Sedang Membaca
Sufi dan Seni (1): Sufi dan Keindahan Transenden
Hajriansyah
Penulis Kolom

Penulis Sastra. Meminati seni dan dunia sufi

Sufi dan Seni (1): Sufi dan Keindahan Transenden

09f25b04 Ac52 415a 9212 88b8b71f3346

Barangkali kontribusi terbesar para sufi adalah pada bentuk kesenian Islam, yang merupakan ekspresi keindahan yang transendental. Karya seni, yang tak terbilang kekayaannya, dari arsitektur bangunan hingga karya sastra yang berlimpah.

Selain sejumlah karya anonim, yang hanya bisa dinisbatkan kepada komunitas sufi tertentu, sejumlah nama juga masyhur. Baik sebagai sufi maupun dikenal sebagai seniman, penyair maupun pemusik. Paling besar, mungkin, adalah Rumi, lalu Baqli, Attar, Sa’di, Fansuri hingga muta’akhirin seperti Hazrat Inayat Khan, dst.

Ini adalah nama-nama yang sudah diakui, baik reputasi diri maupun karyanya. Belum lagi jika ditambahkan bilangan orang-orang yang berkarya dengan “ornamen-ornamen” ketuhanan, dan mungkin seperti seorang mutasawif dalam atribut kesehariannya. Omar Khayyam, misalnya, terlepas ia menulis Ruba’i (quatrain, puisi empat-empat baris) bergaya sufi, ia lebih dikenal sebagai ilmuan ahli matematika danastronomi yang jenius.

Dalam segala bentuk, garis dan warna, imajinasi, rasa, juga tata cara—kata Hazrat Inayat—para sufi melihat keindahan, yang merupakan berkah bagi kehidupan. Seiring dengan banyak sufi wujudi, sufi pemusik ini menyatakan bahwa karena keterbatasan kita, maka kita tidak bisa melihat ‘Wujud’ Tuhan. Namun begitu, katanya,

“Segala yang kita cintai di dalam warna, baris dan bentuk, atau kepribadian, semuanya adalah milik Keindahan sejati yang merupakan kekasih semua makhluk.”

Kita juga bisa melihat ekspresi kesenian, yang dimotivasi rasa kecintaan yang mendalam terhadap segala aspek keilahian ini, di tengah suasana keagamaan kita hari ini. Lewat kelompok jemaah yang tertutup, atau dalam tablig akbar sekalipun.

Baca juga:  Mistisisme dalam Dunia Islam (1): Definisi, Pendapat Tokoh, hingga Pengendalian Diri

Pembacaan syair-syair maulid dikumandangkan merata: Diba’i, Barzanji, Simthud Durar atau al-Habsyi, Dhiya’ul Lami’, Burdah, hingga pembacaan syair Saraba Ampat pada komunitasterbatas di Kalimantan Selatan. Termasuk, turunannya, melalui musik (lagu) populer keagamaan yang biasa menghiasi bulan Ramadhan.Dan juga, jenis musikalisasi yang dipopulerkan oleh kelompok musik Debu.

Puisi-puisi berestetika sufi juga masih ditulis hingga kini, baik yang dangkal-klise, sekadar menukil bentuk perumpamaan yang lazim digunakan oleh para sufi penyair terdahulu seperti piala, anggur, mawar atau “mabuk” bertuhan-tuhan; maupun yang mendalam, seperti salah satunya pada karya-karya Ibramsyah Amandit, seorang penyair sepuh di Kalimantan Selatan.

Di antara karya-karya kaligrafi yang berwarna-warni dan taat kaidah bentuk pun, sesekali muncul kreativitas ekspresif yang kuat dan mendalam tentang hakikat al-Haq dan semesta ciptaan-Nya. Sebuah kaligrafi dari Amang Rahman berjudul “La Ilaha Illa Allah”, terasa begitu menyayat hati bagi yang dimabuk kerinduan akan Dzat Yang Mengatasi segalanya. Setiap garis khatnya yang tipis dan nisbi seperti memisahkan, menjadi batas yang demikian nyata, antara Allah Yang Qadim dengan makhluk yang muhdats.

