Sedang Membaca
Mengkaji Fenomena Mahasantri
Hamidulloh Ibda
Penulis Kolom

Dosen dan Ketua Program Studi Pendidikan Guru MI (PGMI) STAINU Temanggung, Alumnus Pondok Pesantren Mamba’ul Huda Pati. Tinggal di Semang, Jawa Tengah

Mengkaji Fenomena Mahasantri

Jika kamu ingin pendalaman ilmu agama, mondok saja di pesantren. Jika kamu kuliah, yang kamu temukan hanya pendangkalam ilmu agama. Demikian pesan bapak saya belasan tahun lalu sebelum saya kuliah. Sebagai anak pertama, saya dipaksa melanjutkan mondok lagi usai lulus aliyah. Logis dan sesuai kebutuhan zaman, anak-anak desa seperti saya memang diharapkan menjadi penerus aktivis agama di masyarakat.

Namun kala itu saya merasa “bosan” mondok. Sebab, stigma yang melekat di benak saya, sistem pesantren pasti super bahkan ultra ketat. Dengan alasan itu, saya akhirnya diizinkan kuliah dengan syarat biaya sendiri, dan tidak boleh jauh dari masjid. Maka selama kuliah dan bahkan setelah lulus, saya menjadi marbut masjid selama lebih dari lima tahun.

Apa yang saya alami ini tentu dialami anak-anak Pondok Pesantren (Ponpes) yang ingin kuliah. Kekurangan bekal materiil, namun nekat dan bagaimana saja caranya agar dapat kuliah dengan modal rida orang tua.

Akan tetapi, ketika saya kuliah, ternyata ada istilah baru yaitu “mahasantri” atau santri yang statusnya mahasiswa. Mereka kuliah namun hidup di pesantren dan tiap hari beraktivitas laiknya santri di desa-desa. Namun, mahasantri ini kebanyakan hanya mondok yang tidak serius karena dari aspek kegiatan, waktu, dan kitab yang dipelajari berbeda dengan di pesantren salaf.

Penjara Suci

Tidak ada lembaga pendidikan sekomplet Pondok Pesantren (Ponpes), tak terkecuali juga Pondok Pesantren Mahasiswa (Ponpesma). Selain menggembleng santri dengan ilmu-ilmu agama, Ponpes juga mengajarkan Bahasa Arab, Bahasa Inggris, juga bahasa daerah yang alamiah antara kiai, santri, dan masyarakat.

Ponpes mengajarkan kemandirian, belajar ilmu dan belajar hidup. Sebab, hampir semua santri yang ikut ngangsu kaweruh dengan kiai memiliki kompetensi plus daripada lulusan pendidikan formal. Jika kiai punya sawah atau tegal, maka santri juga ikut mencangkul, menanam, dan memanen hasilnya. Jika kiai punya toko, atau bisnis lain seperti peternakan, percetakan, jasa travel, maka santri juga ikut mendapat berkah karena secara langsung belajar bisnis dan manajemen.

Di pesantren, santri sangat mandiri karena memasak, mencuci pakaian dan peralatan dapur, dan melakukan kegiatan dapur secara pribadi. Santri di Ponpes salaf juga terbiasa belanja sembako di pasar. Wajar jika orang Jawa menyebut Ponpes sebagai “penjara suci” karena sangat jauh dari gemerlap kehidupan dunia.

Baca juga:  Diaspora Santri (17): Tradisi Nahdlatul Ulama di Turki

Kehidupan seperti ini hanya contoh kecil bahwa Ponpes memang pendidikan yang komplet. Akan tetapi, pola seperti ini kebanyakan hanya berlangsung di pesantren salaf dan kuno di desa-desa. Sebab, kebanyakan santrinya belajar di jenjang SD/MI sampai SMA/MA yang biasanya satu yayasan dengan Ponpes tersebut.

