegandon, Kendal. Warga setempat, percaya bahwa nasi bungkus itu menjadi nasi berkah.
Perayaan suronan di Pantura seperti ini menjadi bukti umat Islam masih melestarikan tradisi para leluhur, wali, ulama, dan kiai yang menyebarkan Islam. Mereka mendasarkan hal itu bukan pada animisme, namun justru lewat tradisi yang memudahkan umat Islam menuju keutamaan bulan Muharam.
Allah Swt dalam Alquran Surat At-taubah ayat 36 berfirman; “Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu di keempat bulan itu.”
Maka sangat wajar, umat Islam selain berpuasa, berzikir, sedekah, memberikan santunan, mereka juga takzim dengan para wali, alam, dan leluhur yang telah berjasa menyebarkan agama Allah yaitu Islam. Lewat tradisi itulah, mereka berusaha membalas jasa-jasa para wali. Jika tidak bisa membalas jasa para wali, ulama, dan kiai yang menyebar Islam di Nusantara lewat suronan, lalu dengan cara apa lagi?