Revolusi media sosial membuat batasan media menjadi lumer. Produksi dan distribusi informasi menjadi massal dan murah. Siapa saja bisa menjadi pemilik dan penguasa media (semudah membuka akun medsos dengan modal nomor ponsel atau alamat e-mail).
Siapa saja bisa mengumpulkan massa, atau menjadi agen penyebaran informasi apa saja (semudah memencet tombol ponsel untuk meneruskan pesan viral).
Di era disrupsi media sosial ini, siapa saja bisa menjadi produsen informasi. Pencipta konten dengan tujuan apapun. Popularitas. Pengaruh. Atau akhirnya materi.
Demokratisasi informasi ini harusnya membawa kebaikan.
Ilmu dan informasi yang baik bisa disebarkan dengan lekas dan murah. Semua orang punya akses setara terhadap sumber-sumber kemajuan dan kebaikan.
Akan tetapi, tak pernah ada hal di muka bumi ini yang berwajah tunggal. Hoaks, dan kawan-kawannya: kabar bohong, fitnah, berita pelintiran, ramai-ramai ikut menumpang.
Kadang terang-terangan, lebih sering (dan lebih efektif) ketika diberi kedok manis lalu dan hadir penumpang gelap.
Tak semua orang siap menghadapi si penumpang gelap ini. Ketidaksiapan itulah yang dimanfaatkan benar oleh produsen hoaks.
Sekjen Ikatan Alumni al-Azhar Indonesia (IAAI), Muchlis M Hanafi, yang juga Direktur Eksekutif Pusat Studi Alquran (PSQ) Jakarta, dalam Republika (Selasa, 3 Juni 2017) menyebut hoaks dengan fahisyah, apa yang disebutkan dalam QS An-Nur Ayat ke-19.
Ayat itu turun setelah Rasulullah SAW menjadi korban hoaks. Istri beliau, Aisyah RA dituduh berselingkuh.
Hoaks atau fahisyah tersebut menyebar liar di Madinah. Bayangkan, betapa bahayanya hoaks. Seorang rasul pun tak luput dari sasarannya.
Kejadian itu pun sudah menampakkan ciri-ciri penyebaran apa yang kini kita kenal sebagai informasi viral.
“(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar. (an-Nur ayat ke-15)
Berita dusta, perkataan palsu, adalah dosa besar. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, dosanya disandingkan dengan syirik dan durhaka pada orangtua.
Lantas cukupkah ancaman dosa besar membuat kita agar berhati-hati bermedia sosial agar tidak menyebarkan hoaks yang pasti akan diganjar dengan azab yang pedih di dunia dan akhirat (QS An-Nur Ayat 19)?
Surah al-Hujurat ayat ke-9 cukup jelas memberikan petunjuk. Ayat itu berbunyi, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Dalam tafsir Ibnu Katsir, ayat ini turun disebabkan oleh peristiwa salah paham, akibat kabar bohong, yang nyaris membuat para sahabat Rasulullah saling bunuh. Begitulah bahayanya hoaks.
Maka, ketika membaca informasi di mana saja (termasuk sekarang di media sosial) lakukanlah langkah-langkah ini: 1. Cek dari mana sumbernya, 2. Periksalah dengan teliti kebenarannya; 3. Timbang pikir risiko penyebarannya bagi orang lain; 4. Renungkan apakah kelak kita akan menyesali karena ikut menyebarkan berita itu.
Intinya: Jangan ikut menjadi agen penyebar hoaks. Mudaratnya jelas. Dosanya jelas. Azabnya jelas.