Di Desa Dukuhseti, Kecamatan Dukuhseti, Pati, Jawa Tengah, sejak kecil, hampir tiap Kamis malam Jumat saya ikut tahlilan. Apalagi, ayah saya seorang modin yang hampir tiap hari ada undangan tahlilan. Selain acara di musala, masjid atau makam, saya sering diajak juga di rumah-rumah warga.
Tahlilan di desa saya tuntas. Maksudnya, tak ada masalah, karena umat Islam di sana 99 persen ya pemeluk “Islam Tradisi”: Nahdiyin. Tak ada perdebatan hukum tahlil sampai sekarang. Adapun serangan “politik bid’ah” itu hanya berlaku di kota-kota.
Lantaran saya merantau di Kota Semarang sejak kuliah, aktivitas tahlilan itu ada pergeseran. Jika dulu ada jamuan makanan, minuman, dan lainnya yang ala kadarnya, namun lambat laun bergeser menjadi mewah.
Ada gejala “gaya hidup wah” masyarakat di Pati dalam tahlilan. Tak sedikit yang menjual harta warisan sang mayit untuk menjamu warga yang tahlilan. Bahkan, banyak yang berhutang untuk memenuhi gengsi saat memberikan jamuan itu.
Namun kondisi mewah-mewahan ini tak bertahan lama. Ketika saya datang tahlilan acara mitoni (tujuh hari) kematian salah satu warga sekitar tahun 2008 lalu, ada pemandangan dan tradisi baru. Warga setempat menyebutnya “tahlil malaikatan”. Idiom ini unik, bahkan mungkin hanya ada di Pati dan sekitarnya.
Tahlil “Malaikatan”
Tahlil “malaikatan” bukan kegiatan mistis, apalagi mengajarkan kesesatan dan pesugihan. Idiom “malaikatan” ini diambil dari kata malaikat. Ia makhluk Allah yang tak makan dan minum yang berbeda dengan manusia. Tahlil “malaikatan” ini adalah kegiatan tahlil yang para jemaahnya tak diberi makan dan minum. Mereka diperlakukan laiknya malaikat.
Jika dulu tahlilan harus ada suguhannya, namun budaya tahlil “malaikatan” berbalik arah. Keluarga yang ditinggalkan sang mayit sudah kesusahan, sangat tak sopan jika warga membebani dengan mewajibkan ubo rampe (makanan) dalam tahlilan. Padahal, kepergian sang mayit membutuhkan biaya, mulai dari penyiapan kain kafan, pemandian, pemakaman, sampai mengurus acara ritual di rumah dan pembayaran utang sang mayit.
Di tengah masyarakat yang berkiblat pada formalitas dan gemerlap dunia, tahlil “malaikatan” bak hujan di musim kemarau. Meski tak semua umat Islam di negeri ini mengerti dan menerapkan tradisi ini, namun setidaknya memberikan pelajaran bahwa tradisi tahlilan harus mengutamakan substansi. Mengapa?
Sebab, selama ini tradisi tahlilan masih sekadar formalitas dan euforia saja serta mengutamakan bungkus.
Sejak dulu, di desa saya itu menerapkan tradisi tahlil “malaikatan”. Biasanya tahlilan digelar mulai dari malam 1-7, tiap malam Jumat sampai 40 hari, dan sampai 100/1000 hari, dan setahun (haul) dari kepergian sang mayit.
Namun, ada yang menerapkan pola tahlil “malaikatan” di hari-hari tertentu. Misalnya, dari malam 1-2 tahlil “malaikatan”, kemudian di malam 3 pihak keluarga memberikan jamuan. Pada malam 4-6 tahlil “malaikatan”, dan pada malam 7 pihak keluarga memuncakinya dengan memberikan berkat: makanan.
Di tengah era Revolusi Industri 4.0 sekarang, tahlil “malaikatan” di desa saya masih berjalan lancar. Sebab, fenomana ini mendarahdaging sejak dulu. Bahkan, tahlil menjadi ritual wajib dalam kegiatan apa saja.
Acara selapanan, nikahan, sampai acara peresmian rumah baru pun ada tahlilan. Tanpa tahlilan, semua acara-acara itu sepi bahkan hampa. Masalahnya, mengapa orang Jawa di tiap ritual budaya harus ada makan-makan?
Tahlilan Atau Makan-makan?
Tradisi umat Islam di Jawa memang lain dari yang lain. Tiap ada pertemuan seperti kenduren, bancakan, krayahan, tahlilan, diba’an, yasinan, burdahan, selawatan, hampir semuanya ada suguhannya. Budaya ini tak terlepas dari doktrin jer basuki mawa beo. Artinya, untuk mencapai keberhasilan diperlukan biaya atau pengorbanan.
