Di penghujung Ramadan, seorang abdi dalem menghadap Kiai Yahya untuk pamit pulang, liburan Lebaran. Sebagai santri yang sehari-hari berkhidmah di kediaman Kiai, dia harus paling akhir going home. Kang-kang (baca: santri-santri) lain sudah liburan sejak penutupan Ngaji Ramadan semingguan lalu.
“Iya. Salam untuk keluarga,” jawab Kiai Yahya lembut.
“Tanggal 4 syawal, kembalilah ke sini,” Kiai Yahya melanjutkan pesan. Pandangan teduhnya jauh menembus cakrawala.
Pagi, 4 Syawal 1391 H. Kiai Yahya baru saja menuntaskan wadzifah salat Dluha. Aktivitas rutin pagi menyambungkan salat Subuh hingga waktu Duha. Tampak dua orang tamu sudah berdiri menunduk di depan ndalem. Ini memang cara terbaik kami semua para santri sowan kiai.
“Ayo masuk,” jawab Kiai seusai kedua tamu yang ternyata alumni hendak sowan lebaran.
Di ruang tamu, Kiai Yahya menanyakan kabar salah satu santri kinasihnya yang kini sudah mengasuh pesantrem dan jamaah thoriqah daerah Jabung, Malang.
“Iya. Badri itu kalau ke sini gak bisa di awal Lebaran, harus berombongam dengan para jamaahnya,” ujar Kiai Yahya.
Sepertinya ada kerinduan di mata hati Kiai Yahya. Lebaran tahun itu memang beliau sedang terselimuti mendung duka. Gus Dimyathi, putra pertama yang disiapkan memimpin pesantren dan menggantikan beliau menjadi mursyid thariqah Qodiriyah wa Naqsabandiyah tak lama wafat kembali ke Rahmatullah. Masih 40 hari lalu.
Pada kedua tamu, Kiai Yahya pamit untuk masuk ke kamar, sambil menyilakan mencicipi sekadar suguhan lebaran yang tersedia. Agak lama, keduanya menunggu. Hingga disampaikan kabar bahwa Kiai Yahya telah wafat menghadap Kekasih yang terus dirindukannya, menyusul sang putra Gus Dimyati Ayatullah Yahya.
Kiai Yahya menghembuskan nafas dengan penuh kedamaian ditunggui Ibu Nyai Khodijah dan salah satunya, Gus Abdurrohman Yahya yang menjadi pengasuh penerus dan mursyid thariqah.
Kabar duka. yang tak hanya mengagetkan kedua tamu, meluas hingga ke telinga santri abdi dalem yang sedang bersiap kembali ke pesantren tepat di 4 Syawal. Janji itu terpenuhi. Di hati sang abdi dalem Ada sejumput oase di tengah sesak duka atas wafatnya guru dan murabbir-ruh (pendidik hati).
Malang pun hujan duka. Warga berduyun memenuhi Pondok Gading. Para santri dan alumni bergegas kembali ke pesantremnya. Dari raut duka dan genangan air di sudut mata tampak sekali sebenarnya mereka berat melepas sosok kiai, guru ilmu, guru laku, pembina batin, tempat konsultasi hampir semua masalah plus teladan hidup sederhana, ikhlas, sabar dan istiqamah.
Kiai Yahya lahir di Jetis, kawasan barat Kota Malang dari ayah bernama Qoribun. Garis keturunannya dari Juwana, Pati tempat muasal para ulama penebar ilmu dan dakwah.
Kiai Yahya memulai perburuan ilmunya ke Mbah Kiai Thohir, Bungkuk Singosari yang selain alim juga masyhur sebagai waliyyun min auliya-illah. Mbah Thohir adalah menantu Mbah Kiai Hamimuddin salah satu diaspora pasukan Diponegoro yang berdakwah di Singosari. Bungkuk sebutan masyarakat sekitar yang masih Hindu kala itu karena Mbah Hamim yang sering dilhat membungkukkan badan untuk rukuk dan sujud.
Mbah Kiai Dahlan Jampes adalah guru berikutnya. Kepada beliau Kiai Yahya muda berguru ilmu dan diminta untuk sementara melepas dulu amalan thariqah yang diterima dari Mbah Kiai Thohir dan diminta fokus menggali ilmu.
