Jika kita percaya bahwa musik adalah segala jenis suara atau bunyi-bunyian yang mengandung harmoni irama yang dapat ditangkap melalui indra pendengaran, maka musik bagi para sufi adalah manifestasi keindahan ilahi yang mereka dengar melalui alam. Karenanya bagi mereka, seni musik adalah ekspresi sekaligus apresisasi atas keindahan tersebut yang mereka teruskan melalui alat-alat petik, perkusi, tiup, dst, yang disusun dalam komposisi yang harmonis, liris dan dinamis.
Ihwal alat musik sendiri menjadi perdebatan di antara para ahli hukum Islam sejak awal sekali. Ini niscaya, karena memang ada sejumlah pernyataan Nabi (hadis) yang melarang alat-alat musik terutama yang berdawai. Juga karena efek yang ditimbulkan dapat menjadi lahwal hadits yang menyesatkan, sebagaimana disebut dalam al-Qur’an surah Luqman ayat 6.
Namun tentu saja tafsir dan istinbath hukum terhadapnya tidak tunggal. Sejumlah ulama mencek-ulang hadis-hadis yang mengharamkan musik dan alat musik, seperti salah satunya Toha Yahya Umar (Rektor IAIN Syarif Hidayatullah 1970-1973), yang mengemukan sejumlah hadis lain ‘yang membolehkan’. Ia berkesimpulan persis seperti ulama-ulama terdahulu yang moderat dalam hal ini, niat memainkannya-lah, beserta kondisi-kondisi tertentu lainnya, yang menjadi ‘illah bagi hukum haram atau mubahnya.
Dalam kenyataannya, para sufi dari generasi awal hingga masa subur tarekat, terutama tarekat Chistiyah, memainkan (alat) musik untuk mengantar jiwa-jiwa yang tersucikan ke pengalaman transenden ketuhanan.
Qawwali adalah bentuk orkestra musikal yang lazim dimainkan para sufi di dataran India. Secara sadar bentuk musikal demikian dipengaruhi tradisi musik yang sudah berakar lama di wilayah Hindustan ini. Tarekat Chistiyah yang pada beberapa sisinya sangat sinkretik mengadopsi seni musik ini untuk menyertai perhelatan Sema, pembacaan (nyanyian) syair yang disertai tarian spiritual sufi.
Sejumlah alat musik seperti suling, sitar, kendang, dan yang terkini harmonium, dimainkan beberapa orang sembari menyanyi. Iramanya macam-macam, adakalanya liris menghanyutkan dan bila-bila tinggi dan rancak penuh keceriaan.
Suara penyanyi yang liris dan adakalanya menghentak-meninggi, menyanyikan pujian bagi Sang Nabi dan orang-orang suci dalam tarekat Chistiyah, seperti Syekh Mu’inuddin Chisty sang pendiri tarekat dan Syekh Nizhamuddin Auliya, mursyid keempat tarekat ini. Tepuk tangan dan koor para pemusik lainnya mengiringi refrein yang diambil dari ayat-ayat al-Qur’an yang mengagungkan keesaan Allah (huwa Allah).
Di makam-makam suci para guru besar tarekat (Chisty) setiap tahun orang-orang berkumpul, dari beragam latar belakang sosial dan agama. Mereka mengangkat tangan, memejamkan mata, mengiringi refrein-refrein tertentu, hanyut dalam alunan musik Qawwali.
Dari sini kita melihat bentuk harmoni yang senyatanya, ketika musik mampu menyatukan orang-orang dan mengantarkan mereka ke dalam pengalaman yang transenden.Seperti dinyatakan Hazrat Inayat, menyelaraskan diri dengan harmoni musik yang sempurna adalah pencapaian spiritual sejati.
Musik adalah pengalaman abstrak yang melampaui segala wujud, dengan itu seorang sufi atau para salik mencapai Wujud Keindahan tertinggi. Efek yang dihasilkannya, bagi para pencari kebenaran ini, adalah terbukanya jiwa. Hati mereka terbuka bagi semua keindahan yang datang dari luar maupun yang muncul dari dalam, menyemangati mereka, membawa kesempurnaan yang dirindukan oleh setiap jiwa.
Ia lebih dari sekadar lagu, meskipun lagu atau nyanyian bagian darinya. Lebih dari vibrasi dan harmoni yang dihasilkan alat-alat tertentu, dan kesemuanya membentuk musik. Sedemikian abstraknya, sehingga Hazrat Inayat menyatakan, bahkan dalam seluruh aspek kehidupan (termasuk arstitektur, taman, pertanian, lukisan dan puisi) kesemuanya adalah musik. Ia inspirasi, miniatur yang kukuh, hukum yang bekerja melalui seluruh perwujudan alam semesta.
Qawwali sendiri secara etimologis berarti perkataan (dari qaul).Secara terminologis ia berasal dari bentuk Sema, yang ketika menyeberang ke India jadi memiliki tekanan yang berbeda. Jika subjek estetik Sema ada pada orang-orang yang menyimak nyanyian syair lalu mengikuti gerak ilahi yang tumbuh dari dalam dirinya, maka pada Qawwali “pemeran”nya adalah para pemusik yang mengatakan/ menyanyikan syair itu sendiri.
Dalam perkembangannya di tingkat budaya populer, kata Carl Ernst, musik ini mendapat sambutan publik yang hangat lewat industri rekaman. Awalnya hanya di India masa kolonial, dan kini sudah demikian mendunia. Nama-nama seperti Sabri Bersaudara, Nusrat Fateh Ali Khan, Fareed Ayaz, adalah para pemusik Qawwali yang mendunia dan pertunjukannya bisa kita simak melalui kanal Youtube.
Di Indonesia kita mengenal kelompok musik Debu, yang tidak hanya sukses di industri rekaman namun juga dalam pertunjukan mereka yang terbuka maupun tertutup. Kelompok ini didirikan di Amerika oleh seorang sufi bernama Syekh Fattaah. Para anggotanya,yang berafiliasi ke tarekat Chistiyah,berasal dari berbagai negara dan kini berbasis di Indonesia.