Bersama sekretaris RMI NU Jawa Timur, Mas Yusi Ahmad Firdausi pagi ini saya masih klangenan mengenang almarhum Gus Zaki Hadziq. Sama seperti sahabat, santri dan keluarga almarhum, saya dan Mas Yusi masih belum bisa move on sepenuhnya. Gus Zaki akhirnya memulai perjalanan panjangnya setelah sejenak nyruput kopi dunia Yang dia jalani dengan sempurna.
Ya. Gus Zaki wafat di tengah ikhtiar seriusnya mengorkestrasi kalangan pesantren dan pemerintah daerah Yang sedang bersiap menyambut santri kembali ke pondok setelah sekian bulan terpaksa dipulangkan akibat pandemi. Gus Zaki menjadi penyambung lidah para pengasuh dan pengurus pesantren di hadapan pemerintah provinsi yang getol menyiapkan gerakan pesantren tangguh.
Sabtu, 23 Juni 2020, langit Indonesia dan para pemirsa TV9 Nusantara disuguhi lontaran ide dan gagasan cerdas Gus Zaki tentang pessantren tangguh. Melalui live TV talk-show itu dia mengkonstruksi pemikiran bagaimana pesantren harus menyiapkan diri menyambut santri dengan gagasan pesantren Yang sehat, bersih, dan penuh nutrisi. Bagaimana wali santri disarankan bekali anaknya vitamin dan perlunya santri menanam sendiri kebutuhan vitaminnya melalui tanama obat pesantren. Dinas pertanian cukup menyiapkan polybag dan bibitnya saja. Brilliant. Kami semua, termasuk Gubernur Khofifah Indar Parawansa dan Gus Reza Ahmad Zahid Yang menjadi narasumber pagi itu terhanyut dengan tawaran ide-ide itu.
“Beliau putra dari Bunyai Khodijah binti Hasyim Asy’ary,” Saya mencoba kasih info kunci setelah, melihat gestur terkesima gubernur selama sejam talkshow itu. Tentu saja gubernur tahu betul dengan siapa ‘Bu Khod’ Yang selain tokoh muslimat NU Jatim juga guru sang gubernur saat belajar di Yayasan Khadijah’ Wonokromo Surabaya.
Talk show pagi itu adalah awal dari sebuah sinergi negara dan pesantren menyambut santri baru. Hingga detik ini, di luar Yang dilakukan pemerintah Kabupaten/Kota tak kurang 400 pesantren telah disentuh oleh kehadiran dan afirmasi negara dalam hal ini Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Dan dalam hal ini Gus Zaki adalah ‘koentji’.
Gus Zaki tak ingin pesantren kesulitan melayani permintaan wali santri agar pesantren segera dibuka setelah 2-3 bulan dikosongkan. Tapi Gus Zaki juga tak ingin pesantren menjadi klaster baru bagi penyebaran Covid-19. Maka disusunlah semuanya hingga detail protokol yg harus disiapkan. Hampir seluruh waktunya dia gunakan untuk ini, di samping merintis pendirian SMPT Al Khodijah, demi pengembangan pesantren tinggalan almarhumah ibundanya, PP Putri Al-Masruriyah Tebuireng.
Dalam benak Gus ini pesantren itu ya Nahdlatul Ulama. Persis seperti apa kakak sepupunya, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur: Pesantren adalah NU kecil, dan NU adalah pesantren besar.
Sebagai Ketua RMI NU Jatim, dia getol memastikan bahwa NU lahir dari ilmu dan perjuangan para ulama pesantren, karenanya pesantren tak boleh terpisah dari perjuangan NU dan NU tak boleh jauh dari pesantren.
Untuk merajutnya kembali, Gus Zaki mencoba memastikan bahwa pesantren dan NU tak terputus dari sanad keilmuan dari pendahulunya. Dia meneruskan ikhtiar kakandanya, almarhum Gus Ishom Hadzik mengumpulkan, mengkompilasi, menerbitkan hingga menyebarluaskan kitab-kitab Hadratus Syekh Yang dikemas dalam paket kitab Irsyadus Sari, ke kalangan santri dan warga NU. Cukup?
Belum! Gus Zaki menggalang pesantren para muassis NU agar mau bertemu Dan membarukan niat Dan komitmen untuk mencintai Dan berjuang untuk Jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Maka digelarlah Daurah Santri Muassis NU pada 31 januari sd 2 pebruari 200 momen harlah NU di PP Siwalan Panji Buduran Sidoarjo, pesantren tempat kakeknya, Hadratus Syekh Hasyim Asy’ary nyantri ke Kiai Khozin.
Dihadirkannyan para dzurriyah muassis NU plus santri-santrinya, hingga Kiai Azaim Ibrohimy, pengasuh PP Salafiyah Syafiyah Sukorejo Situbondo, cucu KH R As’ad Syamsul Arifin, mediator, pembawa tasbih, ijazah dan tongkat dari Syaikhona Kholil Bangkalan kepada Hadratus Syekh di Tebuireng.
Dalam sebelas menit pidatonya, Gus Zaki meriwayatkan kisah seorang bernama Kiai Lutfi Umar Jember, adik Kiai Khotib Umar. Kiai Lutfi Umar, sosok pecinta NU, santri Hadratussyekh yang dalam sakitnya menyempatkan diri berkunjung ke pondok Tebuireng hanya untuk menyerahkan tongkat dan dua sorban Hadratussyekh kepada sang cucu. Kala itu tahun 2016.
Perjumpaannya dengan Kiai Lutfi ini sudah untuk ke sekian kalinya sejak pertama kali bertemu dan bertamu di Tebuireng setahun setelah Gus Dur wafat. Sejak 2011 itu selama hampir lima tahun Kiai Lutfi menelusuri dan mengunjungi pesantren dimana hadratussyekh pernah mondok. Hampir semua diziarahinya, tersisa satu pesantren, pondok Wonokoyo yang hingga wafatnya belum ditemukannya.
Di hadapan Gus Zaki, tiba-tiba Kiai Lutfi mengenakan sorban milik Hadratus Syekh itu. “Begini kalau Hadratussyekh memakai sorban,” Kiai Lutfi memperagakan. Tongkat dan sorban putih diberikan kepada Gus Zaki,dan sorban abu-abu diminta kembali Kiai Lutfi untuk diberikan kepada Kiai Azaim, cucu Kiai As’ad.
Bagi Gus Zaki, kehadiran Kiai Lutfi Umar, sorban dan tongkat itu bak sebuah surat cinta dari kakeknya. Sorban warna putih dan tongkat sang kakek itu menjelma energi yang menggerakkannya ke mana-mana membopong pesantren untuk terus tangguh menjadi bahan baku plus kekuatan utama Nahdlatul Ulama. Gus Zaki masih merencanakan Daurah Santri Muassis NU berikutnya di Pesantren Sukorejo. “InsyaAllah, itu bila diridloi para almarhumin muassis NU” kata Gus Zaki malam itu di podium. “Terima kasih… “.
Kata itu pun tidak sempurna diucapkan, suaranya tercekat, terdesak sesak, linang mata dan tangis haru yang gagal ditahannya. Tangis perjuangan seorang “Hadratul Gus” yang terus gigih berikhtiar meneruskan perjuangan kakeknya, Hadratussyekh hingga hembusan napas terakhirnya, di Rabu petang kemarin. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.
Surabaya, 2 Juli 2020