Sedang Membaca
Andry Dewanto: Jalan Spiritual Seorang Aktivis
Ahmad Hakim Jayli
Penulis Kolom

CEO TV9 Nusantara, Televisi Kaum Santri. Penikmat sastra, Pegiat media Nahdlatul Ulama dan Pesantren.

Andry Dewanto: Jalan Spiritual Seorang Aktivis

1 Andry

Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Kullu nafsi nafsin dzaiqatul maut. Setiap yang bernyawa, akan menemui kematian. Setelah dirawat lebih seminggu, Andry Dewanto Ahmad wafat di hari Kamis pagi, 29 Juli 2021 atau 22 dzulhijjah 1442 H.

Bagi para aktivis, khususnya di Jawa Timur, Andry Dewanto adalah guru dan mentor. Mulai Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Gerakan Pemuda Ansor, hingga pengawalan demokrasi via Komisi Pemilihan Umum (KPU) dimana ia pernah menjadi top leader tingkat provinsi. Tiga tahun terakhir ia didapuk sebahai Koordinator Pendamping Desa Jawa Timur, memimpin sahabat dan para yuniornya berjuang memastikan keberdayaan dan kemakmuran desa.

Di mata dan hati para aktivis, Andry Dewanto adalah sosok pembentuk karakter pejuang dan ruh pergerakan. Ia begitu menghayati Nilai Dasar Pergerakan (NDP) yang menjadi doktrin utama aktivis PMII. Melalui berbagai pelatihan Kader di PMII, Gerakan Pemuda Ansor hingga Barisan Ansor Serbaguna alias Banser, Andry Dewanto tak lelah mengideologisasi nilai, plus implementasinya di alam nyata.

Kepiawaiannya menginternalisasi gagasan besar para ulama dalam bahasa gerakan menjadikan para yunior mendaulatnya guru gerakan yang menunjukkan dimana kemuliaan berada. Baginya hidup cuma ada 2 pilihan: hidup mulia, atau mati syahid di jalan kebaikan Allah dan Rasulullah Muhammad SAW. Hidup mulia, atau mati syahid bersamanya. Isy kariman, Au Mut Syahidan!

Baca juga:  Apa Pelajaran yang Bisa Kita Ambil dari Pertemanan Cak Nur dan Gus Dur?

Di hadapan para yuniornya dia tegas menandaskan: “PMII adalah benda mati. Kemuliaannya tergantung kita yang menggerakkannya. Begitu kita melacurkan diri, maka saat itu pula, PMII menjadi sampah!”

Saya bisa merasakan jiwa dan background dari statement tegas itu. Kami memang berproses bareng di PMII. Ketika ia didapuk Ketua Komisariat di Universitas Brawijaya, saya (yang sama-sama angkatan 1990) diminta menjadi sekretaris. Saat didaulat menjadi Ketua PC PMII Malang, saya diminta pegang BPPC semacam Badan Litbang. Dia memang matang sejak masih belia. Dia bijak mendahului usianya. Tekanan problematika kehidupan, membuatnya lebih tangguh. Saya banyak belajar darinya.

KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur adalah sosok yang menuntun kematangannya ke jalannya hari ini. Sebagaimana jamaknya aktivis era 90-an yang vis a vis rezim Orde Baru, maka Gus Dur adalah model terbaik untuk bersikap, berpikir mengambil posisi, standart moralitas hingga keberanian berjuang mengambil risiko. Apa saja yang mengancam orientasi kerakyatan dan kemaslahatan harus dilawan. Siapapun!

Andry Dewanto mencoba mendalami dan menjiwai Sang Guru, Gus Dur hingga aspek spiritualitas, sebuah level tertinggi sekaligus paling mendasar dalam perjalanan kehidupan manusia. Spiritualitas atau ketauhidan sebagai titik berangkat dari seluruh kehidupan. Tugasnya berkeliling desa, digunakannya merajut tali spiritual dan nasehat para ulama, baik yang masih hidup atau yang sudah di alam arwah via ziarah. Dia dekat dengan kalangan masyayikh dan Habaib.

Baca juga:  Perubahan Demografi NU, Gus Iqdam, dan Posisi “Ahli Maksiat”

Hingga menghembuskan nafas terakhirnya, Andry Dewanto masih berada di medan perjuangan. Membela panji-panji Ulama sebagai Wakil Ketua PWNU Jawa Timur dan Wakil Ketua LPBH PBNU. Totalitas dan loyalitas dalam berkhidmah perjuangan ulama membuatnya merasakan kemuliaan dan keluhuran Nabi Muhammad SAW begitu nyata. Andry kian religius dan terlihat selesai dalam berurusan dengan Tuhannya.

Belum lama, kami terlibat chating WhatsApp, Ngobrol puisi ‘Menelanjangi Sombong’ karya Penyair Pesantren, Gus Haidar Hafeez yang sedang memantik tawa bahagia, mengelus batin anak-anak punk yang terpinggir secara sosial. Andry terkesima dengan peran nyata rehabilitatif para Gus, apalagi dengan puisi. Baginya, puisi ini mengajak bahagia siapapun, dan apapun kondisinya. Sebab hidup ini toh memang dalam buaian Tuhan.

Dia pun menuliskan sebuah ungkapan hati dari lubuk terdalam. Apa yang ditulisnya adalah apa yang sedang dirasakannya saat itu.

“Aku dibuai Tuhan. Aku berguru pada alam. Aku buta huruf untuk membedakan sedih atau bahagia. Syukur pertamaku memiliki Tuhan yang memang benar-benar Tuhan. Lalu buat apa aku sedih padahal aku memiliki Tuhan yang benar benar Tuhan. Bagiku itu cukup dan berlebih.”

Selamat jalan Sahabat. Engkau telah menempuh dua pilihanmu. Hidup mulia di dunia dengan segudang pengabdianmu. Dan kini engkau mati sebagai Hamba Tuhan dan Umat Rasul yang mulia. Banyak rencana tentangmu, tapi sepertinya rencana Tuhan masih yang terindah. Dan engkau terlihat bahagia dalam buaian Tuhan. Amin.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top