Sedang Membaca
Kisah Seniman A.D. Pirous
Hajriansyah
Penulis Kolom

Penulis Sastra. Meminati seni dan dunia sufi

Kisah Seniman A.D. Pirous

Hari itu (4/8/2016) saya bersama penyair Fahmi Faqih dan kurator seni rupa Anzieb berkunjung ke rumah Abdul Djalil Pirous (A.D. Pirous) di kawasan Bukit Pakar Dago. Ada dua maksud dari dua orang (saya dan  Anzieb) yang datang yang diwasilahi orang ketiga (Fahmi).

Maksud saya wawancara dalam rangka penyusunan tesis tentang Amang Rahman, dan maksud Anzieb menindaklanjuti surat undangan sebelumnya terkait pameran yang sedang dikurasinya.

Di sini saya tidak akan membicarakan Amang Rahman, pelukis sufi yang hidup dan karya-karyanya saya jadikan objek penelitian dalam konteks kajian estetika sufi, atau tentang pameran yang sedang dikurasi Anzieb, tapi fokus ke Pirous saja.

Memang, selain data-data tentang Amang yang saya dapatkan, ada hal menarik lain yang saya temui dalam wawancara yang kadang nyerempet-nyerempet ke pandangan Pirous sendiri tentang Seni Rupa Islam yang diyakininya. Karenanya, Pirous sendiri menjadi menarik saat itu!

Ada dua buku terkait A.D. Pirous yang telah terbit sebelum ini. Melukis itu Menulis, yang merupakan kumpulan tulisan Pirous tentang seni rupa dan budaya, dan Melukis Islam, buku yang ditulis oleh Kenneth George dalam rangka memahami “seni rupa” Pirous. Keduanya diterbitkan oleh penerbit Mizan, pada tahun 2003 dan 2012.

Kedua buku di atas sudah mendedahkan Pirous “apa adanya”, baik dari tulisan tangannya sendiri maupun hasil dari kerangka analisis George, sahabat dan kolektor karya-karya Pirous. Dan keduanya sudah saya baca. Tapi saya kira pengalaman berinteraksi langsung dengannya, dalam waktu kurang lebih dua jam-an hari itu, membuat saya juga ingin menyampaikan beberapa hal yang saya lihat dan dengar langsung darinya.

Mungkin, beberapa darinya sudah dibahas dalam kedua buku di atas, tapi amatan ini sendiri saya kira berguna.

Pirous mengatakan, melukis baginya adalah aktivitas intelektual. Atau dalam kata lain ia sebut “melukis itu menulis”. Kata menulis ini punya dua tekanan yang, meskipun memiliki makna serupa tapi, berbeda.

Baca juga:  Menyongsong Jalan Pulang: Mengenang Jeihan

Pertama, menulis sebagai sebuah aktivitas adalah proses mengabadikan pikiran-pikiran. Tekanannya pada pikiran, dan itu bisa pikirannya namun bisa juga pikiran orang lain yang diinternalisasikannya. Keduanya menyangkut pola pemahaman. Dalam hal ini, misalnya, Pirous yang seorang akademisi mengamati perkembangan yang terjadi dalam seni Islam. Lebih spesifik lagi seni rupa Islam, dan itu tentu saja tidak terlepas dari kaligrafi sebagai bagiannya.

Kedua, menulis juga berarti mencatat pengalaman-pengalamannya. Ini sebenarnya masih bersinggungan dengan kerja ilmiah, namun lebih ditekankan lagi pada sisi mencatat kenangan. Tekanannya pada kenangan, aspek yang berkaitan dengan perasaan. Dalam hal ini lukisan menjadi bernilai nostalgia atau bersifat romantik.

Pirous bisa bicara panjang tentang masa kecilnya di Aceh, atau beberapa momentum yang menandai perjalanan dan agenda-agenda keseniannya yang telah lalu, baik yang terlaksana maupun tidak.

Tentang malam Qadar (lailah al-qadr) misalnya, ia menyatakan bahwa setiap tahun selalu membuat satu lukisan kaligrafi bertema itu. Ada beberapa contoh lukisan, baik yang terpajang di ruang bawah rumahnya yang bertingkat tiga yang berfungsi sebagai studio itu, maupun dalam katalog-katalog yang memuat lukisannya.

Cerita tentang malam Qadar begitu berkesan baginya, dan itu membawa kami pada cerita masa kecil Pirous, ketika neneknya mengumpulkan cucu-cucunya dan menceritakan keajaiban malam itu. Dan Pirous begitu terkesima pada cerita itu, bahkan hingga kini.

Entah, apakah ia pernah mengalami langsung malam yang lebih baik dari (beramal dalam) seribu bulan itu atau tidak, itu tidak termasuk dalam ceritanya. Namun yang terasa bagi saya, lukisannya lebih merupakan catatan dari sebuah “kisah” ketimbang sebuah “pengalaman” langsung.

Cerita yang lain terdapat di balik pintu (keluar) rumahnya. Itu pintu masuk sebenarnya, tapi karena kami datang dan dipersilakan masuk melalui ruang bawah (studio) itu, dan kemudian setelah wawancara diajak naik ke atas yang merupakan bagian dari “rumah-tangga”nya untuk dibawa ke beranda belakang yang menghadap lanskap lembah (kota) Bandung dan kemudian keluar lewat rumah bagian atas itu, saya sebut saja itu “pintu keluar”.

