Saya mendefinisikan setiap wali memiliki makam/maqamat tertentu ketika kita wasilah pada Allah lewat wali itu. Khusus Mbah Hamid Kajoran, versi teman saya itu, makamnya khusus urusan pendidikan. Begitu pula dengan wali-wali lain di Jawa Tengah dan umunya di Nusantara.
Di tempat kelahiran saya, Pati, ada beberapa wali yang memiliki makam tertentu. Di sebelah barat desa saya, Dukuhseti, ada Syekh Hamim atau Mbah Anggur. Orang-orang ketika ziarah ke sana lebih cenderung bertawasul urusan pertanian. Dulu, Syekh Hamim merupakan petani dan penggembala kerbau milik gurunya, Mbah Brojoseti Singo Barong pendiri Desa Dukuhseti.
Ada juga KH. Ahmad Mutamakkin Kajen (1719-1726 M) dan KH Abdullah Salam (1917-2001 M). Dalam kacamata orang Pati, makam beliau berdua adalah santri tulen. Ketika orang ziarah ke sana jika bukan santri, akan susah terkabul dan tersampaikan pada Allah. Syarat ziarah ke sana, jika kita bukan santri tulen, maka pikiran, perkataan dan perbuatan kita harus suci dulu.
Berbeda dengan Syekh Jangkung (Sariden) yang dikenal wali Jawa dan nyeleneh dalam tingkah laku kewaliannya. Orang Pati dan di wilayah Pantura, meyakini Sariden merupakan wali Jawa yang semua orang bisa bertawasul ke sana tanpa harus suci dulu. Sariden ibarat wali nyegoro laiknya laut. Semua benda, sampah, dan kotoran bisa masuk ke laut. Semua orang, mulai pejabat, guru, bupati, pencuri, pekerja seks, bisa ke tawasul ke Sariden tanpa perlu suci terlebih dulu karena makamnya ibarat lautan.
Tentu berbeda dengan makam Mbah Mutamakkin dan Mbah Dullah yang seperti telaga bersih, terjaga, dan tak semua makhluk bisa hidup di sana. Wali-wali lain, dipastikan memiliki derajat, makam, dan spesifikasi berbeda. Ada yang khusus tawasul urusan pendidikan, karir, jodoh, ekonomi, bahkan urusan politik.
Semua itu tak bisa dipahami sempit dengan “meminta” kepada sang wali. Mereka hanya perantara, bukan pemberi. Hanya Allah yang Maha Pemberi. Wali-wali yang memiliki makam itu, hanya alat mendekatkan diri pada Allah dan membuka cakrawala kepentingan manusia agar tercapai lewat tradisi ziarah, tawasul, dan ndepe-ndepe pada Allah lewat wali.
Meski derajat wali di atas sangat banyak dan detail, namun bagi sarjana kuburan perlu meneliti makam di balik kuburan lebih dalam dan luas. Sebab, para penulis kitab-kitab kuning di atas kebanyakan pernah hidup, bahkan mereka sendiri bisa jadi wali yang berbeda dengan makam kita.
Peran juru kunci juga sangat menentukan pemahaman terhadap para peziarah. Lebih-lebih, bagi kuburan yang tidak ada juru kuncinya. Juru kunci inilah yang menjadi agen literasi spiritual untuk menjelaskan makam di balik kuburan yang dijaganya.
Generasi milenial harus tahu “peta spiritual” itu sebagai modal melestarikan tradisi ziarah kubur sebagai bentuk penghambaan pada Allah lewat para kekasihnya. Mereka harus kita sapa, ziarahi, dan keberkahan itu akan muncul ketika kita menyapa mereka, bukan meminta kepada mereka. Di hadapan Allah lewat wasilah wali pun, kita dilarang bermental pengemis. Masalahnya, apakah semua umat Islam memahami hal ini