Seperti gelas yang penuh, ketika seseorang menambahkan air ke dalamnya, maka yang terjadi adalah luber. Melimpah. Seperti itu pulalah kondisi ekstatik seseorang yang dipenuhi manifestasi ketuhanan di dalam dirinya ketika melahirkan karya seni.
Karya seni sendiri mengandaikan adanya bentuk dan isi.Gelas dan airnya. Tanpa wadah atau bentuk (puisi, kaligrafi, lukisan, musik, dst) mustahil isi dapat diungkapkan, atau dituangkan. Begitu pula sebaliknya, dan keduanya saling menguatkan. Karya seni (termasuk kerajinan) yang indah, bagi sebagian orang, menjadi tak berarti tanpa muatan maknawi di dalamnya. Katakanlah semacam ideologi, pandangan yang mewakili dunia batin maupun pemikiran tertentu.
Begitu pula nilai artistik yang tampak, terdengar atau terasakan melalui karya seni, sangat bergantung pada “dunia” pemikiran yang mewakili suatu tempatan atau kondisi budaya di mana karya tersebut berada. Adakalanya bentuk formalitas puisi tertentu tak begitu indah dalam pandangan budaya tertentu, namun dianggap mewakili puncak keindahan bagi komunitas budaya lain yang menghidupinya.
Nilai-nilai personalitas yang mencuat dari literatur sufi wujudi bisa saja dirasa “kurang-ajar” atau tidak etis bagi komunitas sufi lain yang mengedepankan akhlak terhadap keberadaan Sang Khalik. Dan nilai-nilai etik tasawuf ‘amali/ akhlaqi, bisa saja dianggap tidak mampu membebaskan sisi keilahian yang ada pada pencapaian tasawuf wujudi.
Keindahan dalam hal ini bisa berbeda-beda ditanggapi. Estetika, sebagai ilmu yang terkait dengan “pemikiran” (baca juga: perasaan) indrawi, memungkinkan apresiasi yang berjenjang atau bertingkat-tingkat dan saling tidak berketemuan. Namun melalui prinsipnya yang universal, siapa saja bisa merasakan keindahan komposisi garis, bentuk, warna, bunyi, metrum, dan gerak, yang sebenarnya abstrak namun memiliki kesatuan dan harmoni. Keteraturan bahkan dapat dirasakan pada pola-pola yang tidak beraturan, demikian kini dipahami oleh para peneliti keindahan seni.
Keindahan bagi para sufi adalah manifestasi dari aspek Jamal (keindahan), Jalal (keagungan), dan Kamal (kesempurnaan) Allah Swt. Sifat-sifat ilahiah ini mereka teruskan ke alam indrawi untuk merengkuh pemahaman yang mendalam, sekaligus mengajak orang-orang terlibat dalam pengalaman estetik serupa—jika bersesuaian, akan sakralitas “kehadiran” al-Haq di muka bumi, dalam manifestasi wujud yang bergantung (muqayyad) pada kemutlakan-Nya.
Dengan demikian, oleh Nasr, dikatakan bahwa sebaris kaligrafi tradisional atau dekorasi arabeska dapat berbicara lebih cakap tentang intelegensi dan kemuliaan, yang menjadi karakter pesan Islam, dibandingkan karya apologis para modernis.
Manifestasi ajaran dan praktek tasawuf, dalam sejarahnya yang panjang, menghasilkan bentuk-bentuk kesenian yang khas dan beragam, dari puisi hingga arsitektur.
Para sufihidup di dunia ini seakan-akan tinggal di pelataran depan taman firdaus, dan karenanya menghirup udara dalam suasana kerohanian, tempat keindahan memancar dari semua perkataan dan perbuatan mereka. Karya-karya mereka, atau pengaruh ajaran mereka, menusuk ke jantung kebudayaan manusia serta menautkannya dengan realitas universal keilahian, al-barakah yang memancar dari Keberadaan Yang Maha Benar.