Berbeda dengan Ponpesma yang hadir untuk menjawab kebutuhan mahasiswa yang belajar di kampus di kota-kota. Ada dua jenis Ponpesma, yaitu berdiri sendiri di luar manajemen kampus dan yang berdiri satu atap dengan kampus tersebut.

Pola pendidikan di Ponpesma sangat jauh dari “kemandirian”, baik secara keilmuwan maupun kemandirian hidup. Ponpesma yang dilengkapi dengan fasilitas modern membuat santri tak nggeteh (prihatin) dan merasakan kesederhanaan, bahkan penderitaan hidup. Santri di Ponpesma yang disebut mahasantri tak ada bedanya dengan yang hidup di kos-kosan.

Mengapa demikian? Sebab, mereka hidup adem karena kamar ada AC, jarang mencuci karena memakai jasa laundry. Mereka juga jarang masak karena warung makan bejibun di sekitar Ponpesma yang menjadikan mereka manja. Tak heran jika sebenarnya Ponpesma hanya sekadar “Ponpes rasa kos” lantaran belum menjadi pesantren sebenarnya, bahkan jauh dengan apa yang disebut “penjara suci”.

Ponpes Rasa Kos

Ponpesma berdiri tak lain karena ingin memenuhi kebutuhan mahasiswa. Tak hanya Ponpesma, tiap kampus yang memiliki kos/kontran atau biasa disebut Rumah Susun Mahasiswa (Rusunawa) juga berfungsi sebagai pesantren rasa kos. Meski aktivitas mengajinya tak seketat, sesibuk, sedalam, dan seintens pesantren salaf, Ponpesma dan Rusuwana menjadi alternatif tempat mengaji bagi mahasiswa meskipun parsial dan formalitas.

Ironisnya, kebanyakan mereka hanya “numpang” kos. Mereka hanya berteduh, tidur, makan, mandi, tanpa ada niat serius mengaji laiknya di pesantren salaf. Sebab, tujuan utamanya bukan mondok, tapi kuliah. Inilah yang saya sebut sebagai “Ponpes rasa kos” karena aktivitas religiousnya jauh dari Pesantren secara umum. Lalu, laikkah seorang yang demikian disebut mahasantri?

Baca juga:  Benarkah Pluralisme di Tubuh NU Hanya Mitos?

Jika hanya hidup di kos atau kontrakan, santri yang kemudian disebut “mahasantri” hanya terpenuhi aspek sandang, pangan, dan papan saja. Sementara aspek keilmuwannya kurang. Maka mahasiswa memilih hidup di Ponpesma agar kuliahnya lancar. Ponpesma hanya menjadi “rumah kedua” yang hakikatnya tempat kos bagi mahasiswa.

Dari pengalaman penulis, aktivitas mengaji di Ponpesma justru menginduk dan menyesuaikan dengan kegiatan kampus. Apalagi dunia mahasiswa berbeda dengan dunia SMA, karena mereka ada yang ikut organisasi, jam kuliah sampai malam, bekerja dan lainnya yang membuat Ponpesma hanya sekadar tempat belajar sekunder bagi mahasiswa.

Pola seperti ini menjadikan “mahasantri” justru lebih “bodoh” dan dangkal ilmu agamanya dibandingkan dengan santri asli yang tidak pernah menyebut dirinya “mahasantri”. Padahal, setiap santri asli pasti nyegoro (bak lautan) ilmu agamanya, umumnya, juga ilmu kehidupannya. Bukan seperti mahasantri yang jauh dari kemandirian yang sejati.

Dekonstruksi Mahasantri

Beredarnya roda waktu menjadikan Ponpes berkembang. Jika dulu hanya dikenal Ponpes salaf (kuno) dan khalaf (modern), kini bejibun Ponpes dengan berbagai nomenklaturnya. Seperti contoh Pesantren Riset, Pesantren Tahfid, Pesantren Mingguan, bahkan Pesantren Kilat.

