Tak ada yang tak berakhir, karena semuanya memiliki awal, kecuali Dia Sang Kuasa. Pada akhirnya, segalanya hanya akan menjumpai antara dua hal; surga (karunia) atau neraka (siksa). Pertanyaannya adalah “siapakah yang akan selamat mendapat karunia dan siapakah yang kualat merasakan siksa?” Di tengah gempuran konflik sosial bangsa saya kira topik di atas masih segar untuk dibahas. Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut menurut sudut pandang Al-Ghazali.
Secara garis besar Al-Ghazali membagi non-Muslim menjadi empat kelompok. Pertama, mereka yang belum pernah mendengar Nabi sehingga tidak mengetahui akan kewajiban-kewajiban yang salah satunya adalah beriman pada satu Tuhan. Untuk kelompok yang pertama ini dalam klasifikasi Al-Ghazali masuk dalam kelompok yang selamat (dimaafkan). Hal ini karena salah satu syarat manusia mendapat kewajiban beriman adalah mengetahui akan syariat itu sendiri. Kelompok ini mengarah pada mereka yang hidup pada masa fatrah (kevakuman) dan mereka yang hidup jauh dari lingkungan di mana Islam tersebar. Adapun dasar dari pendapat ini adalah surah Al-Isra’, ayat 15:
وما كنا معذبين حتى نبعث رسولا
Artinya: Kami tidak menyiksa sampai Kami mengutus seorang rasul.
Pendapat berbeda adalah dikemukakan oleh kaum Mu’tazilah, salah satu rival Ghazali khususnya dalam diskursus ilmu kalam. Dikatakan oleh mazhab tersebut bahwa manusia sebelum datangnya Muhammad sebagai nabi sudah memiliki kewajiban untuk beriman dan menjalankan syariat Islam. Sementara perangkat untuk menangkap kewajiban tersebut adalah akal mereka, sehingga kaum tidak beriman yang hidup di masa fatrah dan mereka yang tidak tersentuh oleh syariat Islam setelah nabi diutus juga disiksa.
Kedua, mereka yang hanya mendengar hal-hal negatif tentang Nabi. Kelompok ketiga ini, menurut Ghazali, berada dalam pijakan yang sama dengan kelompok pertama. Hal ini karena kelompok ketiga ini tidak menerima masukan informasi yang cukup untuk mendorongnya agar mencari lebih lanjut tentang status Muhammad sebenarnya. Dalam kitabnya, Faishalu at-Tafriqah, ia menegaskan bahwa mereka mendengar nama Muhammad, tetapi tidak mengetahui karakter dan sifatnya. Dalam lanjutannya Ghazali menyamakan sikap mereka setelah mengalami hal demikian dengan anak-anak yang mendengar seorang pendusta besar yang disebut al-Muqanna’, yang mengklaim dirinya sebagai utusan Tuhan serta menentang orang-orang yang membantah klaimnya.
Ketiga, mereka yang menolak dan mengingkari risalah Islam setelah mengalami perjumpaan dengan risalah dalam bentuknya yang benar. Inilah yang dalam klasifikasi Ghazali merupakan kelompok pendusta dan kafir sejati sehingga tidak terselamatkan. Ghazali mengatakan dalam kitabnya, Iqtishad, bahwa sudah menjadi tabiat akal untuk menerima risalah-risalah nabi Muhammad setelah anasir-anasir supranatural diketahui dengan transmisi yang valid. Ini bagi mereka yang tidak sezaman dengan mukjizat Nabi terjadi. Selanjutnya, Ghazali, dalam kitabnya yang sama, menegaskan bahwa mukjizat-mukjizat Nabi Muhammad dapat meyakinkan mayoritas orang arab dan mereka percaya kepadanya bahkan rela membelanya sekalipun dengan harta dan jiwa mereka.
Dikatakan bahwa puncak diterimanya risalah serta Muhammad sebagai utusan Allah adalah terletak pada kesucian hati mereka, bukan mukjizatnya. Terlebih garis demarkasi antara mukjizat dengan sihir tidak begitu gamblang, sehingga membutuhkan kesucian jiwa untuk mendorongnya beriman. Meskipun demikian, perlu dipahami bahwa mukjizat adalah alat perangsang mereka untuk melangkah lebih jauh mencari tahu tentang Islam. Dari itu, mereka yang mengalami perjumpaan dengan Islam dalam bentuknya yang benar kemudian enggan untuk mencari tahu lebih lanjut dan menentangnya maka termasuk kafir sejati dan pendusta.
Dari itu, Ghazali membuat perumpamaan akan kelompok pendusta ini; bahwa mereka tak ubahnya seseorang yang diperingati soal kedatangan seekor singa lapar di belakangnya dan satu-satunya jalan untuk selamat adalah lari. Maka sikap apatisnya untuk tetap berdiam di tempat menunjukkan penentangan atas peringatan tersebut dan tentunya siap menghadapi singa, meskipun ia akan menjadi mangsanya.
Keempat, mereka yang aktif menggali lebih dalam tentang risalah Islam setelah mengalami perjumpaan dengan bentuknya yang benar. Dalam kategori Al-Ghazali kelompok ini tergolong kelompok yang selamat meskipun berada dalam kekufuran. Berbeda dengan kelompok ketiga, kelompok ini menangkap dan merespons anasir-anasir supranatural dengan mencari tahu lebih dalam tentang risalah Islam. Dan seperti inilah, menurut Ghazali, seharusnya sikap non-muslim—jika tidak langsung menerimanya—saat pertama kali berjumpa dengan Islam dalam bentuknya yang benar.
Seorang penulis terkenal penganut Mu’tazilah asal Bahsrah, ‘Amr ibnu Bahr al-Jahiz, disinyalir meyakini bahwa orang Yahudi, Nasrani dan ateis—bahkan mereka yang mengalami perjumpaan dengan risalah Islam dalam bentuknya yang benar, namun tidak menangkap bahwa iya harus bersikap mencari lebih dalam soal risalah Islam—juga dimaafkan. Ini didasarkan pada surat Al-Baqarah, ayat 286:
لا يكلف الله نفسا إلا وسعها (….الأية)
Artinya: “Allah tidak akan membebani seorang jiwa melebihi kemampuannya”.
Dengan demikian satu-satunya non-muslim yang tidak terselamatkan—menurut Jahiz—adalah mereka yang berjumpa dengan risalah pamungkas dan mengetahui bagaimana seharusnya sikap seharusnya setelah itu.
Menurut Al-Ghazali pandangan ini bukan tidak masuk akal, melainkan hanya tidak mendapat dukungan dari nash. Menurutnya, keimanan memang urusan hati, namun perlu dipahami bahwa Tuhan juga menganugerahkan akal untuk manusia agar bisa mengapresiasi risalah Islam. Hal ini tampak pada non-muslim yang beragama secara buta mengikuti orang tuanya. Pengikut buta ini mengalami perjumpaan dengan risalah pamungkas dan mengenal mukjizat-mukjizatnya namun gagal untuk menerimanya. Sehingga penjelasan yang pas untuk mereka adalah pengendap penyakit hati, sebagaimana disebutkan dalam al-Quran “pada hati mereka terdapat penyakit” (QS. 2:10).
Rujukan Kitab: Faishalu at-Tafriqoh, Al-Iqtishad, Al-Mustashfa min Ilmi al-Ushul, Ihya Ulumi ad-Din.