Apabila tesis-tesis Kuntowijoyo tentang ‘generasi muslim tanpa masjid’ mulai terbukti satu per satu. Kini masyarakat sedang bergerak menuju situasi keislaman yang semakin tidak menentu. Masjid berbondong-bondong dibangun begitu megah dengan desain canggih, di pelosok-pelosok daerah, di hampir seluruh Indonesia.
Ada yang ganjil dari pembangunan masjid itu, bukan solidaritas jamaah, melainkan, kebanyakan kasus memperlihatkan bahwa masjid dibangun atas dorongan personal. Orang-orang kaya di kota ataupun desa menjadikan pembangunan masjid ini sebagai kontestasi, tidak buruk, tetapi sebagai generasi muslim moderat, kita harus melihatnya secara kritis.
Banyaknya jumlah tempat ibadah umat Islam di sini, telah melahirkan fenomena masjid tanpa imam, ada banyak sekali masjid yang tidak memiliki jamaah, kadang kala justru sepi senyap ketika waktu sholat telah tiba. Lalu, dari situ muncul beberapa pertanyaan mendasar, apa yang melatari masyarakat berlomba membangun masjid? Apa dampak dari fenomena masjid tanpa imam bagi situasi keberislaman kita?
Pertanyaan-pertanyaan kritis itu menyeruak ke permukaan seiring dengan banyaknya masalah-masalah yang ditimbulkan oleh cara kita beragama. Penulis sering sekali membayangkan, seandainya rukun Islam keempat diubah verbatimnya menjadi “membuat makmur/sejahtera tetangga dan saudara”, barangkali solidaritas dan filantropi dalam Islam akan lebih subur.
Muslim tanpa Masjid
Kuntowijoyo telah membuat ramalan kecil-kecilan tentang lahirnya sebuah generasi Islam perkotaan yang tidak lagi tergantung dengan masjid, generasi ini tidak belajar dari kyai atau ustad, melainkan dari media yang lain, secara otonom, tumbuh dengan sendirinya.
Pada masa permulaan munculnya hipotesa itu, tidak sedikit cendekiawan yang melihat secara sinis ide Kuntowijoyo yang di kemudian hari terbukti benar. Para pengkritiknya melihat bahwa gagasan tersebut tidak lain sebagai cara pandang yang ‘mengecilkan’ peran kyai dan ustad serta pengaruhnya di masyarakat.
Pandangan Kunto bukan telah ideal, melainkan menjadi permulaan dari perbincangan lebih dalam dan panjang tentang Islam di abad 21. Kita bisa menyaksikan saat ini, bagaimana anak-anak muda Islam lebih suka mendengarkan ceramah dari ustad atau kyai favoritnya melalui platform media sosial, seperti YouTube, Facebook, Twitter, dan Instagram.
Bukan hal yang aneh, jika: di taman kota, gazebo, trotoar, kendaraan umum, banyak sekali anak muda yang mendengarkan kajian-kajian dari pemuka Islam, mereka tidak lagi tergantung dengan masjid sebagai satu-satunya tempat belajar agama, mereka telah terbuka, dan membuat suasana berislam menjadi lebih dinamis.
Masjid tanpa Imam
Masjid-masjid di perkotaan saat ini, banyak sekali yang sunyi senyap ketika waktu sholat tiba. Tidak lain, permasalahannya adalah tidak adanya imam atau pemimpin agama Islam yang cukup memiliki daya tarik bagi masyarakat untuk datang ke masjid-masjid itu. Masyarakat lebih nyaman beribadah di rumah.
Fenomena ini muncul karena jumlah masjid kini begitu banyak, hampir di setiap sudut kota, di Semarang misalnya, bukan perkara yang sulit untuk menemukan masjid di kota ini. Setiap rukun tetangga, barangkali, memiliki masjid untuk beribadah barang 5-15 keluarga saja, bahkan bisa lebih sedikit.
Faktanya, di beberapa tempat, masjid-masjid itu tidak dijaga atau didiami oleh imam yang benar-benar menjadi pemandu cara masyarakat berislam, layaknya situasi berislam di pedesaan. Tidak ada daya tarik, masyarakat kebanyakan justru lebih menikmati dakwah-dakwah di media digital. Ada disparitas antara berislam secara luring dan daring.
Jarak itu bukan menjadi masalah, manakala jamaah ibadah masih berdiri kokoh di setiap masjid yang berdiri gagah. Kita bisa menjumpai, betapa masjid lebih menyerupai istana yang megah di daerah Pantai Utara Jawa, di Jepara misalnya, masjid-masjid dengan menara menjulang tinggi dengan desain yang canggih, berwarna-warni begitu indah dipandang, bangunan itu, bagi sebagian orang adalah bagian dari ekspresi masyarakat berislam secara kaffah, faktanya tidak selalu begitu.
Masjid-masjid itu tidak lain sebagai ekspresi berislam secara simbolik, tidak mempengaruhi sikap kaffah seorang muslim, tapi hanya menjadi sebagian kecil lurusnya cara kita beragama. Membangun masjid baik saja, asalkan ada visi yang jelas, membangun basis intelektual muslim misalnya, atau basis Islam yang berbudaya, ada program, ada tindakan berkelanjutan.
Menjadi Muslim yang Bervisi
Kalau kita hanya mengikuti nafsu untuk membuat bangunan fisik tanpa membangun suasana kerohanian yang mapan, maka, bangunan keislaman itu tidak semakin kokoh, justru semakin rapuh. Oleh karena itu, setiap bangunan harus diikuti visi yang jelas dan jangka panjang.
Seandainya rukun Islam keempat itu lebih eksplisit secara bahasa, maka masyarakat awam akan lebih mudah menangkap makna dari rukun Islam tersebut. Islam ini sejak awal memang menjadi agama sastrawi, penuh estetika, sehingga dalam menangkap percakapan beragama, dibutuhkan proses berpikir yang dinamis.
Para pembangun masjid, khususnya dari kelas menengah atau perseorangan banyak melihat hadis “Barangsiapa yang membangun masjid ikhlas karena Allah maka Allah akan membangunkan baginya yang serupa dengannya di surga.” (HR. Muslim dalam Kitab al-Masajid wa Mawadhi’ as-Shalah).
Sayangnya, hadis di atas tidak dimaknai secara lebih dalam, pada dasarnya setiap rumah-rumah juga adalah masjid, jika masjid kita konotasikan sebagai ‘tempat bersujud’. Oleh karena itu, membangunkan rumah bagi masyarakat muslim yang miskin, juga sama artinya kita telah membangunkan mereka masjid, bahkan lebih esensial lagi, kita telah memberi mereka penghidupan dan harapan untuk masa depan.
Itu artinya, semangat beribadah yang tadinya bersifat personalistik dan individualistik, telah bergeser ke arah solidaritas dan filantropis. Islam tidak lagi menjadi ekspresi sebagian orang saja, khususnya yang mempunyai modal lebih besar. Islam adalah ekspresi solidaritas umatnya.
Oleh karena itu, catatan penting dari fenomena masjid tanpa imam adalah bagaimana kita mampu menjadi ‘muslim yang bervisi’, yaitu muslim yang mampu melihat ayat agama tidak sebatas verbatim atau letterlijk belaka, karena jika demikian, maka Islam akan semakin hampa, sulit dimaknai sebagai agama yang penuh cinta kasih kepada sesama manusia.