Terdapat banyak pendapat yang berusaha menjelaskan hasil pemilu 2024, terutama dalam soal kemenangan pasangan Prabowo-Gibran yang sudah nampak dalam hitungan lembaga-lembaga survei politik terpercaya. Argumen yang cukup sering dikemukakan adalah faktor kemenangan kandidat ini dipengaruhi oleh dukungan Presiden Jokowi dan perubahan citra Prabowo menjadi lebih santai, yang membuatnya disukai kalangan muda.
Untuk dukungan Presiden Jokowi, kebijakan bansos sering dianggap sebagai elemen dukungan yang kuat memengaruhi pilihan masyarakat. Dalam data exit poll yang dirilis oleh Indikator Politik, terlihat bahwa mayoritas penerima bansos memang memiliki kecenderungan untuk memilih Prabowo-Gibran. Namun, masyarakat yang tidak menerima bansos juga ternyata banyak yang memilih pasangan calon tersebut.
Lalu jika dilihat dari pembagian kelas sosial dalam data exit poll yang dirilis oleh Kompas, pemilih Prabowo-Gibran juga menjadi mayoritas di setiap kelas sosial. Termasuk di kelas menengah atas dan kelas atas. Hal ini setidaknya bisa memperlihatkan bahwa bansos mungkin tidak menjadi faktor utama. Selain itu, kelas menengah dan kelas atas yang dipersepsikan mendukung demokrasi, pada kenyataannya justru memilih kandidat yang dianggap merusak kualitas demokrasi.
Untuk menjelaskan fenomena ini, mungkin bisa ditengok kembali sebuah analisis dari Ariel Heryanto (2022) tentang hasil pemilu Filipina yang memenangkan Bongbong Marcos. Menurutnya, kemenangan putra Ferdinand Marcos yang terkenal otoriter itu bukan karena masyarakat lupa dengan sejarah mereka. Tapi karena ada situasi tidak puas dengan kehidupan mereka, yang menimbulkan semacam harapan pada sosok pemimpin yang tegas.
Karakteristik tegas dalam memengaruhi keputusan pemilih ini setidaknya bisa terkonfirmasi dalam data exit poll milik Indikator Politik. Dalam data yang dirilis oleh Indikator Politik pada Februari lalu, karakter pemimpin yang tegas, berwibawa, dan berlatar belakang militer menempati urutan kedua teratas dalam soal aspek yang memengaruhi keputusan para pemilih untuk memilih calon presiden dan wakil presiden secara umum.
Kemudian jika dilakukan pembacaan secara spesifik pada alasan pemilih pasangan Prabowo-Gibran, data exit poll Indikator Politik menunjukkan bahwa alasan teratas mereka adalah karena pasangan calon ini memiliki karakter tegas, berwibawa, dan berlatar belakang militer. Sebanyak 20,4% orang yang memilih kandidat ini memiliki alasan yang terkesan militeristik. Dalam data survei lain dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dirilis 25 Februari lalu, karakter tegas, berani, berwibawa, dan berlatar belakang militer juga turut menjadi faktor yang memengaruhi keputusan pemilih Prabowo-Gibran, meskipun bukan menjadi alasan teratas.
Hal berbeda terjadi pada dua pasangan calon lain. Kriteria ketegasan dan karakter yang militeristik tidak menjadi alasan para pemilih Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud ketika mereka memutuskan pilihan politik mereka. Dalam data exit poll Indikator Politik, alasan utama pemilih pasangan Anies-Muhaimin adalah karena mereka menghendaki adanya perubahan dalam kepemimpinan nasional. Sedangkan bagi para pemilih Ganjar-Mahfud, alasan terbanyak yang disebut adalah karena kandidat ini perhatian pada rakyat.
Temuan survei pasca pemilu terkait alasan pemilih dalam menentukan pilihan mereka sebenarnya konsisten dengan data opini publik yang ada sebelum pemilihan. Sebagai contoh, data survei Indikator Politik terakhir sebelum pemilu 2024 yang dirilis 9 Februari lalu, menunjukkan bahwa alasan terbanyak penentu pemilih dalam pilpres tahun ini adalah adanya karakter tegas, berwibawa, dan militeristik dalam sosok seorang calon. Nama Prabowo-Gibran menjadi jawaban yang paling banyak disebut untuk kriteria itu.
Dengan mengacu data tersebut, mungkin boleh dinyatakan bahwa sebenarnya Prabowo dalam pemilu tahun ini tampil dalam citra ganda. Pada satu sisi, ia melambungkan persona barunya sebagai sosok yang mudah digapai dengan karakter yang lebih lembut dan populer disebut gemoy. Namun, sisi dirinya sebagai seseorang yang tegas dan militeristik tidak pernah benar-benar dihilangkan. Sebagai contoh sederhana, gambar-gambar dan video Prabowo saat menjadi tentara masih banyak bertebaran di mana saja.