“Akan datang kepada sampai guru tarekat, pada saarnya nanti,” begitu Dhawuh Kiai Dahlan Jampes yang puluhan tahun berikutnya terbukti.
Saat ada majelis bai’at tarekat di Jalan Jombang, kampung sebelah pondok Gading, Kiai Yahya yang hadir sebagai undangan biasa, tiba-tiba dianugerahi ijazah zikir sekaligus mursyid tarekat Qadadiriyah wa Naqsabandiyah oleh al-Mursyid Kiai Zainal Makarim, Jawa Tengah.
Sejak itu, Kiai Yahya dan Pondok Gading adalah salah satu simpul gerakan thariqah di tanah Jawa.
Kiai Yahya sempat boyong dari Pondok Jampes seiring wafatnya Mbah Kiai Dahlan. Saat Mbah Kiai Ihsan Jampes mulai tersohor dengan ilmunya, Kiai Yahya kembali menekuni ilmu kepada Mbah Kiai Ihsan hingga mumtaz, bahkan diamanati menjadi Lurah Pondok, kepercayaan Kiai dalam mengatur santri dan pesantren.
Bahkan Saat Mbah Kiai Ihsan menyusun Kitab Tasawuf Syirojut Tholibin, syarah Kitab Minhajul ‘Abidin karya Imam al-Ghozali, Kiai Yahya dipercaya Kiai Ihsan menjadi penulis (Khattath) manuskrip. Kitab Syirajut Thalibin sendiri menjadi rujukan ilmu tasawuf di seluruh dunia, termasuk Al Azhar, Kairo.
Mbah Kiai Ihsan sangat memengaruhi dan membentuk jiwa, ilmu, pribadi juga leadership Kiai Yahya, utamanya saat berkhidmah menjadi Lurah Pondok.
Ilmu, Prinsip dan Leadership itu pula yang menjadi nahkoda, saat Kiai Yahya diamanati sang mertua, Kiai Majid untuk mengembangkan pesantren di tanah perdikan Gading Kasri, sisi barat kota Malang. Cikal bakal pesantren ini didirikan Mbah Kiai Munadi, dilanjutkan Mbah Kiai Ismail. Mbah Kiai Majid. Kiai Yahya adalah pengasuh generasi keempat pesantren ini,, dan diberi nama: Lembaga Pembina Jiea Taqwallah PP Miftahul Huda.
Sebagai ulama, Kiai Yahya dikenal fakih sekaligus wira’i. Segala hal didasarkan pada aturan jalan (syariah) agama, dan konsisten dengan jalur itu. Luas dan dalam ilmu fikihnya, disempurnakan implementasinya dengan prinsip kejernihan hati ala ilmu tasawuf dan tonggak ingat Allah yang dilatihkan dalan dzikir thariqah. “Fiqih kudu ditasawwufi” Ilmu fiqih butuh diikuti ilmu tashawuf. Demikian pesan Kiai Yahya pada dzurriyah dan santri-santrinya.
Kiai Yahya konsisten memulai dan mengakhiri puasa Ramadan dengan hasil hitungan hisab (ihtisab awal bulan Qamariyah), walau harus berbeda dengan khalayak. Sebagaimana Kiai Yahya akan istikamah membaca Kitab Kuning saat diminta pengajian umum. Kiai Yahya juga memilih membiayai pesantren dari hasal sawahbdan kebun dari pada harus mengajukan pernohonan dana. Pesantren pun nyaris tanpa papan nama.
Dalam hal ilmu yang sudah diraih, Kiai Yahya menekankan pada pengamalannya. “Santri Gading kudu Mulang”. Santri-santri disarankan mengajarkan ilmu yang diterimanya sebisa mungkin. Kiai Yahya tak kan pernah mengijinkan santri pamit boyong dari pesantren kecuali dua alasan: mondok lagi atau berkeluarga. Tidak, untuk boyong hanya untuk mencari pekerjaan!
Itu pula, yang didoktrin pada para santri pemula di Pondok Gading yang umumnya punya aktivitas kuliah/sekolah di luar pesantren. Prinsip Kiai Yahya, “Jangan salah niat. Niat utama, mondok baru niat kuliah. InsyaAllah hasil dua-duanya.”