Baca juga:  Jejak-Jejak Erros Djarot: Dari Politik Seni hingga Konflik dengan Megawati

Di balik pintu ada sebuah karya kolase, berupa tempelan kalender duduk yang dikomposisi berurutan, sebagaimana layaknya kalender, dan penuh coretan atau catatan kaki. “Ini agenda saya selama satu tahun,” katanya.

Ya, Pirous mencatat semua kegiatannya beserta coretan evaluasi (setelah agenda itu terlewati), dan tentu saja setelah disusun ulang di atas bidang datar itu menjadi sebuah karya yang artistik. Di sana ada kenangan, pikiran, pemahaman, kebijaksanaan, dan tentu saja indah secara visual.

Sebagai seniman akademis Pirous tentu saja memiliki obsesi-obsesi intelektual. Apalagi ia terlibat langsung dengan arus pemikiran zamannya. Bahkan ia merupakan salah seorang pionir, tokoh yang membawa suatu perubahan cara pandang.

Tahun 1970an, ketika Pirous berada di puncak usia mudanya, kebudayaan Indonesia tengah berada di suatu awal bagi perubahan pasca “kehancuran” dari dialektika sebelumnya. Indonesia tengah “ditata-ulang” untuk kembali ke “sumber”nya. Mirip peristiwa sebelumnya pada masa revolusi dan sesudahnya, beberapa seniman ada yang mengorientasikan dirinya kepada khazanah tradisi nusantara (termasuk yang bersifat metafisik) sementara yang lain mengorientasikan diri ke Barat.

Afiliasinya ke dalam kelompok Manifes Kebudayaan sebelumnya, membuatnya sesudah “gonjang-ganjing” 1965 itu mendapat tiket berangkat ke Amerika pada tahun 1969 melalui beasiswa Yayasan John D. Rockefeller III.

Seperti juga dicatat Amir Hamzah dalam tesisnya “Islam dalam Seni Rupa Modern Indonesia”, dua tahun mengunjungi museum-museum di negara tersebut menghadapkan Pirous pada pertanyaan “di mana identitas Indonesia dalam representasi seni modern?”

Pertanyaan ini yang membuatnya banyak melakukan eksperimen. Secara umum, ia memilih memasukkan kenangannya akan unsur-unsur tradisi lokal Aceh dan kaligrafi Islam dalam karya dua dimensi yang dilaburi pasta, serbuk emas, dan kolase.

Namun tidak terbatas pada kenangan, ia juga melakukan observasi ke sejumlah situs pekuburan tua, pada bentuk-bentuk nisan dan ornamen (termasuk tulisan Arab)-nya. Tidak hanya di Aceh, namun juga pada beberapa situs yang ada di Jawa, yang dalam hal inilah ia memerlukan Amang Rahman sebagai pemandunya.

Baca juga:  Rumah Moderasi IAIN Ambon: Beragama ala Budaya Maritim di Maluku

Pada masa itu Pirous juga salah seorang yang pertama bereksperimen melukis dengan teknik grafis etsa yang menimbulkan tekstur nyata.

Menurut pengakuannya, lukisan dengan tekstur tebal semacam itu kemudian banyak diikuti seniman-seniman lain, tidak hanya di Bandung tapi juga di Jogja. Karya-karyanya yang demikian mewakili suatu masa dari perkembangan seni rupa “mazhab” Bandung.

Terkait perkembangan intelektual serta pengalaman estetiknya dalam hal kaligrafi, Pirous sempat bilang:

“Seni lukis (kaligrafi) Islam itu bukan sekadar kuasi-Islam tapi harus dibawa melampaui itu (yang sekadar visual dan banal), jadi satu bentuk intelektualitas Islam yang menjawab persoalan zaman. Harus jadi persoalan budaya, bukan sekadar tulisan indah.”

Ia juga menambahkan, bahwa “untuk sampai pada yang sublim tidak dengan kaligrafi pun bisa sampai. Maka karena itulah kita harus sampai pada tataran intelektual dimaksud (dengan kaligrafi).”

Hari itu saya sempat menanyakan, apakah ia masih intens melukis? Pertanyaan ini dijawabnya dengan mengajak kami mendekati sebuah lukisan yang masih basah. “Ini baru saya lukis pagi ini.”

Ya, setiap hari, sesudah melakukan ibadah subuh, sampai umurnya 84 tahun ketika itu, ia masih menuruni anak tangga menuju studionya di lantai dasar untuk berkarya secara rutin. Persis seperti kata Amang Rahman, melukis itu juga ibadah.

Ketika naskah tesis saya yang telah diuji saya kirimkan kepadanya, hanya berselang dua jam setelah sampai di tangannya ia mengirimkan catatan lewat WA, memberikan koreksi di halaman 91 yang terkait dengan tokoh seniman mazhab Bandung.

Rupanya ia masih tekun pula membaca, dan ingatannya—sebagaimana kenangan itu disimpannya dengan baik dalam benaknya—masih sangat kuat.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top