Banyak cara masyarakat Nusantara untuk mengungkapkan rasa syukur saat Lebaran. Bagi orang pegunungan dan dekat laut, cara merayakan Lebaran jelas berbeda. Salah satunya Lomban Kupatan, tradisi merayakan Idulfitri di wilayah Pantura seperti Pati, Rembang, Kudus, Jepara, dan lainnya.
Secara umum, umat Islam merayakan Lebaran dengan berbagai ekspresi. Semua itu, biasanya terbungkus dalam tradisi halalbihalal, reuni, temu kangen, open house, badan, syawalan, kupatan, dan lainnya.
Di Solo dan Yogyakarta ada Grebeg Syawal. Tradisi ini unik, karena menjadi kiblat budaya Islam, Jawa, dan Nusantara, khususnya di wilayah Jateng-DIY. Gregeg Syawal diadakan dengan konsep upacara yang digelar saat Hari Raya Idulfitri setiap 1 Syawal.
Di daerah lain, cara mengekspresikan rasa syukur saat Lebaran tentu beragam pula. Namun secara umum, hampir semua menggelar Syawalan/Kupatan dengan berbagai tradisi dan ekspresi.
Untuk warga Pantura (pantai utara) bagian timur khususnya daerah di Pati di Kecamatan Tayu, sudah terbiasa merayakan Lomban Kupatan saat Lebaran. Lomban Kupatan biasa dilakukan tiap tahun dengan prosesi hampir sama. Selain di Tayu, Lomban Kupatan di Jepara berpusat di Pantai Kartini, Kota Juwana dipusatkan di pelabuhan Juwana dan lainnya.
Tradisi ini unik karena menjadi ciri khas masyarakat yang hidup berdekatan dengan laut, pantai, sungai, yang secara setting budaya memiliki metode batin tersendiri untuk bersyukur pada alam.
Tak hanya pada bumi yang dirayakan/disyukuri dengan sedekah bumi (kabumi). Namun warga Pantura juga menggelar sedekah laut (kalaut) sebagai ungkapan syukur kepada Allah lewat hasil laut. Salah satunya, terwujud lewat tradisi Lomban Kupatan yang digelar setiap Idulfitri.
Genealogi Lomban Kupatan
Lomban, diambil dari Bahasa Jawa, yaitu lumban, lumba, lelumban, lelangen yang berarti kesenangan, bersenang-senang bermain air di laut atau sungai. Dalam bahasa wisata, Lomban biasa disebut “pesta air”, “festival air” dan lainnya. Sedangkan Kupatan diambil dari kata kupat, ketupat yaitu makanan khas saat Lebaran yang terbungkus pucuk daun kepala.
Di Jepara, Pati, Rembang, metode merayakan Lomban Kupatan berbeda-beda, namun secara umum substansinya sama-sama bersyukur kepada Allah. Tak ada orang susah, apalagi stres saat merayakan Lomban Kupatan.
Istiqomah (2013: vi) meneliti, munculnya tradisi Lumban Kupatan di Tayu Pati ini berawal dari budaya nelayan yang merayakan pesta atau atau sedekah laut. Budaya lomban ini merupakan puncak perayaan Lebaran Idulfitri yang dilaksanakan tujuh hari setelah Lebaran Idulfitri tepatnya pada 7 Syawal.
Masyarakat melakukan pelarungan sesaji, menjadi wujud syukur kepada Tuhan atas keberhasilan dan kehidupan, khususnya pada hasil laut. Biasanya, sehari sebelum pelarungan sesaji, warga melakaukan doa bersama di Masjid Jami Tayu yang mayoritas warga Nahdlatul Ulama (NU).
Mereka melakukan khataman Alquran, tahlilan, halalbihalal, yang diiringi selawat nabi. Usai itu, mereka bersalaman dan tibalah saatnya melakukan pelarungan sesaji. Saat pelarungan sesaji, biasanya hanya diikuti warga setempat dan nelayan.
Selain di Masjid Jami Tayu, beberapa kali juga dipusatkan di Balaidesa Sambiroto, Tayu. Sebelum melarung sesaji, mereka berdoa, dan ada acara formalnya. Kemudian, sesaji diarak ke TPI sebelum dilarung ke laut lewat sungai Tayu.
Usai pelarungan secara resmi prosesi Lomban Kupatan dimulai. Semua warga bisa menyewa perahu kecil milik nelayan yang sudah disewakan untuk berkeliling menikmati indahnya sungai Tayu. Permaian perahu inilah yang dinanti semua masyarakat tanpa pandang bulu.
Selain dimaknai sebagai tradisi bersyukur lewat pelarungan sesaji di laut/sungai itu, Lomban Kupatan sejak dulu sudah menjadi daya tarik wisata. Bahkan, Pemerintah Kabupaten Pati selalu mendukung dengan ikut nyengkuyung lewat peran aktif promosi wisata tahunan tersebut.