Bagi Kiai Yahya, ilmu itu seperti genangan air yang harus terus dialirkan. Allah menjamin akan menambahnya, tak akan pernah kehabisan. Bila Air ilmu dibiarkan menggenang, akan menjelma menjadi sarang nyamuk penyakit.
Menghadapi kerasnya risiko perjuangan, Kiai Yahya memegang prinsip Mbah Kiai Ihsan Jampes. “Tidak apa-apa santri menguasai kekebalan, jadug, penyembuhan dan sejenisnya. Tapi letakkan di tangan kiri. Tangan kanan hanya untuk ilmu!” Ini soal prioritas dan paradigma bahwa Ilmu harus menjadi petunjuk utama menuju ridha Allah. Segala hal selain itu hanyalah senjata cadangan yang digunakan saat dibutuhkan.
Maka Kiai Yahya dikenal sosok yang tak gentar menghadapi situasi sulit dan ancaman apapun, termasuk kala Indonesia berada dalam revolusi fisik. Adalah Brigjen KH. Sullam Syamsun yang bersaksi. Saat meletus perang gerilya, Kiai Yahya tergabung dalam Kompi Garuda Merah yang dia pimpin. Kala itu pangkatnya masih Mayor, bermarkas di lereng bukit, tepatnya Desa Kucur, kecamatan Wagir, belasan kilo meter dari Pondok Gading, Kiai Yahya memerankan empat fungsi sekaligus: informasi proklamasi, teritorial, logistik, juga penghubung Bahkan Kiai Yahya pernah ikut pertempuran malam di garis depan saat menyerbu tangsi sekutu di Dinoyo.
Siang harinya, Kiai Yahya mengasuh pesantren seperti biasa, seperti tak ada apa-apa. Belanda pun melabeli Pondok Gading, kala itu sebagai “Netral Zone”. Para gerilyawan sering menjadikan pesantren ini sebagai tempat perlindungan, bahkan markas pasukan yang dipimpin Almarhum Jenderal Soemitro.
Aktivitas para pejuang ini tercium intelejen Belanda. Dan mereka pun mulai mengusik dan menteror status netral zone dengan serangan bim udara. Banyak kesaksian, misil bom yang dijatuhkan untuk wilayah sekitar pesantren tak mampu meledak. Satu Misil bom yang dijatuhkan di kampung Kasri, sebelah utara pesantren hingga kini masih diabadikan dan terawat rapau. Sempat dijadikan ‘kentongan’ salah satu mushala setempat, kini misil bekas bom tersebut disimpan di Ndalem Pengasuh Pondok Gading saat ini, KH Ahmad Arif Yahya.
Bagi para santri, fenomena ‘sakti’ ini tak mengherankan, karena Kiai Yahya –yang lahir 1903 atau awal abad 20– selalu mengajak santri dan jamaah khusyuk berdoa, utamanya membaca wirid istighfar nabi Yunus sebanyak 41 kali selama 40 hari saat menghdapi ancaman. Selain saat perang gerilya, wirid ini juga dibaca saat Gestapu PKI tahun 1965.
Atas peran Kiai Yahya dan Pondok Gading dalam perang Gerilya, Kiai Wahid Hasyim pernah berkunjung dan menginap di pesantren ini. Brigjen Sullam Syamsun memberi Emblem Penghargaan Garuda Merah yang hingga wafatnya tak pernah diceritakan bahkan pada keluarga
Untuk menandai situs perang gerilya di Pondok Gading dan perjuangan Kiai Yahya, almarhum Brigjen Sullam Syamsun yang hadir di haul Kiai Yahya pada 1996 pernah mengusulkan agar nama jalan lokasi Pondok Gading, dari Jalan Gading Pesantren menjadi Jalan Kiai Yahya. Semoga bisa diwujudkan.
Dari kisah para alim saleh, kita belajar dan menegaskan teladan bagaimana seharusnya kita hidup dan berkehidupan. Dan hari ini, 50 tahun Kiai, Yahya, adalah momen yang tepat. Al-fatihah…
Pasuruan, 27 Mei 2020.