Hamdani
Penulis Kolom

Pegiat Budaya. Kini mengabdi di Lajnah Ta'lif wa An-Nasr, Jatman NU Pamekasan. Founder Yayasan Paddhang Bulan Tacempah, Pamekasan, Madura.

Karamah Kiai Abdul Hamid Mu’in Bettet Pamekasan

Suatu hari, salah seorang santri kedapatan mencuri. Sebelum sempat diserahkan untuk menghadap Kiai Abdul Hamid Mu’in (selanjutnya Kiai Hamid), ia berusaha melarikan diri ke arah timur pondok. Para santri dan ustaz spontan ikut mengejar si pencuri yang melarikan diri ke area persawahan. Kiai Hamid yang mengetahui hal itu lantas berkata; “sudah, sudah, jangan dikejar lagi!

Siapa menduga, tiba-tiba si pencuri merasakan tubuhnya sangat lemas. Ia duduk tersimpuh dan kepayahan dengan ekspresi bingung yang tak terkira. Para santri dan ustaz yang tadinya mengejar dengan sekuat tenaga heran bukan kepalang. Mereka pun dengan mudah menangkap si pencuri untuk kemudian diserahkan kepada Kiai Hamid.

Begitu keluar dari kediaman Kiai Hamid, para santri dan ustaz yang ikut mengejarnya sontak menyerbu dan menghujani si pencuri dengan pertanyaan bertubi-tubi.

“Saya tak bisa lari ke mana-mana lagi. Sawah dan jalan setapak yang tadinya hijau dengan rerumputan seketika berubah menjadi lautan samudera yang amat luas. Saya tak bisa melihat apapun selain lautan. Saya takut dan gusar, bagaimana mungkin saya bisa menyeberangi lautan samudera itu? Makanya saya terduduk di atas batu tadi, pasrah dan tak tahu mesti ke mana lagi.” Cerita si pencuri.

***

Demikianlah sekelumit karomah Kiai Hamid yang terekam oleh para alumni dan santri beliau. Kiai Hamid pada dasarnya adalah sosok sederhana namun memiliki keistimewaan semenjak kecil. Pernah suatu kali di masa kecil beliau, Kiai Mansyur (kakek Kiai Hamid) menyuruhnya memasuki sebuah ruangan. Dalam ruangan tersebut, Kiai Mansyur telah menyediakan berbagai peralatan dapur, pertukangan dan berbagai macam peralatan lainnya.

Baca juga:  Ahmad Tohari dan Wasilah Semut

Kiai Mansyur yang memiliki metode pendidikan unik itu meminta Kiai Hamid kecil untuk mengambil beberapa alat yang ada di dalam ruangan tersebut. Kiai Hamid kecil pun masuk dan selang beberapa saat, ia keluar dengan membawa dua peralatan di tangan beliau; senter dan palu (thokol dalam bahasa Madura).

Kiai Mansyur pun bertanya: “Mengapa Kamu mengambil (memilih) dua alat itu, Hamid? Tanya Kiai Mansyur. “Sebab dengan “senter” ini saya bisa menerangi dan menyusuri jalan yang gelap sekalipun. Dengan senter ini pula saya bisa melihat seseorang dalam gelap tanpa orang itu dapat melihat saya.” Jawab Kiai Hamid kecil tangkas.

Mendengar jawabab Kiai Hamid kecil, Kiai Mansyur hanya tersenyum. Ia kemudian melanjutkan pertanyaan keduanya, “lalu mengapa engkau mengambil palu (thokol) juga, Hamid? Kiai Hamid kecil tak kalah menjawab dengan tangkas; “Sebab dengan alat ini saya dapat melakukan banyak hal yang berguna. Membuat barang-barang yang berguna, memperbaiki sesuatu dan menjadikan yang bengkok menjadi lurus!”

Kearifan dunia pesantren memang sederhana sekaligus menakjubkan. Kiai-kiai terdahulu tak hanya memberikan pelajaran-pelajaran tekstual, namun juga pengajaran kearifan melalui simbol-simbol sederhana dan sehari-hari untuk diambil nilai filosofis dan hikmahnya.

Kiai Hamid adalah jebolan tulen Pondok Pesantren Betttet Pamekasan. Beliau tak mengenyam pendidikan lain baik formal maupun non-formal hingga akhirnya beliau menggantikan mertuanya sebagai pengasuh di pondok pesantren tersebut. Kini, Pondok Pesantren Bettet memiliki jenjang pendidikan formal hingga tingkat universitas. Meski demikian, beliau tetap disegani oleh kalangan akademisi dan para umara’ (pejabat). Banyak sekali tamu-tamu beliau yang betah berlama-lama mengajaknya menbincangkan isu-isu nasioanal.

Baca juga:  “Nabi Muhammad Bercukur”: Sebuah Tembang Kerinduan dari Nusantara

Dalam suatu kunjungannya ke Pondok Pesantren Bettet, Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid) menyempatkan diri bertukar pikiran bersama Kiai Hamid. Konon, Gus Dur dan Kiai Hamid justru tak membicarakan soal-soal pesantren, melainkan isu-isu nasional seputar NU (Nahdlatul Ulama) dan dinamika politik nasional. Gus Dur betah berlama-lama dengan Kiai Hamid yang mampu mengimbanginya melihat dinamika isu-isu nasional.

Kiai Hamid adalah sosok yang sederhana sekaligus penuh kharisma. Jika beliau menghadiri suatu majelis yang ramai dan gaduh, maka seketika majelis tersebut akan  hening dan khidmat karena kehadiran beliau. Pesan-pesan beliau selalu sederhana, namun penuh lapisan makna sesuai kadar para pendengarnya. Beliau selalu berpesan dan menitiktekankan “tauhid dan akhlak” kepada para santri dan orang-orang terdekatnya.

Satu minggu sebelum kepergian Kiai Hamid ke hadirat Allah Swt., beliau berpesan kepada Ustaz Ahmad Sodiq (seorang tukang pijat beliau) perihal pentingnya menjaga aqidah dan akhlak. Bahkan, Kiai Hamid sampai mengulang tujuh kali permintaan beliau; “tolong ucapan saya ini sampaikan kepada para santri Bettet dan alumni ya, tolong!

 Terlalu banyak Karomah Kiai Abdul Hamid Mu’in yang bisa kita catat. Untungnya, melalui beberapa sumber terpercaya termasuk hasil wawancara dengan para alumni sepuh yang telah dikumpulkan oleh Kiai Muhammad Yusuf Aziz, kita dapat memetik hikmah yang besar. Penulis sangat berterima kasih kepada Kiai Yusuf yang dalam kondisi kesehatan yang kini mulai berkurang, masih mengabdikan sebagian waktunya menelusuri hikmah dan pengajaran dari Kiai Hamid. Selain itu, Kiai Yusuf telah memberi izin kepada penulis untuk memetik dan menulis ulang sebagian kecil naskahnya.

Baca juga:  Hari Santri: Mengenang Kiai Masduqi Mahfudz dan Niat Menjadi PNS

Menyitir ucapan Kiai Muhammad Yusuf Aziz ketika menyodorkan naskah mentahnya kepada penulis; “Saya hanya ingin mempersembahkan kisah-kisah ini tak lebih sebagai teladan bagi diri saya sendiri dan orang lain atas jasa-jasa Kiai Hamid yang sangat besar”.  (RM)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
3
Ingin Tahu
0
Senang
3
Terhibur
0
Terinspirasi
3
Terkejut
0
Lihat Komentar (2)

Komentari

Scroll To Top