Sedang Membaca
Sepekan Setelah Kepergiaan Sapardi: Puisi dari Dekat
Gigih Imanadi Darma
Penulis Kolom

Santri Kalong di Bentala Tamaddun Nusantara. Bermukim di Bantul. Kadang-kadang nulis lebih sering melamun. Penggemar Hemingway, yang suka tahu goreng dan sambal buatan Mama. Bisa disapa lewat Instagram @gigihimanadidarma atau Twitter @Gigihimanadi atau Facebook @Gigih Iman AD

Sepekan Setelah Kepergiaan Sapardi: Puisi dari Dekat

Sapardi Cnn Indonesia

Diantara berdesak-desak notifikasi yang masuk, “Gih. Penyair idola kamu meninggal?” seketika pesan itu menyelinap dan menarik perhatian saya. Pesan bernada tanya itu saya biarkan sepintas lalu. Saya heran dan terkejut dan bingung, bagaimana tidak, ketika bangun dari tidur saya langsung berhadapan dengan kabar kematian. Astaga.

Tentang penyair idola? Tentang seseorang yang meninggal? Saya balik menanyai diri sendiri, ada sederet nama penyair idola dan siapa yang teman itu maksud?

Apakah Rendra? Tentu bukan, “ Si Burung Merak ,“  ia sudah lama tutup usia, atau mungkin Goenawan Mohammad, Aan Mansyur, Jokpin? Atau dari negeri yang jauh, Pablo Neruda, Nizar Qabbani? Saya berusaha mengingat, dan diantara yang saya sebutkan di atas, hanya Goenawan Mohammad, Aan Mansyur, dan Jokpin lah yang masih hidup. Dan semoga masih.

Sementara saya sibuk menerka, sementara itu juga di layar peramban terpacak keterangan “Sastrawan, Sapardi Djoko Damono Meninggal, “ Cepat-cepat saya membuka group WA, menengok beranda sosial media, dan semua keterangan menunjukan begitu adanya: Sapardi, salah seorang penyair idola saya meninggal.

Ketika kepastian itu saya dapati, saya jadi bingung dan bengong dan kepala saya pusing. Karena tidak ada pekerjaan yang harus saya selesaikan, jadilah saya menyambung tidur, setelah bangun lagi, saya kirim balasan, sebaris kalimat pendek, “ Iya. Innalilahi Wa Innalillahi Rajiun,”

Itu kejadian pekan lalu, dan tengah malamnya saya mengumpulkan energi untuk menulis obituari ini, semata untuk Sapardi Djoko Damono, 20 Maret 1940-19 Juli 2020.

Mengenang Sapardi Djoko Damono

Kalau tidak keliru, pertama kali saya “mengenal” Sapardi ketika membaca majalah Horison,  waktu duduk di bangku SMA. Sapardi menulis untuk kolom esai dan ulasan cerpen, di majalah sastra itulah ia pernah bekerja sebagai redaktur, tapi memang orang-orang tahu Sapardi hanya lewat satu dua puisinya yang sering dipakai gombal: Hujan Bulan Juni dan Aku Ingin.

Baca juga:  Bahasa dan Sastra Pesantren (3): Bahasa Jawa Kuno (Kawi) dalam Sejarah Pesantren

Berkat Sapardi keinginan saya jadi penyair tumbuh, paling tidak saya mulai menulis puisi sendiri (sebetulnya tidak layak dinamai begitu), capaian yang lumayan adalah puisi tentang Mama yang saya tulis dan bacakan di depan Mama, dan pernah juga di depan Jokpin, penyair idola saya yang juga dia mengidolakan Sapardi.

Selebihnya saya menulis puisi dengan buruk, saya malu dan geli ketika membaca puisi tulisan sendiri, apalagi puisi-puisi rekaan itu saya kirimkan pada seorang gadis. Segera saya insaf, saya tak ingin jadi penyair hanya karena niat merebut hati perempuan, lalu puisi-puisi itu saya buang, tapi belakangan saya menulis puisi lagi, menyimpan dan merahasiakannya.

Lain daripada itu, Sapardi juga telah menemani tidur-tidur saya. Demi Tuhan, tiap malam saya hampir selalu putar musik duo folk, Ari Malibu dan Reda Gaudiamo. Mereka adalah musisi favorit saya. Ari Reda melantunkan puisi-puisi dari Goenawan Mohammad, Abdul Hadi Ws, Subagio Sastrowardoyo dan hampir semua sastrawan Indonesia yang saya suka, termasuk yang paling sering adalah Sapardi.