Saat saya kecil, orangtua sering mengajak ke Tayu untuk mengikuti Lomban Kupatan. Lokasinya, dipusatkan di sungai Tayu yang berdekatan dengan Masjid Jami, alun-alun, pasar Tayu, dan terminal yang mudah diakses warga Tayu, Juwana, Cluwak, Pati, Margoyoso, Dukuhseti, bahkan Jepara.
Selain sungai Tayu, di Juwana dipusatkan di Silugonggo. Sungai ini bermuara di Laut Jawa dan mengarah ke barat daya melewati Juwana, Jakenan, Pati Kota, Gabus, Kayen. Juga melewati Undaan Kudus hingga bermuara di Babalan Wedung, Demak. Di Babalan ini, sungai Silugonggo bertemu Sungai Serang (Lusi) yang bermuara di waduk Kedungombo.
Untuk sungai Tayu sendiri, dijadikan objek Lomban Kupatan karena didukung luas sungai yang lumayan besar. Wilayah pesisir Tayu ini meliputi Desa Dororejo, Desa Sambiroto, Desa Keboromo, Desa Jepat, dan beberapa desa di sekitarnya.
Lebaran Panturanan
Lantaran rumah warga Pantura dekat laut, peradaban mereka peradaban air. Konstruksi ini sangat dekat dengan aspek budaya, agama, sosial, ekonomi, juga wisata. Buktinya, Lomban Kupatan menjadi daya tarik dari berbagai aspek, khususnya bagi orang yang rumahnya jauh dari laut.
Siti Muarrofah (2018: 4-5) dalam temuan penelitiannya, menunjukkan pada dasarnya Lomban Kupatan merupakan acara sedekah laut. Hanya saja, pada hari pelaksanaan Lomban Kupatan masyarakat memasak ketupat dan lepet sebagai suguhan. Asal-usul istilah Lomban Kupatan bermula dari hal tersebut yang menjadi penanda dan ciri khas Lebaran bagi warga Pantura.
Tradisi ini harus dikuatkan dan dilestarikan. Ada beberapa macam usaha yang bisa dilakukan. Pertama, Lomban Kupatan sebagai tradisi lokal harus berbeda, tak boleh monoton. Kedua, perlu inovasi dari aspek budayanya, misalnya, ada pertunjukan dan festival budaya yang mengangkat kesenian lokal khas Tayu dan Pati.
Ketiga, inovasi dari aspek wisatanya. Sungai dan area Lomban Kupatan harus bersih. Perahu milik nelayan yang disewakan juga harus disolek menarik, agar para pengunjung turut menikmatinya.
Keempat, perlu konsep “paket wisata budaya” yang bisa dimulai dari proses pelarungan sesaji, upacara pelepasan, kirab, sampai pada pelarungan, dan wisata air lewat perahu-perahu milik nelayan yang disiapkan di bantaran sungai Tayu tersebut.
Kelima, perlu kuliner dan oleh-oleh khas yang wajib menjadi ciri khas Lomban Kupatan. Bisa dijual di sekitar sungai Tayu dengan model jajanan khas seperti kupat, lepet, lontong, terasi, bandeng presto, bahkan ikan-ikan asin khas hasil laut. Asesoris khas Lomban Kupatan juga menarik untuk disajikan.
Belakangan, potensi wisata berbasis pantai/air sangat merebak di sepanjang daerah dekat laut dari Pati utara sampai ke arah Jepara atau Dukuhseti. Munculnya bermacam-macam pantai seperti Pantai Tayu, Pantai Banyutowo, Pantai Cinta di Selempung, Pantai Idola di Banyutowo, menjadi bukti bahwa peradaban laut menarik.
Buktinya, pantai-pantai ini banyak menyedot pundi-pundi rupiah yang bisa mendongkrak ekonomi warga setempat. Sejak awal Ramadan sampai Lebaran, pantai-pantai ini serasa selalu “Lomban Kupatan” karena menyediakan beberapa wahana permainan air.
Pendekatan di atas sangat penting. Sebab, Lomban Kupatan menjadi wujud kemesraan rohani antara Tuhan, alam, dan manusia lewat rasa syukur yang diungkapkan dalam tiap ritual Lomban Kupatan itu.
Lomban Kupatan ini juga menjadi “Lebaran semua orang”. Semua masyarakat baik muslim maupun nonmuslim menikmati rangkaian Lomban Kupatan tanpa pertikaian. Dari sini, kontekstualisasi budaya bisa menjadi wahana toleransi, kemesraan umat seagama, umat beragama, dan antarumat beragama dengan pemerintah.
Melestarikan Lomban Kupatan hukumnya wajib. Melestarikan Lomban Kupatan merupakan melestarikan toleransi dan kemesraan. Jika tidak kita, lalu siapa lagi?