Hamidulloh Ibda
Penulis Kolom

Dosen dan Ketua Program Studi Pendidikan Guru MI (PGMI) STAINU Temanggung, Alumnus Pondok Pesantren Mamba’ul Huda Pati. Tinggal di Semang, Jawa Tengah

Menziarahi Makam Sunan Kuning

Ketika mengajak teman-teman WA berziarah ke Sunan Kuning Semarang, mereka justru marah. “Sampeyan ki ngawur, masak ngajak ke tempat lokalisasi PSK,” respons salah satu teman. Saya tak bisa menjelaskan panjang lebar dialog di grup WhatsApp itu. Jika dipaksa, bisa salah paham.

Di grup saya itu isinya kaum intelektual, rata-rata dosen. Mereka masih terdoktrin Sunan Kuning atau akrab disebut “SK” itu lokalisasi, prostitusi, PSK, hiburan malam, tempat membuang lendir, “jajan” dan mabuk. Resosialisasi Argorejo atau Sunan Kuning makin terkenal lantaran Pemkot Semarang sejak awal 2018 berencana menutupnya sesuai instruksi Kemensos karena menarget Indonesia bebas prostitusi 2019.

Wacana penutupan resosialisasi Argorejo makin kuat. Ditambah, bertepatan bulan Ramadan tahun ini. Pelurusan yang saya maksud lebih pada kesalahan sejarah dan stigma buruk Sunan Kuning. Soal penutupan, menjadi urusan pemerintah sebagai pemangku kebijakan.

Meluruskan

Pelurusan tak hanya soal resosialisasinya. Melainkan, nama atau idiom Sunan Kuning yang melekat “tempat pelacuran”. Sunan Kuning memiliki nama asli Soen An Ing, Kanjeng Sunan Kuning, atau Raden Mas Garendi. Lantaran lidah orang Jawa susah menyebut bahasa Tionghoa, Soen An Ing menjadi Sunan Kuning.

Sunan Kuning hidup sekira abad 17 masehi. Sedangkan Belanda datang pertama kali ke Nusantara untuk berdagang pada 1596-an. Awalnya berdagang, namun lama-lama Belanda menjajah. Pada 1602, Belanda mendirikan VOC, sebuah BUMN atau Kongsi Dagang dengan sistem kompeni dan merugikan warga Nusantara. Saat itu perlawanan dimulai, termasuk Sunan Kuning ikut andil di dalamnya.

Getah penjajahan itu, tak hanya bagi pribumi, namun orang Tionghoa juga mendapat perlakukan sama dari kolonial Belanda. Dalam buku Ethnic Chinese in Indonesia (Etnis Tionghoa di Indonesia), Mely Tan Giok Lan (2005: 796) menyebut pada periode awal kolonialisasi Hindia Belanda, masyarakat keturunan Tionghoa oleh Belanda dijadikan tukang dalam pembangunan kota Batavia di pesisir barat laut pulau Jawa.

Nasib perbudakan, kerja tanpa upah, dan embargo kekayaan Nusantara itu dilawan para pahlawan. Dalam buku Geger Pacinan 1740-1743; Persekutuan Tionghoa-Jawa Melawan VOC, Daradjadi (2013) menyebut Sunan Kuning turut menunjukkan taji melawan penjajah. Sunan Kuning bersama Kapitan Sepanjang (Khe Panjang) dan Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa) mengobarkan perlawan sengit terhadap VOC di wilayah kekuasaan Mataram.

Baca juga:  Hal yang Perlu Diketahui Sebelum Berziarah ke Madinah

Meski minoritas, namun orang Tionghoa turut bersumbangsih melawan Belanda dan menyebar ajaran Islam. Gus Dur pun, sebelum, saat, dan setelah menjadi Presiden RI konsisten merangkul etnis Tionghoa meski pada mereka yang bukan Islam. Sunan Kuning, menjadi bukti bahwa Tionghoa meski minoritas, namun rasa nasionalisme dan kepedulian terhadap Islam sangat tinggi.

