Sedang Membaca
Spiritual Leadership Pasca Lebaran
Ahmad Hakim Jayli
Penulis Kolom

CEO TV9 Nusantara, Televisi Kaum Santri. Penikmat sastra, Pegiat media Nahdlatul Ulama dan Pesantren.

Spiritual Leadership Pasca Lebaran

Setelah Idul Fitri berlalu, adakah kualitas spiritual yang (walau sedikit) terasa meningkat kini? Semoga ada. Dan baiknya ada, bagi Anda juga keluarga. Karena buah dari Ramadhan (tungku pembakaran nafsu) adalah Syawal (kian meningkatnya taqwa). Itu konsepnya. Di alam nyata, masing-masing diri lah penjurinya. Peringkat kelas syawalmu tergantung kesungguhan di Ramadhanmu.

Khotbah di awal Ramadhan penuh sesak mengantri, berjejal memasuki lubang telinga dan mengalir beringsut di sudut mata. “Mustofa. Inilah bulan baik saat baik untuk merobohkan berhala dirimu. yang secara terang-terangan dan sembunyi-sembunyi, kau puja selama ini. Atau akan kau lewatkan lagi kesempatan ini, seperti Ramadlan-Ramadlan yang lalu.” Demikian Kiai Penyair Mustofa Bisri menghardik diri melalui puisi, dan memantul-mantul menusuk mata batin para penggemarnya. 

Tak mudah menunggang Ramadhan menuju Tuhan. Walau diserimpung lapar dan haus, tetap saja nafsu sukar dikalahkan. Bukan karena kita tak mampu, tapi lebih karena kita tak mau, tak sabar menghadapinya. Maka fasilitas ‘kembali suci lantaran dosa yang tercuci, kembali putih laksana lembar hati bayi yang lahir dari perut kasih ibu’ hanya menjadi angan-angan, terbang melayang lepas dari genggaman tangan.

Harapan, tinggal di kasih sayang Tuhan. Dia Yang Maha Mendengar niat baik dan detak suci hamba-Nya. Walau tak sesempurna para kekasih, harapan masih ada. Barangkali ada satu-dua amalan di Ramadhan yang melukis senyum Tuhan, hingga menjelma pintu respsi kemuliaan. Maka Idul Fitri kerap kali menjadi Klaim Kemenangan dan Pesta (Semu) Kelulusan setelah sebulan penuh menghadapi ujian. Tapi tak mengapa, barangkali klaim itu adalah kemenangan itu sendiri.

Baca juga:  Populisme Politik, Pelajaran dari Inggris

Seorang shaleh akan terus melangkah dengan keyakinan bahwa puasa ramadhan sebulannya akan diterima Tuhannya. Walau ada secuil kekhawatiran, dia tetap akan move on. Hal besar tersisa yang harus dituntaskan adalah masalah dia dengan sesama manusia. Maka ulama Nusantara mempopulerkan dua kalimat berbeda menjadi satu pasang jargon paling populer diucapkan ketika musim Lebaran tiba. Minal Aidin Wal Faizin. Mohon Maaf Lahir dan Batin.

Minal Aidin Wal Faizin adalah klaim sekaligus doa: semoga kita dijadikan Allah sebagai bagian hamba yang kembali suci (karena diampuni semua dosa) dan juga beruntung, karena naik peringkat di klasemen ketaqwaan. Jargon ini bernuansa vertikal, relasi hamba dengan Tuhannya. Sementara Mohon Maaf Lahir dan Batin adalah jargon bernuansa horizontal sesama hamba. Frasa lain yang juga populer: Halal Bi Halal. Hal-hal yang masih haram, belum halal antar sesama manusia, hari itu dihalalkan, direlakan, dimaafkan di lahir fisiknya, juga di kedalaman batin.

Dan inilah visi sesungguhnya kehidupan pasca lebaran. Tak mudah mewujudkannya, dibutuhkan kepemimpinan yang kuat dalam keluarga. Juga keluarga super besar kita, bernama bangsa. Tak seharusnya, grafik spiritualitas keluarga menurun pasca Idul Fitri, atau lebih-lebih Start from Zero, berawal dari nol lagi. Berat. Jangan. Sudah terlalu besar biaya rohani dan finansial yang kita belanjakan selama Ramadhan hingga Lebaran, bahkan sepanjang tahun.

Baca juga:  Mengapa Ulama Sering Berselisih Pendapat dalam Menetapkan Hukum?

Naiknya peringkat spiritualitas ditandai dengan kian nikmatnya ibadah dan kian enteng-nya menjauhi pantangan Tuhan. Secara sosial, kita menjadi lebih ringan melangkah untuk berinteraksi sosial, untuk bersilaturahmi. Dengannya, kita bisa mendengar desah kehidupan saudara dan kolega. Kita pun bisa bicara, sekadar menguatkan, bahwa sebesar apapun kesulitan, di ujung lorong sana telah menunggu kemudahan dan kebahagiaan. Bicara dengan hati, bukan hanya dengan lathi (mulut) apalagi sekadar jari tangan di media sosial.

Setiap keluarga ada pemimpinnya, dia punya otoritas untuk ditaati karena tanggung jawabnya yang meraksasa. Setiap keluarga punya panglima. Dimana pagi adalah gerbangnya menundukkan hari. Melepas jubah malam yang basah tercuci air mata. Panglima yang sigap menghunus perisai perlindungan bagi anak-istrinya. Panglima yang tanpa ragu memimpin dan menunjuk kemana karavan keluarga bergerak mengikuti arah angin spiritual, dimana rimbun kebahagiaan bersemayam.

Surabaya, Juni 2019

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top