“Lebih baik merasa tersesat di jalan yang benar dari pada merasa benar di jalan yang sesat.” – D. Zawawi Imron
Kemunculan aliran sesat dalam islam sudah terjadi sejak masa lampau, yaitu awal permulaan islam selepas wafatnya nabi Muhammad SAW, tepatnya waktu pemerintahan Abu Bakar. Pada masa itu sebagian kelompok mempunyai pendapat tidak adanya kewajiban zakat karena wafatnya nabi, sehingga Khalifah Abu Bakar terpaksa memeranginya. Setelah itu muncul problem nabi palsu –Musailamah Al Kazzab, yang mencetuskan dirinya sebagai penerus nabi Muhammad SAW. dan mencari relawan untuk menyebarkan ajarannya. Namun nahas, ajarannya tidak terlalu mendapat simpati dan dukungan dari publik sehingga keberadaannya menghilang dengan sendirinya.
Pada masa khalifah Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib serta masa pemerintahan setelahnya, kerap kali muncul kelompok yang mengecap dirinya islam namun hakikatnya ajaran atau alirannya menyimpang dari dasar ajaran islam.
Aliran sesat di Indonesia tak dapat dipastikan waktu pertama kali kemunculannya, sebab minimnya dokumen maupun manuskrip yang menjelaskan hal tersebut. Namun yang jelas Indonesia menjadi ladang yang subur bagi tumbuh dan berkembangnya aliran sesat. Tercatat oleh PBNU pada tahun 2001 sampai 2007 sekitar 250 aliran agama yang menyimpang di Indonesia. Dan entah, dewasa ini sudah berapa banyak aliran yang berkembang.
Keberadaanya memang perlu diperhatikan, pemikirannya yang sesat barang tentu bisa merasuki sekitarnya. Sehingga pantaslah diadakan pencegahan terhadap perkembangannya.
Namun, Perilaku pemuka agama dan negara dalam menyikapi aliran atau ajaran yang ‘dianggap sesat’ memerlukan peninjauan ulang tentang kebebasan dan hak-hak individu di negara. Setiap kali ada kelompok atau aliran baru yang muncul, reaksi yang diekspresikan oleh pemuka agama dan negara nampak terlalu berlebihan. Jika bukan dengan cara menghakiminya langsung, masyarakat dengan berbondong-bondong menuntut pihak yang berwenang untuk memberangusnya.
Selepas kasus Al-Qiyadah Al-Islamiyah, pengusiran terhadap kelompok syiah, serta penyerangan terhadap anggota Ahmadiyah adalah bukti kongkret kelompok minoritas mendapat kekerasan dan permusuhan dari kelompok mayoritas. Dengan pemberitaan yang tidak adil media massa cenderung lebih berpihak agama status quo, serta ikut mengamini label sesat pada kelompok minoritas.
Padahal kelompok agama atau keyakinan bukanlah orang jahat atau gerakan makar yang harus diberantas tuntas. Namun, mereka memiliki hak kebebasan menganut agama atau keyakinan apapun dan telah dilindungi oleh undang-undang. Secara jelas konstitusi menjelaskan pada pasal 29 ayat 2 “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu”. Fatwa atau perilaku apapun yang menegasikan kontsitusi yang telah berlaku perlu ditilik kembali.
Salah satu alasan yang sering dikemukakan oleh pemeluk agama mayoritas -dalam islam misalnya, ajaran baru dianggap “meresahkan” bagi masyarakat. Dan harus ditindak secara hukum, pihak berwajib lumrahnya dipanggil untuk menindak kelompok minoritas dengan alasan yang sangat problemastis. Mengapa dikatakan problematis? Sebab kata meresahkan tidak hanya dimiliki oleh kelompok minoritas. Siapa saja berpotensi meresahkan masyarakat, pemuka agama mayoritas sering kali juga melakukan tindakan yang meresahkan masyarakat, Majelis Ulama Indonesia sering kali meresahkan masyarakat dengan fatwa mereka, larangan menghadiri perayaan natal bagi orang yang hidup di lingkungan non muslim misalnya.
Para polisi atau aparat keamanan semestinya menilik kembali cara mereka menghadapi isu-isu keagamaan. Selayaknya mereka tidak memposisikan diri melindungi kelompok mayoritas. Namun sebaliknya, pihak minoritaslah yang berpotensi besar diabaikan hak-hak asasinya. Agama serta keyakinan termasuk hak asasi yang dilindungi oleh undang-undang. Tugas polisi atau aparat melindungi kelompok minoritas dari kelompok lain yang berusaha memberangusnya. Mereka semestinya tidak memihak pada kelompok mayoritas untuk memberangus kelompok minoritas. Sebab penegak hukum bekerja tidak berdasar pada jumlah manusia, melainkan atas dasar kebenaran.
Kategori sesat adalah warisan dari abad pertengahan yang terus berkembang hingga dewasa ini. Pengkategoriannya pun melalui fatwa ulama dengan melihat praktik ajarannya yang dianggap menyimpang dari dasar agama. Sedangkan polisi atau aparat tidak bisa menghukum kepada kelompok aliran yang dianggap sesat. Sebab mereka tidak melakukan tindak kriminal apapun.
Jika mengaca pada fenomena terjadi, seakan adagium di awal yang diutarakan D Zawawi Imron –pak De sapaan akrabnya, mengungkapkan kejadian yang terjadi sekarang. Tidak sedikit orang merasa dirinya benar dalam perilaku, ucapan dan pola pikirnya tanpa menyangka sebenarnya dirinya sedang berada dalam jalan yang sesat. Kelompok minoritas memperjuangkan ajarannya dengan militan sebab merasa bahwa itu adalah sebuah kebenaran yang harus diperjuangkan tanpa merasa bahwa sebenarnya pola pikirnya menyimpang dari dasar keyakinan yang benar. Dan sebaliknya, Polisi atau aparat bekerja untuk menegakkan hukum dengan membela kebenaran, namun andai bukan itu yang dijadikan acuan atau bahkan bayaran yang dibela, pastinya mereka akan merasa benar tapi di jalan yang sesat.
Ketimbang harus merasa benar di jalan yang sesat mending merasa tersesat namun di jalan yang benar, layaknya kita –para santri yang belajar agama setiap waktu, namun terkadang masih merasa bahwa diri kita perlu mencari suatu kebenaran. Walaupun dalam ekspektasi dan iktikad dari penulis, semoga tak ada yang terjerumus dalam keduanya dan semoga selalu berada di jalan yang benar. Aamiin