Banyak tokoh Muslim Tionghoa berperan menyebar Islam. Sebut saja Abdul Karim Oey atau Oey Tjeng Hien, Tan Hok Liang (Anton Medan), Lauw Tjhwan Thio (Haji Junus Jahja) dan lainnya. Mereka sangat nasionalis, religius, dan setia NKRI. Jika ada tokoh Muslim Tionghoa mengkhianati NKRI, hakikatnya mereka su’ul adab pada pendahulunya. Salah satunya pada Sunan Kuning yang berjasa besar pada Islam di Jawa.

Kuburan Sunan Kuning ditemukan Mbah Saribin, buyut dari Sutomo juru kunci kuburan Sunan Kuning yang sekarang masih hidup. Dari literatur yang dijelaskan Rukardi (2012: 182-284), Saribin dulu kehilangan lima ekor kerbau. Lalu, ia sempat meminta petunjuk dengan bersemedi di Gunung Pekayangan. Saat membersihkan semak belukar di sana, ia menemukan batu nisan yang itu adalah kuburan Soen An Ing.

Sebelumnya, ia ditemui beberapa sosok pengemudi kereta kencana. Dalam persemedian itu, Saribin sempat berkomunikasi dengan para penunggang kereta tersebut. Saat muncul, mereka memperkenalkan diri sebagai Kanjeng Sunan Kuning bersama Kanjeng Sunan Kalijaga, Sunan Ambarawa, beserta para abdi, yaitu Mbah Kiai Sekabat, Kiai Jimat, dan Kiai Majapahit. Sejak itu, Gunung Pekayangan dikenal tempat ngalap berkah dan bersemedi (uzlah).

Lantaran dianggap keramat dan tempat ngalap berkah, Ny Siek Sing Kang warga Tionghoa dari Klaten pernah datang ke lokasi kuburan Soen An Ing. Siek Sing Kang meminta tolong untuk menemukan emas berlian miliknya yang hilang di kereta api.

Tiga hari menyepi, Siek Sing Kang akhirnya mendapat petunjuk. Emas berlian yang ia cari berada di kantor polisi. Sebagai ungkapan syukur, Siek Sing Kang membangun nisan, cungkup permanen, membangun kuburan Sunan Kuning dengan model akulturasi Cina-Jawa. Sebelum dikenal sebagai lokalisasi, Sunan Kuning menjadi tempat berziarah, bukan berzina.

Baca juga:  Bagaimana Orang Ternate Menyambut Lailatul Qadr?

Penelitian Hidayat (2015), menyebutkan awal mula lokalisasi Sunan Kuning berdiri pada 1960-an. Sebelum di lokalisasi Sunan Kuning, operasi prostitusi di Kota Lumpia ini berada di sekitar jembatan Banjirkanal Barat, Jalan Stadion, Gang Warung, Gang Pinggiran, Jagalan, Jembatan Mberok, Sebandaran, dan lainnya. Kemudian, Pemkot Semarang meresosialisasi PSK di daerah Karang Kembang Semarang.

Pada 1963, pemerintah memindahkan di sekitar perbukitan Argorejo. Lokalisasi Sunan Kuning ini diresmikan Walikota Semarang Hadi Subeno dengan SK Wali Kota Semarang Nomor 21/15/17/66. Penempatan resminya pada 29 Agustus 1966 dan tanggal itu diperingati Hari Jadi Resosialisasi Argorejo. Tahun 2003, istilah lokalisasi Sunan Kuning diubah menjadi Resosialisasi Argorejo.

Dari sejarah ini, yang terjadi bukan penutupan, melainkan pemindahan saja. Sedangkan Sunan Kuning dikenal sebagai “lokalisasi”, bukan nama wali yang berlokasi tak jauh dari resosialisasi itu.

Pendapat lain, Silado (1740) menyebut Sunan Kuning sebenarnya memiliki nama populer Raden Mas Garendi. Para pemberontak Jawa-Tionghoa kala itu menobatkan Sunan Kuning sebagai Raja Mataram bergelar Sunan Amangkurat V Senopati Ing Alaga Abdurahman Sayidin Panatagama. Penobatan ini pada 6 April 1742 di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Sunan Kuning dinobatkan juga sebagai Raja Orang Jawa-Tionghoa.