Atau melalui kaligrafi “Malam Qadar”, yang setiap tahun direproduksi oleh pelukis AD Pirous, sekadar meng-ingat-kannya cerita keagungan lailatul qadar yang dikisahkan neneknya penuh takzim di kampung halaman yang telah lalu.

Baca juga:  Enam Tips Ulama Sufi untuk Menjadi Orang yang Dekat dengan Allah

Seni Islam, menurut Seyyed Hossein Nasr, merupakan hasil dari manifestasi Keesaan pada bidang keanekaragaman. Ia merefleksikan kandungan Prinsip Keesaan Ilahi, kebergantungan seluruh yang berbilangbentuk dan jumlahnya kepada Yang Esa, kesementaraan dunia dan kualitas-kualitas positif dari eksistensi kosmos atau makhluk, sebagaimana difirmankan dalam Qur’an surah Ali ‘Imran ayat 191.

Seni Islam diilhami oleh spiritualitas Islam ini secara langsung, sedangkan perwujudannya dibentuk oleh karakteristik-karakteristik tertentu dari tempat penerima wahyu al-Qur’an, yaitu dunia Semit dan nomadis yang nilai-nilai positifnya diuniversalkan Islam. Namun, bentuk wahyu Islam ini tidaklah mengurangi kebenaran bahwa sumber dari seni ini berasal dari kandungan batin dan dimensi spiritual Islam.

Spiritualitas Islam sendiri berkaitan dengan seni Islam melalui tata cara ritual Islam yang membentuk pikiran dan jiwa seluruh muslim, termasuk para senimannya, di berbagai belahan dunia dengan khazanah budayanya masing-masing.

Fungsi seni yang semacam ini, adalah untuk membawa penikmat mencapai keadaan jiwa yang damai dan menyatu dengan keabadian dari Yang Abadi—biasa disebut tawajjud; yang lain berupa tajarrud, pembebasan jiwa dari alam benda melalui sesuatu yang berasal dari alam benda itu sendiri, seperti suara, bunyi-bunyian, lukisan dan kata-kata; tazkiyah an-nafs, menyucikan jiwa dari pemberhalaan terhadap bentuk-bentuk; dan fungsi-fungsi didaktik-sufistik lainnya.

Baca juga:  Kisah 3 Orang Terjebak di Gua yang Tawasul dengan Amal Baiknya

Dari mana asal seni spiritual ini dilahirkan, diekspresikan?

Ibnu ‘Arabi menyebutnya sebagai alam al-khayyal (realitas imajinal). Bukan khayalan rendahan penuh dusta kemanusiaan, tapi sebuah “ruang” (barzakh) yang meng-antara-i yang qadim dan kekal dengan yang muhdats dan fana, yang bergantung pada Wujud Hakiki atau Wujud Mutlak.

Di dalam diri seorang sufi tidak ada ruang yang kosong dari kehadiran Allah, atau/dan setidaknya ar-Rasul. Karena itulah ekspresi seni sufi selalu mengandaikan adanya hubungan yang konstan ini dalam setiap tindakan dan ucapannya.

Suatu hari ketika bertamu ke ponpes Darul Hadits Al-Faqihiyah, beberapa tahun yang lalu, seorang Syekh dari Hadramaut tengah berkunjung pula berbarengan kami ke ruangan Habib Soleh al-Aydrus. Di antara sembang keilmuan ini, tiba-tiba habib tamu yang juga bermarga al-Aydrus itu minta dinyanyikan selawat. Maka berkumandang-lah pujian yang indah di ruangan kecil itu.

Ini membuktikan, bahkan di antara para sufiakhlaqi, yang sangat berhati-hati dengan bentuk-bentuk kesenian profan (keduniawian) itu, hiburan musikal semacam itu cukup penting untuk menambah kecintaan pada sang akram al-wujudi ‘inda Allah ini.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top