Tampaknya banyak orang yang ingin menjadi “santri” namun hanya parsial. Bisa dari aspek kegiatannya, hafalannya, hingga kitab-kitab yang dikaji dan juga kiainya. Kemenag pun melalui Pendidikan Diniyyah dan Pondok Pesantren (PD Pontren), sampai pertengahan 2017 telah meresmikan 27 Ma’had Aly di Indonesia.

Kemenag (2016) mendefinisikan Ma’had Aly sebagai perguruan tinggi otoritatif dalam pengembangan ilmu Islam murni. Secara regulatif, Ma’had Aly juga diakui sebagai pendidikan tinggi yang memiliki legalitas, kurikulium, dan menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional. Statusnya pun sama seperti perguruan tinggi berocrak UIN, IAIN, STAIN dan lainnya.

Akan tetapi, posisi Ma’had Aly berbeda dengan Ponpesma atau Rusunawa. Sebab, Ma’had Aly menjadi bagian dari rumah pertama menimba ilmu, secara regulatif maupun kultural. Sementara Ponpesma dan Rusunawa hanya menjadi rumah kedua dalam menimba ilmu, karena aktivitas utama mereka di kampusnya masing-masing.

Baca juga:  Munas dan Gairah Intelektual Anak Muda NU

Keberadaan Ponpesma memiliki kekurangan dan kebelihan. Kelebihannya, para mahasiswa yang kemudian disebut mahasantri bisa mengaji meski tak sekomplet pesantren salaf. Kekurangannya, cenderung menjadi kos, tempat tidur, dan menjadi pelarian mahasiswa yang tak kuat bayar kos/kontrakan yang mahal.

Untuk itu, secara struktural dan kultural, Ponpesma, Rusunawa, dan mahasantri harus didekontruksi. Pertama, Ponpesma dan Rusunawa tak boleh formalitas. Aturan, fungsi, dan kurikulum pembelajarannya harus setara dengan ponpes salaf. Sangat wagu ketika peserta didiknya disebut “mahasantri” tapi tak bisa membaca kitab kuning, apalagi memaknai dan menghafalnya.

Kedua, integrasi dan penyesuaian kurikulum, metode, dan waktu mengaji harus sinkron dengan jam kuliah. Jika perkuliahan umumnya siang, maka aktivitas mengaji bisa dilakukan sore, malam, dan dari subuh hingga pagi hari. Pasalnya, banyak Ponpesma hanya menerapkan aktivitas mengaji seminggu sekali, itupun ketika ustaznya hadir.

Ketiga, pengasuh atau kiai di sana harus benar-benar intens menerapkan aturan laiknya pesantren salaf. Jangan sampai Ponpesma hanya menjadi tempat tidur-tiduran, makan, dan bermain teman-teman mahasiswa.

Keempat, kultur dan tradisi yang dilakukan harus menanamkan kemandirian, baik dari aspek pemikiran, akidah, maupun gerakan. Sangat haram jika mahasantri tak bisa menyetrika, memasak dan mencuci bajunya sendiri. Kelima, tradisi nderes, menghafal, dan tazir harus diberlakukan di Ponpesma. Sebab, jika hanya menjadi tempat tidur, maka tidak ada bedanya Ponpesma dengan kos-kosan biasa.

Meski selamanya antara Ponpes salaf, Ponpesma, dan Rusunawa setara, setidaknya aktivitas dan kualitas mahasantrinya setara dengan santri Ponpes salaf. Mahasantri berarti santri yang amat besar, baik keilmuwan dan kemandirinnya. Mereka posisinya di atas “santri” biasa. Bukan sekadar mahasiswa yang menjadi santri, namun santri yang ilmunya sudah nyegoro dan kemandirinnya sudah tahan banting.

Selain lihai baca kitab kuning bahkan hafal Alquran, mahasantri wajib mandiri, bahkan punya ilmu kebatinan serta kekebalan. Jika buta kitab kuning, tak bisa memaknai kitab, memasak, mencuci, tak kebal, apa laik disebut mahasantri? (RM) 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top