Sedang Membaca
Hikmah: Wirid Bukanlah Tujuan
Hajriansyah
Penulis Kolom

Penulis Sastra. Meminati seni dan dunia sufi

Hikmah: Wirid Bukanlah Tujuan

“Sesungguhnya Dia mendatangkan warid kepadamu agar engkau dengannya datang kepada-Nya.”

إِنَّمَا اَوْرَدَ عَلَيْكَ الوَارِدَ لِتَكُونَ بِهِ عَلَيْهِ وَارِدًا

Yang dimaksud dengan warid adalah sesuatu pengetahuan yang diberikan Allah kepada orang yang dikehendaki-Nya, buah dari wiridnya. Ia merupakan cahaya makrifah yang melapangkan dada seorang salik sehingga hatinya bersinar, dengan itu ia mampu melihat kebenaran sebagai kebenaran dan kebatilan sebagai kebatilan. Pandangannya jelas dan terang.

Warid juga berati manifestasi Ilahiah (tajalli) yang datang ke dalam hati. Warid didatangkan oleh Tuhan supaya si salik bersiap-siap masuk ke hadirat-Nya, dengan syarat hati itu bersih dari kekotoran dan sifat-sifat yang tercela. Karena hati yang masih sedemikian, tidak akan bisa masuk dan berhadapan dengan Allah Yang Maha Suci lagi Mulia.

Syekh Ibnu Ajibah menambahkan, “Seandainya Dia tidak mendatangkan warid kepadamu, niscaya engkau tetap berada di tanah air kelalaianmu”.

Warid–bisa pula disebut minnah, mawahib, ilmu laduni, dst.–, adalah ‘sesuatu’ yang datang ke dalam hati orang yang mengerjakan wirid. Wirid sendiri adalah satu atau sekian amal yang dikerjakan secara berulang-ulang dengan keistiqamahan, apapun bentuknya. Baik itu mengerjakan shalat nafilah (sunah), atau membaca al-Quran, atau membaca buku-buku yang bermanfaat, atau dengan berzikir, atau dengan tafakur. Adapula yang membiasakan dirinya berpuasa sunah, bersedekah, menolong orang lain, dan seterusnya yang berfaedah, tidak hanya bagi dirinya saja tapi juga dapat memberi manfaat yang lebih luas lebih dari sekadar dirinya

Baca juga:  Metafora Ramadan dalam Surat Yusuf

Imam Haddad dalam Risalah al-Mu’awwanah menyatakan, wirid memiliki manfaat yang banyak dalam hal menerangi hati dan mendisiplinkan badan. Manfaat itu didapatkan karena adanya ketekunan–layaknya mengerjakan tugas, dengan berulang-ulang dan dilakukan pada waktu-waktu yang ditentukan (waktu khusus). Setidaknya dengan waktu khusus itu ada perhatian yang khusus pula, dari kelalaian, dan sebagai pembiasaan dalam menjaganya. Dengan perhatian khusus itu pula, ada kesadaran untuk mengganti amal bila terlewatkan atau ketinggalan, sehingga ia menjadi semacam “kewajiban” tersendiri dalam rangka pembentukan karakter yang mantap.

Sebuah hadis yang diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah menyebutkan, Nabi Saw bersabda: Ambillah dari satu amal yang kalian sanggup mengerjakannya, sesungguhnya Allah tidak bosan sampai kalian merasa bosan. Sesungguhnya amal yang paling disukai Allah adalah yang berkelanjutan meskipun sedikit (H.R. Muslim). Dengan memilih satu pekerjaan yang kita suka dan sanggup mengerjakannya, lalu mengerjakannya secara berterusan (dawam) meskipun sedikit, secara kuantitas, akan dirasakan manfaatnya secara perlahan-lahan namun mantap dan melekat di hati. Inilah maksud hatinya bersinaran atau bercahaya. Seperti dikatakan sebagian Arifin, warid itu karena adanya wirid; siapa yang tidak memiliki wirid pada zahirnya, tidak membiasakan diri melakukan sesuatu kebaikan pada dirinya, tidak akan pernah merasakan warid dalam batinnya.

Baca juga:  Kisah Hikmah Klasik (19): Ketika Nabi Musa Ditegur Allah Lantaran Enggan Berobat

Sebaiknya, setiap kali selesai mengerjakan wirid, terutama berupa zikir, seorang salik mesti mengambil waktu jeda sebelum melakukan yang lain. Tidak melakukan apa-apa dan hanya berkonsentrasi pada batinnya, menanti-nanti datangnya warid di dalam hati. Jika sampai waktu tertentu tidak juga dirasakan sesuatu yang berbeda atau sesuatu yang berasa hadir pada hatinya, ia bisa melakukan aktivitas lainnya tanpa harus merisaukannya. Ia bisa melakukan hal yang sama pada wirid berikutnya, meski dengan itu pun ia tak kunjung merasa mendapatkan sesuatu , ia dapat mengulangnya kembali pada waktu berikutnya. Terus sedemikian itu, sampai bisa jadi kemudian kesadarannya berubah dengan sendirinya tanpa ia sadari. Akhlak dan perbuatannya menjadi jauh lebih baik dari sebelum-sebelumnya, dan warid yang semacam ini jauh lebih mulia dari sekadar “perasaan” sesaat yang tumbuh tapi tak dapat dipeliharanya. Alih-alih mendapatkan karunia, perasaan sesaat yang dilebih-lebihkan malah bisa jadi kesombongan, dari mulanya ujub di dalam diri.

Warid hanyalah media, jembatan, wasilah, yang dengannya Tuhan ingin menghadapkan hamba kepada-Nya. Di sanalah terbit kesungguhan untuk mendekat dan semakin dekat kepada hadrat ar-Rahim, di mana Dia memilih orang-orang yang dicintai-Nya dari lainnya yang sekadar dikasihi-Nya. Warid bukanlah tujuan, karena jika demikian ia menjadi dinding pembatas berhadap-hadapan dengan Tuhan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top