Sejarah telah mencatat bahwa masyarakat Aceh memiliki budaya adat dengan nilai-nilai religius yang identik dengan Islam. Kehidupan budaya adat Aceh dengan Islam tidak dapat dipisahkan. Harmonisasi antara adat dan Islam ini berkembang dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Masyarakat Aceh terbiasa menyesuaikan praktik agama dengan tradisi atau adat istiadat yang berlaku. Hal ini terlihat dalam kehidupan sosial budaya Aceh, sebagai hasilnya Islam dan budaya Aceh menyatu, sehingga sukar dipisahkan.
Di sini ketentuan syariat Islam merupakan bagian dari adat atau telah diadatkan. Sebaliknya, adat merupakan bagian dari Islam, atau yang telah diislamkan.
Beragam adat Aceh tidak terlepas dari nilai-nilai syariat Islam. Tentunya dalam kaitan dengan hal tersebut, dalam masyarakat Aceh juga berlaku ketentuan bahwa adat itu ada dua yaitu, pertama ketentuan Allah Swt yang tidak berubah sepanjang masa dan kedua adat kebiasaan masyarakat berdasarkan syariat Islam.
Islam dan budaya adat Aceh menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Keduanya menyatu dan berkaitan erat dalam kehidupan masyarakat Aceh. Budaya adat Aceh sangat kental dengan Islam.
Budaya kerap disebut kultur, dari bahasa Inggris culture. Budaya adalah hasil buah pikir manusia yang dipengaruhi oleh lingkungan, tempat dan waktu dengan tujuan untuk mencapai kebahagiaan.
Budaya yang dihasilkan manusia ada yang berbentuk sekuler, marxis, atheis, materialis, sosialis, dan sebagainya. Hasil buah pikir itu menjadi adat kebiasaan yang pada akhirnya menjadi sebuah kebudayaan.
Seorang tokoh Aceh, Badruzzaman, lebih sepakat dengan istilah budaya adat Aceh, bukan budaya Aceh. Hal ini karena istilah itu memberi dampak filosofis, historis, dan sesuai dengan cita-cita kami sebagai orang Aceh.
Budaya adat Aceh mengandung nilai-nilai religius dalam bingkai syariat Islam. Jadi, nilai syariat Islam itu mutlak harus dijiwai dalam budaya adat Aceh.
Masyarakat Aceh mempunyai tamsilan adat dengon hukum lagee zat dengon sifeut. Jadi saling ada keterikatan antara adat dengan syariat, bukan seperti budaya yang dikenal dengan istilah culture pada umumnya. (Badruzzaman Ismail, Syariat Islam Menyatu dalam Budaya Adat Aceh, 2018).
Keumaweuh, Tradisi Tujuh Bulanan
Di antara beragam tradisi budaya adat yang berkaitan dengan nilai-nilai syariat Islam, terdapat satu tradisi budaya adat Aceh yang cukup terkenal, yaitu tradisi keumaweuh.
Tradisi Keumaweuh merupakan tradisi tujuh bulanan di Aceh. Tradisi keumaweuh dilakukan pada saat seorang istri sudah memasuki tujuh bulan atau 28 minggu usia kehamilan anak yang pertama.
Tradisi keumaweuh ini sudah dilakukan secara turun-temurun zaman dulu sampai sekarang. Sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Aceh khususnya keluarga suami pada saat acara keumaweuh untuk mengantarkan nasi dan buah-buahan bagi istri yang sedang hamil anak pertama.
Masyarakat Aceh sangat memprioritaskan kesehatan ibu hamil dan anak. Keduanya merupakan tumpuan harapan yang sangat menentukan pertumbuhan dan perkembangan generasi penerus di Aceh, karena itu setiap ibu hamil disambut gembira oleh keluarga suami istri dan diberikan spirit dan kondisi yang menyenangkan.
Masyarakat Aceh dapat memahami pengaruh besar psikologis ibu hamil terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak dalam kandungan. Dengan ini lahirlah petuah–petuah dan pantangan–pantangan yang bertujuan menjaga kehamilan terpelihara dan selamat sampai melahirkan.
Tradisi keumaweuh juga bisa dikatakan sebagai acara syukuran atau rasa syukur kepada Maha Pencipta karena diberi rezeki dengan bertambahnya anggota keluarga yang baru atau juga sang istri sedang mengandung. Namun tradisi keumaweuh hanya diadakan ketika istri mengandung anak pertama.
Sesuai Syariat Islam
Tradisi Keumaweuh dalam perspektif syariat Islam juga mempunyai pandangan spesifik. Allah Swt menciptakan manusia berpasangan, laki-laki dan perempuan. Keberadaan umat yang banyak di dunia menjadi sebuah kebanggaan baginda nabi Muhammad saw.
Islam juga memperbolehkan menikahi empat perempuan selama mampu berlaku adil dan ini sebuah isyarat untuk memperbanyak keturunan.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw bersabda: “Nikahilah perempuan yang pecinta (yakni yang mencintai suaminya) dan yang dapat mempunyai anak banyak, karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab (banyaknya) kamu dihadapan umat-umat (yang terdahulu)” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Hibban dan Hakim dari jalan Ma’qil bin Yasar).
Dalam hadis lain juga disebutkan: “Nikahilah perempuan yang penyayang dan dapat mempunyai anak banyak karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab banyaknya kamu dihadapan para nabi nanti pada hari kiamat” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan Sa’id bin Manshur dari jalan Anas bin Malik).
Satu kebahagian bagi mereka yang telah menikah adalah lahirnya buah hati yang menghiasi hidup mereka. Ini semua takdir dan rezeki dari sang Maha Kuasa. Saat seorang istri telah hamil, tentu ini menjadi sebuah kabar gembira dan anugerah bagi keluarganya.
Masyarakat Aceh dalam hal ini sangat berpartisipasi menyelenggarkan upacara selamatan untuk memanjatkan doa kepada Allah Swt dengan mengharapkan keselamatan. Dalam upacara selamatan tersebut dibacakan Al-Qur’an, surat–surat tertentu, bacaan berzanji, atau tahlil.
Aceh memiliki adat-istiadat yang sangat menghargai dan memuliakan ibu hamil dan anaknya. Mendorong keluarga dan masyarakat saling bekerja sama membantu mengayomi ibu hamil.