Dalam propaganda politik modern, kita mengenal istilah “firehose of falsehood”, sebagai teknik propaganda yang mengumbar kebohongan secara masif dan simultan melalui media luring maupun daring yang dikuasai oleh kepentingan penguasa yang mengendalikannya. Upaya untuk mereproduksi kebohongan publik, menakut-nakuti dan membikin keraguan yang memengaruhi otak bagian tengah (amigdala) yang amat tanggap terhadap emosi untuk menyerang lawan-lawan yang tak disukainya.
Memproduksi informasi fiktif, hoaks dan fitnah, kemudian menyebarluaskannya dalam bentuk gambar, teks, audio-visual, dan belakangan disulap menjadi data-data biometrik yang dimanipulasi untuk suatu motif dan kepentingan tertentu. “Akan saya khianati seluruh dunia, sebelum ada orang berkesempatan mengkhianati saya,” inilah pernyataan sikap dari sang politikus dalam novel berjudul Romance of the Three Kingdoms (Luo Guanzhong). Pernyataan tersebut sebenarnya ajaran klasik dari teknik propaganda angkatan perang, yang kemudian berulang-ulang kali dipraktikkan oleh penguasa militer, khususnya di negeri-negeri dunia ketiga.
Bangsa Indonesia mestinya mampu mengenali teknik yang jitu dipermainkan Orde Baru di sekitar tahun 1965 untuk menggulingkan kursi kepemimpinan bapak bangsa kita, Soekarno. Sikap intoleransi sebagai naluri bawaan masyarakat konservatif cenderung memandang pihak dan kelompok lain sebagai rival yang harus disingkirkan. Otak tengah manusia Indonesia (amigdala) disetting sedemikian rupa, hingga memandang liyan sebagai musuh yang mengancam dan mengganggu, karenanya layak untuk dinilai dan dipandang secara ekstrem.
Ketidakseimbangan amigdala, dapat memengaruhi pikiran manusia sedemikian tajamnya, sampai-sampai memandang pemikiran siapapun dianggap bukan levelnya. Kita masih ingat obsesi penguasa Orde Baru berikut elit penguasa di bawahnya, yang berani mengorbankan ratusan ribu manusia Indonesia, hanya karena perbedaan paham dan ideologi yang dianggap sebagai ancaman.
Di belahan dunia lain, banyak spesies manusia telah punah oleh praktik-praktik genosida yang diabadikan oleh monumen sejarah, sebagai bukti dari sifat dasar intoleransi manusia, yang semuanya berpangkal dari ketakseimbangan otak tengah (amigdala) yang disetting oleh penguasa mereka. Padahal, para bapak bangsa kita telah menggagas cita-cita pendidikan manusia Indonesia, adalah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa
Seorang psikolog kriminal, Robert D. Hare menjelaskan tentang sifat dan kelainan emosional pada jiwa seorang psikopat dan pelaku terorisme. Sehaluan dengan novel Pikiran Orang Indonesia, khususnya pada karakteristik Arif dan teman-teman seperjuangannya, pikiran mereka seakan tumpul hingga mereka tak lagi memiliki suara-suara batin. Dilihat dari tesis neurosains yang berkembang akhir-akhir ini, dapat disimpulkan bahwa mentalitas Arif tak ubahnya dengan manusia yang memiliki cortex prefeontal (otak depan) yang tidak berkembang normal, hingga fokus pengembangannya pada otak bagian tengah yang tak terkontrol dengan baik.
Terkait dengan ini, masyarakat konservatif cenderung mudah menerima berita bohong (hoaks) karena adanya dorongan dari dalam diri untuk membiarkan hal-hal yang sebenarnya salah dalam mengambil-alih keputusan. Mereka lebih mengutamakan emosi ketimbang berpikir rasional, dan karenanya cenderung mencari jawaban yang mudah dan instan, yang dianggap paling sesuai dengan preferensi dirinya dalam keyakinan politik.
