Fathur Roziqin
Penulis Kolom

Penulis adalah mahasiswa prodi manajemen zakat dan wakaf dan Kader Intellectual Movement Community UIN KHAS Jember.

Membaca tanpa Tuntutan

membaca buku

Serial sebelumnya, saya menulis tentang penyebab mengapa peserta didik di Indonesia malas membaca buku, tidak gemar membaca. Tulisan tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa membaca buku selama ini diartikan sebagai kebutuhan belajar peserta didik (juga mungkin guru dan orang tua, meski tidak semua guru dan orang tua beranggapan demikian, bedanya guru, dalam konteks “sebagian” ini, membaca untuk menjawab tantangan mengajar muridnya).

Saya ulangi kembali, dalam arti lebih spesifik bisa dipahami, bahw aktivitas membaca buku selama ini, diartikan sebagai kebutuhan atau keterpaksaan pemenuhan mendesak peserta didik membaca untuk menjawab soal-soal pelajaran sekolah yang diberikan guru. Maka untuk bisa (pun jikalau itu mampu) menjawab soal-soal tersebut peserta didik dituntut untuk membaca buku pelajaran seperti LKS, buku paket, atau buku bahan ajar lainnya.

Jelas tuntutan “membaca untuk belajar” tersebut perlu dipertanyakaan: Apakah dengan sistem “membaca buku untuk belajar” tersebut mampu menuntun atau dapat membentuk karakter peserta didik dikemudian hari mencintai membaca buku dengan riang gembira? Apakah aktivitas membaca dengan keterpaksaan tersebut dapat menyangkut di kepala seiring berjalannya waktu? Berapakah ketahanan lama hasil membaca dengan keterpaksaan itu, hasil tuntutan membaca menjawab soal-soal pelajaran tersebut?

Jawabannya mungkin relatif lama atau sebentar saja atau mungkin membenarkan dugaan saya selama ini bahwa potensial memberi pengalaman dan pemahaman kepada peserta didik bahwa “membaca buku yang berarti belajar” itu sekadar pemenuhan kebutuhan sesaat untuk menjawab soal-soal pelajaran yang diberikan. Dan mungkin peserta didik gagal membaca dengan riang gembira dan tidak menemukan manfaat apapun dari aktivitas membaca buku tersebut. Demikianlah persoalan ini kiranya sulit membentuk karakter pembelajar peserta didik Indonesian gemar membaca buku.

Baca juga:  Ahlam Mustaghanami, di antara Cinta dan Revolusi

Dan itulah alasan mengapa saya, yang serial sebelumnya menulis esai, menulis “membaca untuk bersenang-senang” sebaiknya ditanamkan dan dipahami peserta didik atau guru dan orang tua (yang beranggapan demikian tentu saja) bahwa membaca selain untuk belajar juga penting dipahami dan diterapkan sebagai membaca untuk memproduksi kegembiraan peserta didik adalah upaya menuntun dan mengantarkan dunia kreatif-cemerlang di masa mendatang kiranya dapat membentuk karakter jati diri pembelajar sesungguhnya.

Sebab, sebagaimana kita tahu, tidak semua peserta didik tiap pagi berangkat ke sekolah memiliki niatan yang sama (untuk membaca buku pelajaran); barangkali mereka berangkat ke sekolah ada niatan lain hanya ingin kumpul bersenang-senang bersama kawan sejawatnya.

Maka penting kemudian menumbuhkan pemahaman dalam menghadapi tipikal peserta didik demikian “menuntun selara dunianya” bahwa membaca buku pun bisa menjadi alternatif bersenang-senang menjelajahi semesta dunianya. Dan ungkapan bahwa “membaca adalah membuka jendela dunia” ialah kiranya perlu diterapkan ke dalam sistem pemahaman “membaca untuk bersenang-senang” ini.  Dengan demikian, peserta didik tidaklah alergi gemar mencintai membaca dan menyentuh berbagai bahan bacaan yang dapat mengantarkannya dunia pengetahuan luas.

Sebab pula bahwa segala tuntutan (dalam arti luas) membaca, kata banyak kawan saya sewaktu sekolah formal dan kawan hari ini, ialah segala jeratan membaca yang melahirkan ketakutan menghadapi tantangan hari esok hasil produk dari lingkungan yang membentuk kita dengan sistem keterpakaan yang dapat menghambat untuk bisa melangkah lebih bebas dan maju lebih jauh. Dan kebebasan memilih bahan bacaan yang kita gemari saja, adalah sebuah keniscayaan yang tidak perlu orang tua maupun guru melarangnya sebab setiap kita mencintai dunia yang kita geluti.

Baca juga:  WR Supratman: Lagu dan Waktu

Maka, membaca tanpa tuntutan dengan membebaskan diri memilih bahan bacaan  menurut selera dunianya masing-masing peserta didik berarti membaca tanpa belenggu kurikulum sekolah, belenggu pemahaman sempit bahwa membaca berarti untuk belajar, adalah kiranya perlu merubah paradigma membaca sebuah buku demikian kepada peserta didik bahwa membaca untuk bersenang-senang dan bermain-mainlah dengan riang gembira.

Dengan paradigma pemahaman membaca demikian, kita tidak lagi terkungkung oleh tuntutan keterpaksaan membaca “harus buku ini” yang dapat menjerat siapapun alergi (untuk tidak mengatakan benci) terhadap aktivitas membaca buku yang menghambat mencintai semesta pengetahuan itu.

Akhir kata, membaca selayaknya menyenangkan, pun-juga-belajar, selayaknya memberi kegembiraan menjelahi pengetahuan apapun tanpa kungkungan, tanpa keterpaksaan dan tuntutan sistem “membaca untuk belajar” yang menjerat semangat belajar bersenang-senang riang gembira adalah keniscayaan yang patut digalakkan di lingkungan lapisan masyarakat Indonesia.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top