Sapardi juga adalah penerjemah pertama yang memperkenalkan sastrawan besar Amerika, Ernest Hemingway, melalui buku “The Old Man and The Sea,” novel itu menghantarkan penulisnya mendapat Nobel Prize tahun 1954, belakangan saya mengagumi gaya bertutur Hemingway. Dan dengan cepat saya putuskan jadi penggemar Hemingway, seperti halnya dulu sekali dengan cepat  juga menjadi penggemar Sapardi.

Baca juga:  Semangat Toleransi dalam Sinema Lintas Ruang (1): Where Do We Go Now? Perempuan, Konflik Agama, dan Kekonyolan

Terima kasih Sapardi, hanya itu. Sebab saya berutang terlalu banyak dan karenanya hanya  terima kasih, selebihnya tak bisa saya tebus dengan apapun. Itu sebabnya tak ada selamat jalan, atau ucapan istirahat, atau salam perpisahan. Saya masih dan tetap akan mendengar dan membaca Sapardi. Itulah setinggi-tingginya hormat.

Mengapa Kita Bersedih dan Benarkah Kita Kehilangan Sapardi?

Sejujurnya untuk urusan puisi seperti yang lain, adalah “Aku Ingin,“ dan, “ Hujan Bulan Juni,” yang pertama-tama saya tahu, dan memang dua puisi itu masyhur dan tersebar luas di internet.

Tapi lebih lanjut saya tahu bahwa Sapardi menulis lebih banyak daripada sekedar hujan dan keinginan, ia pernah bercerita tentang “Dongeng Marsinah,” seorang perempuan yang tak cengeng dalam berjuang, lain waktu Sapardi juga berkisah tentang “ Ballada Seorang Pembrontak,” tentang, “ “Batu,” lalu, “Narcicius,” bahkan, “ Cara Membunuh Burung, “ atau, “Terbangnya Burung,“ dan seterusnya.

Dan saya tak bisa paham, mengapa ada banyak orang yang (merasa) begitu kehilangan, di jagat maya tumpah ruah gambar Sapardi diikuti macam-macam ucapan. Apa betul mereka kehilangan Sapardi? Padahal karya sastranya ada ribuan dan masih bisa di jangkau. Mengapa?

Saya pikir, kita memang pintar membohongi diri sendiri. Dan Sapardi tak berbakat untuk itu.

Do’a Untuk Sapardi

Baca juga:  Omisijan dan Kidungan Sang Sunan

Saya ingin mengakhiri obituari ini, dan ingin berkata, ketika menyadari kepergian Sapardi mula-mula ada perasaan yang ganjil, entahlah apakah itu layak disebut sedih, gamang, atau sejenis kehilangan, tapi beruntung lekas saya mengingat bait puisi Dea Anugrah dalam bukunya Misa Arwah, begini bunyinya:

kematian adalah luncur burung / melepas diri ke lengang /

dan kita mestinya tak berduka // duka adalah gaung jatuhnya batu /

tertelan ganih hamparan salju / dan kita mestinya tidak menangis //

Dea Anugrah  mengajarkan cara lain untuk menyikapi ajal, dan saya tidak jadi berduka dan tidak juga menangis.  Sebab kematian adalah takdir. Seumpama burung, Sapardi kini benar-benar terbang “ Melepas diri ke lengang,” untuk menemui takdirnya.

Seperti yang juga Sapardi sampaikan dalam baris sajaknya :

maut mencintai fajar/

dan mata air dengan tulus//

Sapardi adalah fajar itu dan kematian adalah air mata yang tulus, pada sajaknya yang lain, Sapardi menulis begini :

lelaki tua yang rajin itu mati hari ini ;

sayang bahwa ia tak bisa menjaga kuburnya sendiri//

Sajak itu ia tulis tahun 1964, dan hari ini rasanya Sapardi menulis untuk dirinya sendiri. Dan kita yang masih hidup akan “menjaga kubur,” dan senantiasa menziarahi Sapardi. Melalui karya-karya nya yang tak lekang waktu.

Dari tingkap jendela dalam dingin udara subuh, saya kirim sehimpun do’a. Untuk Sapardi Djoko Damono, sekali lagi, beribu terima kasih sebab telah menghadirkan puisi, dari dekat. Semoga damai disana. Di Firdaus, dalam peluk keharibaan-Nya. Al-faatihah.

Tabik.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
2
Terinspirasi
3
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top