Secara sederhana, mendatangkan orang harus memberi jamuan. Sebab, orang Jawa meyakini, pemberian jamuan itu wujud menghormati tamu.
Akan tetapi, adanya tahlil “malaikatan” ini mengajarkan kita berpuasa. Budaya ini mengajarkan kita memahami isi dan tak mengutamakan bungkus. Sebab, datangnya warga ke rumah shohibul musibah bukan untuk sekadar makan-makan, melainkan untuk mendoakan.
Ada buah rohani yang harus dipetik dari tradisi tahlilan “malaikatan” ini. Di antaranya buah keberkahan, persaudaraan, religiositas, dan juga kemesraan rohani. Orang mati hanya meninggalkan nama, keluarga, dosa dan pahala. Tugas yang masih hidup tak boleh membebani yang ditinggalkan, melainkan harus meringankan.
Minimal, lewat bacaan doa-doa, tahlil, yasin, dan selawat dalam ritual tahlilan, bisa meringankan dosa mayit. Adapun keluarga, tak perlu repot-repot harus menjual harta warisan untuk menyuguhi tamu saat tahlilan. Sebab, tak sedikit ritual tahlilan ini justru menjadi “festival makanan” dari malam pertama sampai ketujuh sejak ditinggalkan mayit.
Bahkan, di salah satu daerah di Kabupaten Kendal, ada tahlilan yang memang tak membebani tuan rumah. Para warga yang datang tahlil justru membawa makanan dan minuman sendiri.
Di lain sisi, hampir di tiap daerah di Jawa, ketika ada kematian, saat warga datang takziyah juga membawa beras, uang, yang dalam Bahasa Jawa disebut nyumbang. Mereka nyengkuyung dan meringankan beban keluarga dengan cara membantu sekuatnya.
Pola tahlil “malaikatan” sudah dilakukan di sejumlah daerah meski tradisi itu tak dinamakan “malaikatan”. Namun bukan berarti pihak shohibul bait seratus persen tak memberi suguhan. Sebab, Islam sendiri mengajarkan pemeluknya menghormati, menyuguhi bahkan memuliakan tamu sekalipun bukan muslim. Nabi Muhammad pernah besabda: “Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya” (HR. Bukhari).
Hadis ini memberi pesan untuk menghormati tamu. Sekalipun tak ada apa-apa di rumah, namun menghormati orang tahlilan di rumah adalah bagian dari mengamalkan pesan Rasullah. Namun, semua itu harus sesuai kekuatan materiil tuan rumah. Sebab, substansi tahlilan adalah untuk mendoakan, bukan sekadar orientasi makanan.
Dalam satu riwayat, Nabi Muhammad SAW pernah besabda:
“Perbanyaklah kalian membaca selawat kepadaku pada hari dan malam Jum’at, barangsiapa yang berselawat kepadaku sekali niscaya Allah berselawat kepadanya sepuluh kali” (HR. Al-Baihaqi (III/249).
Tahlilan tak sekadar ritus dan menjadi liturgi saat malam pertama sampai ketujuh di rumah orang meninggal dunia. Tahlilan harus rutin digelar tiap malam Jumat agar jamuan makanan rohani itu dinikmati para leluhur kita sesuai perintah Rasullulah di atas.
Kita tahu, ribuan makam para wali di negeri ini memberikan berkah pada penghuni di sekitarnya. Secara kasat mata, orang mati itu “menghidupi” orang hidup di sekitarnya. Sebab, para warga berjualan di sekitar lokasi makam dan hidup dari sana. Itu bukti jika orang mati menghidupi orang hidup.
Dalam konteks tahlil “malaikatan”, fenomena seperti ini harus disyukuri. Artinya, tujuan materialisme terkadang akan berbuah kekosongan belaka. Sementara tujuan kekosongan atau kesunyian, bisa berbalas materialisme.
Di sinilah, tahlil “malaikatan” harus dimaknai sebagai metode menuju kesunyian yang abadi. Jadi sudah saatnya kita membumikan tahlil “malaikatan” sebagai metode mendapat kesunyian. Jika tidak sekarang, kapan lagi?
Sekedar share memang tahlilan setalah kematian itu memang boros…saya tinggal di sukoharjo daerah bekonang…memang basis muhamadiyah..sdh muusnah budaya ogo rampe seperti kondangan sebelum ramadahn. Itu pun generasi ibu saya 45 mengenal seprti itu. Akibatnya sekarang pun beda sekali cth orang meningal sekarang seperti ngubur kucing bllas sepi gak ada acara acara seprti itu lagi.. Dan efeknya nasi berkah ingkung dll .. Memang sdh kehilangan makna seorang jawa yg kehilangan budaya nenek leluhurnya.