Sedang Membaca
Membongkar Misteri 212
Hamidulloh Ibda
Penulis Kolom

Dosen dan Ketua Program Studi Pendidikan Guru MI (PGMI) STAINU Temanggung, Alumnus Pondok Pesantren Mamba’ul Huda Pati. Tinggal di Semang, Jawa Tengah

Membongkar Misteri 212

Ahad (2/12/2018), di Masjid Istiqlal, Monas, dan Bundaran HI dikepung ribuan umat Islam yang melakukan Aksi 212. Aksi ini merupakan peringatan Aksi 212 sejak 2 Desember 2016. Kita harus objektif membongkar gerakan 212 ini, apakah benar-benar murni gerakan umat Islam, politik, atau hanya gerakan sporadis yang digerakkan segelintir orang? Harus kita dekonstruksi dan desakralisasi secara ilmiah dan Islami.

Mengapa? Karena kebenaran yang dikonstruksi dari fenomena 212 ini tak bisa jika sekadar kebenaran biasa. Harus ada pendalaman kebenaran ilmiah, filsafat, dan kebenaran agama dalam melihat Aksi 212 ini.

Dalam sejarah perkembangan peradaban manusia, kita mengalami fase manusia hidup di era mitos, klenik, gugon tuhon, era berkiblat pada ramalan, folklore, zodiak, horoskop, dan lainnya. Sementara dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan, era manusia dibagi ke dalam beberapa fase. Mulai zaman purba (abad 15-7 SM), Yunani (abad 7 SM-15 M), pertengahan (abad 14-17 M), modern (abad 17-19 M), kontemporer/kekinian (abad 20-21 M), zaman milenial, pascamilenial,  alfa (abad 21), dan zaman Revolusi Industri 4.0 (abad 21-sekarang).

Lalu, bagaimana dengan fenomena 212 yang membahana di negeri ini? Apakah ada makna religious, ilmiah, atau justru mistisisme?

Zaman Mitos

Kita harus tahu, sebelum berkiblat pada logos (ilmu pengetahuan), manusia berkiblat pada ramalan dan mitologi. Semua itu tidak salah, karena mereka dalam proses mencari kebenaran, kebahagiaan, dan peradaban. Tak hanya masalah rezeki, namun jodoh, kematian, bahkan kemajuan suatu bangsa disandarkan pada hal-hal di atas.

Orang Yunani, dulu punya sistem Ramalan Zodiak dengan 12 bintang. Zodiak ini, dari Bahasa Yunani Zoodiacos Cyclos yang berarti “lingkaran hewan” atau sebuah sabuk khayal di langit yang berpusat pada lingkaran ekliptika. Sistemnya, semua urusan asmara, rezeki, kematian, dipusatkan pada penanggalan lahir dengan zodiak Aries sampai Pises.

Orang Tionghoa/Cina, memiliki sistem Shio, yaitu 12 hewan-hewan mulai dari tikus hingga babi. Dalam Shio ini, mereka meyakini semua masa depan bergantung Shio yang dimiliki. Shio itu melambangkan tahun, bulan dan waktu dalam astrologi Tionghoa. Hewan-hewan dalam Shio diambil melambangkan dua belas cabang bumi yang kemudian digabung bersama lima unsur membentuk 1 periode 60 tahun.

Baca juga:  Mbah Moen dan Majalah Arab-Pegon

Orang Mesir Kuno yang memiliki peradaban ramalan sejak 3150 SM. Di sana, masa depan manusia hampir sama dengan sistem zodiak di Yunani dengan sistem 12 nama dewa dari Sphinxs hingga Sekhmet. Lalu apakah hanya Yunani, Tionghoa, dan Mesir? Tidak. Nusantara juga memiliki hal itu dengan bukti adanya Primbon Jawa.

Primbon Jawa dihitung dengan metode weton Jawa yang disandarkan pada nama hari dan pasaran. Misalnya Senin jumlahnya 4, Selasa 3, Rabu 7, Kamis 8, Jumat 6, Sabtu 9, Minggu 5.

Sementara pasaran (hari) dihitung dengan sistem Paing 9, Pon 7, Wage 4, Legi 5, Kliwon 8. Sampai hari ini, masih sedikit riset yang dapat mengilmiahkan enigma weton. Jika disebut syirik, bukankah bangsa Mesir yang dikatakan Islami dan Yunani (Eropa) yang dikatakan modern juga menggunakan primbon?

Mitologi Penanggalan 212

Penanggalan 212 bukan angka biasa, namun penuh enigma dan mitologi. Mengapa? Selain berkiblat pada zodiak, masyarakat sebelum era modern berkiblat juga pada ramalan. Dalam buku Filsafat Umum Zaman Now (2018: 196) dijelaskan ada beberapa ramalan dunia yang masih diyakini hingga saat ini. Mulai dari ramalan Nostradamus / Michel de Nostredame (1503-1566), Samuel Huntington (1927-2008), Jabayaba (1618 M), hingga Mama Lauren (1932-2010).

