Sedang Membaca
Menafsirkan Alquran Autodidak
Hamidulloh Ibda
Penulis Kolom

Dosen dan Ketua Program Studi Pendidikan Guru MI (PGMI) STAINU Temanggung, Alumnus Pondok Pesantren Mamba’ul Huda Pati. Tinggal di Semang, Jawa Tengah

Menafsirkan Alquran Autodidak

Ayat Alquran tentang perintah jihad selama ini ditafsirkan secara tekstual, kaku, linier, dan tak dikontekskan dengan realitas kebangsaan dan keagamaan. Mereka “autodidak” menafsir Alquran tanpa guru, kiai, dan tak memenuhi syarat mufasir sesuai dalam Ulumul Quran atau Ulumul Hadis.

Lantaran autodidak, gurunya internet, tak ada sanad keilmuwan tafsir yang valid, hasilnya parsial bahkan bisa menyesatkan. Sejak Nabi Muhammad SAW wafat, banyak bermunculan hadis palsu bahkan nabi palsu. Tak heran jika sekarang bermunculan penafsir “abal-abal”.

Model penafsiran tanpa guru dan syarat mufasir ini cenderung permukaan dan rentan dipalsukan untuk kepentingan tertentu. Dalam Ulumul Quran (ilmu-ilmu tentang Alquran), tak sembarang orang boleh menafsirkan Alquran.

Mereka harus memenuhi syurutul mufassirin (syarat-syarat penafsir). Selain pandai Ulumul Quran, juga Ulumul Hadis (ilmu-ilmu tentang hadis), Bahasa Arab, nahwu, sharaf, balaghah, dan ilmu mantik. Mereka diutamakan hafal Alquran dan memiliki etika penafsiran agar tak bias menafsirkan.

Apakah hanya itu? Tidak. Menafsir ayat Alquran tak boleh tekstual terus. Harus mengomparasikan tekstual, kontekstual bahkan intertekstual. Model ini harus dipahami umat Islam di Indonesia agar tahu kodifikasi tafsir sesuai realitas sosial dan kondisi alam.

Korsletnya pemahaman ayat-ayat jihad yang menyulut api radikalisme, terorisme, jihad sesat, tak lain dari produk penafsiran otodidak. Kapasitas umat Islam tak semuanya bisa melakukan tafsir. Minimal, kita melakukan tadabbur (menelaah), ta’qil (menggunakan akal), tatafakkarun (berpikir) dari ayat Alquran untuk dicari kebaikannya.

Mengapa? Dalam Alquran, tak ada perintah eksplisit “menafsirkan”. Hanya ada ayat berbunyi yatadabbarun, tatafakkarun, ta’qilun, dan tak ada kata tafsirun. Jika tak memiliki kapasitas mufasir, kita harus ittiba’ (menganut) pada penafsir sahih, alim, memiliki etika dan kontekstual.

Baca juga:  Istilah Kafir dalam Perdebatan Ushul Fikih

Misalnya kata yadullah, arti tekstualnya “tangan Allah”. Apa boleh Allah disamakan dengan manusia? Maka kalimat itu harus dikontekskan dengan “kekuasaan Allah”. Begitu pula dengan ayat lain yang harus lebih ilmiah dan kontekstual.

Memaknai Ayat Jihad

Dalam Alquran, ada 30 lebih ayat tentang jihad. Dalam surat Al-Maidah ayat 35 artinya; “Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.”

Surat At-Taubah ayat 20 artinya; “Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.”

Apakah makna jihad pada dua ayat di atas bernada kekerasan, terorisme, mengebom? Tidak. Jika jihad diartikan berjuang lewat “mengebom” untuk menegakkan syariat Islam dan membunuh non-Muslim, justru tafsir itu sangat irasional. Dalam Bahasa Arab, jihad intinya perjuangan, pembaharuan, bersungguh-sungguh, membongkar kesulitan dan lainnya.

Pelakunya, jika dikontekstualisasikan menjadi tiga. Pertama, mujtahid (pemikir) sebagai output dari ijtihad. Kedua, pejuang (mujahid) yang melakukan mujahadah (perjuangan) di jalan Allah seperti mengajar TPQ, madrasah, memakmurkan masjid, menyantuni anak yatim, dan lainnya.

Ketiga, mujadid (pembaharu), inovator, pelopor yang merupakan output dari tajdid (pembaharuan) di bidang ilmu pengetahuan, jagat akademik dan lainnya. Jika ditransformasi, jihad dan terorisme sangat paradoks dari tiga konteks di atas. Sangat cacat logika jika jihad diartikan kekerasan, mengebom, membunuh non-Muslim.

Baca juga:  Sajian Khusus: Pesantren dan Pemberdayaan Ekonomi

Tepat Memilih Tafsir

Perilaku jihad akan benar, baik, dan indah ketika umat Islam memahami tiga ruang lingkup di atas. Maka kita bisa memilih tafsir dari ulama-ulama pribumi yang sudah disesuaikan kultur/kondisi negara kita yang ramah dan toleran. Banyak ulama pribumi memiliki derajat internasional laiknya mufasir di Timur Tengah.

Sebut saja Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani (1813-1879) dari Banten, Syekh Muhammad Yasin bin Muhammad Isa Al-Fadani (1915-1990) asal Padang, Sumatera Barat. Prof. HAMKA (1908-1981) dengan Tafsir Al-Azhar, KH. Bisri Mustofa (1915-1977) dengan Tafsir Al-Ibriz, Syekh Abdurrauf As-Singkili (1615-1693) pengarang kitab tafsir Tarjuman Al-Mustafid. Kemudian Prof. Dr. KH. Mahmud Yunus (1899-1982) dengan kitab Tafsir Quran Karim (1938), KH. Anang Sya’rani Arif Al-banjari (1914-1969) penulis Thanwirut Thulab (ilmu yang menguraikan tentang Ushul Hadist).

Ahmad Hassan (1887-1958) penulis Tafsir Alquran, Al-Furqan (1956), Prof. Dr. KHR. Muhammad Adnan (1889-1969) penyusun Tafsir Alquran Suci Basa Jawa, Prof. Dr. T.M Hasbi Ash-shiddieqy (1904-1975) penulis kitab Tafsir Alquran “An-Nur”, Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab penulis Tafsir Al-Mishbah, dan lainnya.

Mereka merupakan mufasir yang patut menjadi rujukan daripada menafsir autodidak dan belajar dari internet. Jika tafsiran ayat jihad itu benar, hasilnya pasti perdamaian, cinta kasih, pembaharuan, dan inovasi. Jika salah, maka melahirkan radikalisme. Apakah kita merujuk model penafsiran yang salah?

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top