Cukup banyak orang sepertinya mengira bahwa kemenangan Prabowo lebih banyak ditopang oleh faktor dukungan Presiden Jokowi. Tapi mungkin saja Prabowo sendiri masih memiliki pemilih setia dan para pemilihnya di pilpres 2014 dan 2019 tidak sepenuhnya berpindah ke calon lain.
Mengapa sosok tegas dan militeristik tetap menjadi idola bagi masyarakat? Bisa jadi jawabannya ada pada pendidikan kita yang belum sepenuhnya lepas dari pengaruh milterisasi sipil. Budaya militeristik seperti upacara bendera, baris-berbaris, hukuman fisik, dan berbagai jenis pendisiplinan yang biasa ditemui di barak tentara sampai hari ini masih dengan mudah ditemui di lembaga pendidikan.
Sebuah riset yang dilakukan oleh Institute for Research and Empowerment (IRE) dan Pact Indonesia pada tahun 2000 menemukan bahwa militerisme tanpa disadari telah menjadi normalitas dalam kehidupan sehari-hari warga sipil. Salah satu contohnya adalah idealisasi citra lelaki dalam karakter yang militeristik, dengan berbadan tegap, berotot, dan berambut cepak yang sering dipertontonkan di media televisi. Hal ini bisa dilihat sebagai bentuk ekspansi militerisme dalam kesadaran sipil.
Untuk konteks pendidikan, pengaruh militerisme sudah berlangsung sangat lama dan mengakar kuat dalam dunia sekolah. Wujud paling gamblangnya adalah adanya keyakinan sejumlah masyarakat yang menganggap upacara bendera dapat berkhasiat dalam mendidik kedisiplinan, semangat cinta tanah air, dan kerelaan berkorban demi bangsa dan negara pada generasi muda.
Dengan terus berlangsungnya reproduksi nilai-nilai militerisme dalam kehidupan sipil di banyak institusi pendidikan, tidak mengherankan jika kemudian ada sebuah kepercayaan dalam masyarakat, bahwa pemimpin negara harus memiliki citra ideal dalam ukuran nilai militerisme. Hal ini mungkin bisa terlihat dari kecenderungan para pemilih muda dalam pemilu 2024.
Dalam data demografi pemilih yang ada di exit poll Kompas, mayoritas Gen Z dan Milenial memilih Prabowo-Gibran. Dalam data ini, 65,9% Gen Z memilih pasangan kandidat ini, bahkan dalam data exit poll milik Indikator Politik, angkanya mencapai 71%. Generasi ini merupakan generasi muda yang mendapat pendidikan di era reformasi, sebuah kurun waktu yang semestinya sudah bisa menanggalkan militerisme dalam kehidupan sipil.
Jadi, meskipun banyak pendapat yang menyatakan bahwa pemilih muda tertarik dengan citra gemoy, namun data opini publik yang menunjukkan alasan pemilih ternyata tidak menunjukkan adanya dampak signifikan perubahan citra gemoy sebagai faktor penentu tingginya raihan suara. Justru, citra sebagai orang yang tegas dan militeristik menjadi salah satu alasan paling banyak disebut.
Mungkin saja, citra gemoy berpengaruh untuk menarik perhatian di awal, terutama dalam budaya media sosial generasi muda saat ini, dan selanjutnya kecenderungan nilai-nilai serta kepercayaan yang sudah ada dalam kesadaranlah yang lebih menentukan. Tentu argumen ini perlu diuji lebih lanjut, dan data-data yang sudah ada bisa menjadi petunjuk.
Harapan pada ketegasan di tengah krisis dan ketidakpuasan kehidupan sehari-hari sering muncul di banyak tempat, termasuk di tanah air. Adapun bagi korban pembangunan dan kesulitan ekonomi di era pemerintahan Presiden Jokowi, alasan mereka memilih calon yang mendeklarasikan diri menjadi penerus program rezim saat ini mungkin terbangun atas alasan-alasan yang kompleks.
Namun jika meminjam analogi Ariel Heryanto tentang rakyat Filipina yang memilih Bongbong Marcos, mungkin banyak di antara warga bersikap seperti korban kekerasan yang masih bisa kembali untuk tinggal bersama dengan pelaku kekerasan itu. Belum ada jawaban sederhana atas apa yang terjadi di pemilu tahun ini, tapi setidaknya bisa menunjukkan bahwa militerisme masih tinggal di pikiran banyak orang.