Dari literatur sejarah di atas, sudah jelas Sunan Kuning bukan lokalisasi. Melainkan, nama wali penyebar Islam asal Tionghoa yang berpindah-pindah tempat di Indonesia. Tak diketahui pasti tahun berapa Soen Ang Ing berdakwah menyebarkan Islam di Semarang. Namun, jasa dalam penyebaran Islam, penyatuan budaya Jawa, Islam, Tionghoa harus dirawat dan dilanjutkan sebagai ruh religiositas, nasionalisme, pluralisme, dan toleransi.

Meziarahi

Sebelum melekat tempat prostitusi, peziarah di kuburan Sunan Kuning berasal dari berbagai daerah. Mereka tak hanya dari kalangan Jawa, namun Tionghoa, Cina, dan lainnya. Meski sudah terkotori tempat prostitusi, masih banyak peziarah melakukan penelitian, tahlilan, yasinan, dan pengajian yang kontinu berjalan.

Baca juga:  Curak: Tradisi Berbagi Masyarakat Cirebon yang Tetap Lestari

Kuburan Sunan Kuning ini berada 50 meter dari Resosialisasi Argorejo. Tepatnya, di bukit mini di Jalan Sri Kuncoro 1 RT 6 RW 2 Kelurahan Kalibanteng Kulon, Semarang Barat, Kota Semarang. Orang sekitar menyebut bukit mini itu Gunung Pekayangan yang dulu dijadikan tempat semedi Mbah Saribin penemu kuburan Sunan Kuning.

Pada Senin 9 April 2018, telah dilaksanakan pengajian Mujahadah “Nihadlul Mustagfirin”. Pengajian itu merupakan acara rutin setahun sekali tiap bulan Rajab. Pengelola Resosialisasi Argorejo, melakukannya karena itu pesan dari guru mereka, almarhum Gus Muh Tegalrejo.

Dulu, Gus Muh berpesan agar pengelola mengajak masyarakat (warga binaan Resosialisasi Argorejo) mengaji. Gandulono wong-wong kae, kenalke karo para kiai (bina mereka dan kenalkan kepada kiai). Demikian pesannya.

Secara humanis, Sunan Kuning memang wali bernasib kelam karena terkotori lokalisasi. Perlu penelitian, kajian, dan penelusuran panjang agar Sunan Kuning berada pada “makamnya”. Perlu ziarah spiritual, intelektual, dan ziarah politik agar kuburan Sunan Kuning ini benar-benar bersih dari kotoran. Meski susah, setidaknya membuka wacana, rencana masa depan agar Sunan Kuning benar-benar Sunan Kuning. Bukan lokalisasi dan prostitusi.

Beberapa pendekatan bisa dilakukan. Pertama, penutupan Resosialisasi Argorejo harus dikaji mendalam. Tak mudah menutupnya. Harus ada tim peneliti dan perumus konsep pemindahan sampai pada solusinya. Kedua, Kemensos, Pemrov, Pemkot, pengelola resos, aktivis, LSM/Ormas, tokoh agama, tokoh masyarakat, warga resos harus duduk bersama mencari solusinya.

Ketiga, jika resmi bubar harus disulap menjadi wisata religi dan mengembalikan Sunan Kuning kepada makam kewaliannya. Tahun 2016, Pemkot Semarang pernah melontarkan solusi penutupan resos ini. Pemkot berencana menjadikan ruang terbuka hijau berupa taman, bahkan membangun pondok pesantren nasional. Wacana ini bisa dilakukan untuk mengubah citra Sunan Kuning.

Prostitusi memang bukan satu masalah saja. Ada banyak faktor. Meski demikian, cita-cita, perjuangan, dan jasa Sunan Kuning begitu besar bagi perkembangan Islam. Bahkan, para pekerja seks menikmatinya dengan mencari rezeki lewat pekerjaan haram itu. Sunan Kuning mampu menyebarkan Islam, “menghidupi” para PSK dan berjuang untuk NKRI. Kini, siapa yang berjuang untuknya?

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)
  • Saya kira sebelum mensosialisasikan bhw Sunan Kuning itu wali dibutuhkan kajian yang mendalam. Khususnya tentang silsilah dr Sunan Kuning sendiri. Silsilah inilah yang akan menjelaskan siapa sebenarnya dia.

Komentari

Scroll To Top