Selain itu, ada ramalan bangsa Aztec, Inca dan Maya yang sudah ada sejak 13.000 tahun yang lalu di Amerika. Ketiga bangsa ini secara umum hampir sama metodenya dalam menerapkan sistem penanggalan atau ramalan pada angka 202, 212, 2012, dan lainnya tentang ramalan akhir dan kebangkitan kehidupan.

Baca juga:  Virus Corona dan Sifat Baik Manusia

Kita harus ingat, pada 2012 ada isu “Kiamat 2012” pada 12 Desember 2012 . Apakah ini hanya sensasi? Ternyata tidak. Dalam artikel di Kompas (20/12/2012), M. Zaid Wahyudi dan Diah Marsidi menyebut warga Cina, Australia dan lainnya geger karena isu tersebut. Sementara di Indonesia, dari survei IPSOS Global Public Affairs, menyebut 19 persen masyarakat Indonesia percaya kiamat akan terjadi pada 21 Desember 2012.

Ini bukan sekadar soal angka, namun erat kaitannya dengan mitologi. Sebab, penyandaran angka itu pada penanggalan bangsa Aztec, Inca dan Maya yang diyakini sebagai “hari akhir” atau hancurnya kehidupan. Ada dua kemungkinan, pada penanggalan itu jika tidak hancur, maka terjadi revolusi besar-besaran.

Tentu, angka-angka bangsa Aztec, Inca dan Maya menjadi enigma. Sebab, di Indonesia sendiri ada novel Wiro Sableng (Pendekar 212) yang difilmkan era 1990-an dan kemudian reborn tahun 2018 ini dengan film “Wiro Sableng 212”. Yang unik juga ada fenomena Demo 212 atau Aksi Bela Islam 212.

Aksi 212 ini berawal dari aksi pada 2 Desember pada 2 Desember 2016 di Jakarta yang menuntut Gubernur DKI Jakarta nonaktif, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penistaan agama. Tahun 2017, ada Aksi 212, dan 2018 juga sama, ada Aksi 212 dari Alumni 212 sebelumnya.

Jika para aktivis 212 mengaku paling Islami dan berkiblat pada Alquran dan hadis, justru sebaliknya karena mereka menyandarkan penanggalan itu pada mitologi bangsa Aztec, Inca, dan Maya. Lalu, mengapa mereka mengaku paling Islami, dan mengklaim paling benar seperti yang diajarkan Rasulullah? Duh!

Apa yang Harus Kita Lakukan?

Kita harus analisis secara objektif fenomena ini. Pertama, angka 212, 202, 2012 merupakan angka yang diyakini bangsa Aztec, Inca dan Maya sebagai hari akhir atau hari revolusi kehidupan. Dari dasar ini, para kelompok 212 di Indonesia tentu ingin melakukan revolusi. Dari mendemo Ahok, hingga ingin menggulingkan rezim pada 2017 dan 2018 ini. Namun terbukti gagal.

Artinya, mereka tak digerakkan karena agama atau bela Islam, ulama, melainkan lebih menekankan aspek “mitos” yang dikonstruksi dari penanggalan bangsa kuno Amerika di atas.

Kedua, Aksi 212 ini jelas bukan karena agama, namun hanya berkedok agama. Mengapa? Sudah banyak fakta di media massa yang pro/kontra, menemukan Aksi 212 ini justru “ditungganggi” para politisi untuk kepentingan tertentu. Buktinya, ada seruan 2019GantiPresiden dan kampanye salah satu pasangan Capres-Cawapres RI. Sudah eksplisit, Aksi 212 ini bukan hal sakral namun hanya profan belaka.

Baca juga:  Adakah Buya Hamka Meributkan Natal?

Ketiga, jika mereka beralasan mendemo rezim taghut, komunis, dan kafir, di mana kafir dan komunisnya? Presiden dan Wakil Presiden kita saat ini Islam. Titik. Yang disebut taghut dan sistem kafir itu yang mana? Inilah yang kadang tidak ilmiah babar blas karena hanya didorong rasa benci, bukan kasih sayang.

Untuk itu kita harus objektif melihat dinamika Aksi 212 ini. Mereka adalah saudara kita yang dibelokkan pemahamannya tentang Aksi 212 yang harusnya tidak perlu dilakukan.

Sebab, fakta ilmiah membuktikan Aksi 212 ini sarat akan mitologi sejak bangsa Aztec, Inca, Maya dan justru dilestarikan di zaman ilmiah saat ini.

Semua tanggal yang dipilih bukan sembarangan. Ada makna ilmiah, teologis, mistisisme, hingga filosofis dan politis. Jika benar angka 212 itu dari bangsa Aztec, Inca dan Maya, maka apa yang dilakukan aktivis 212 justru mereka mengilmiahkan mitos secara otomatis.

Jika angka itu dipilih karena “kebetulan”, maka tidak mungkin bertepatan dengan penanggalan 212 yang diyakini sebagai hari akhir atau hari kebangkitan segala kehidupan.

Lalu, apa dampak revolusi riil, ilmiah, terukur, religious dari Aksi 212 selama 3 kali ini bagi Indonesia?

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top