Kita bisa saksikan di media sosial, betapa banyak orang yang tak berkompeten, bahkan tak memiliki kapasitas apapun, tahu-tahu seenaknya menyerang orang-orang yang otoritasnya sudah diakui publik, dan telah memiliki banyak kerja dan karya. Sedangkan, para penyerang itu belum memiliki karya apapun yang bisa diakui dalam sejarah (publik), tetapi karya satu-satunya yang dianggap kompeten, ya soal kegemaran “menyerang” dan ingin “melumpuhkan” pihak yang dianggap lawannya.
Hanya sebatas itulah prestasi yang dia banggakan, dan kadang tidak sedikit “orang-orang dungu” yang menjadi pengikutnya. Padahal, mereka tahu dalam banyak dalil agama, bahwa ada kebenaran yang pantas disampaikan ke publik. Tetapi, tidak sedikit kebenaran yang tak perlu dipublikasikan menyangkut soal kemaslahatan dan ketentaraman hidup berbangsa dan bernegara. Ada etika jurnalistik yang harus didahulukan sebelum kita mengandalkan estetika maupun kebenaran informasi belaka.
Sekali lagi perlu ditegaskan, bahwa rasa khawatir dan takut yang disusupkan ke dalam pikiran, akan mudah menyerang amigdala dalam struktur otak manusia, hingga rasa takut itu dapat membentuk bangunan kekuatan yang cenderung menyerang pihak yang ditakutinya. Inilah kekuatan yang digunakan propagandis untuk menyusupkan pembenaran, hingga masyarakat dipaksa untuk meyakininya.
Terkait dengan ini, bila kita setback ke era tahun 1965-an, kebenaran sejarah tentang seluk-beluk G30S semakin terbuka di tengah maraknya arus informasi yang berkembang saat ini. Kita masih ingat berita-berita santer melalui harian Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata, Soeharto sebagai pentolan Orde Baru menyatakan: “Pembunuhan para jenderal yang paling menyedihkan terletak pada dugaan penyiksaan dan pemotongan alat kelamin oleh pemuda dan wanita komunis.” (Anderson & McVey, 2001).
Pernyataan politik yang mengandung propaganda itu, serta-merta menyulut amarah massa dan mengundang kepanikan. Sementara itu, Presiden Soekarno berupaya menenangkan dan meluruskan informasi, dengan membantah adanya aksi mutilasi berdasarkan penelitian ilmiah dari hasil visum kedokteran. Tetapi, berita-berita hoaks saling bertebaran, begitu cepat merebak ke seluruh pelosok negeri, hingga kebenaran yang valid dan ilmiah menjadi terkalahkan.
Akibat berita-berita hoaks yang menyebar luas itu, bandul pertarungan kekuasaan elit politik, akhirnya berayun kepada Orde Baru yang kemudian mengesahkan Soeharto dari Angkatan Darat, sebagai presiden Republik Indonesia. Pada dasarnya, penciptaan kabar burung tersebut berfungsi untuk memanipulasi sifat emosional masyarakat konservatif. Sehingga, melahirkan stimulus pada amigdala-amigdala puluhan juta manusia Indonesia.
Proses perkembangan otak suatu bangsa yang “tidak normal” inilah yang melahirkan segala ekstrimitas di berbagai kalangan akhir-akhir ini. Masyarakat seakan tidak diberi ruang untuk berpikir rasional hingga otak depannya (cortex prefrontal) tidak berfungsi dan berevolusi secara alami. Tak ubahnya dengan manusia primitif di zaman batu, yang kerjanya saling memburu mangsa-mangsa (rival) politiknya. Hanya siklus lingkaran setan yang terus-menerus berpindah dari satu ekstrim ke ekstrim lainnya.
Kadang kita sering melihat orang berkoar-koar di atas panggung, menjelek-jelekkan presiden dan wakilnya. Orang itu merasa dirinya berada dalam satu level (maqam) dengan presiden, lalu merasa berhak menjelek-jelekkannya. Jika kita telusuri apa motif dan kepentingannya, sudah jelas. Kalau bukan ekonomi, kekuasaan, pengakuan publik dan popularitas, yang membuatnya bersikap genit dan ganjen semacam itu. Penceramah atau ulama sekelas Abdullah Gymnastiar, Said Aqil Siradj atau Arrazy Hasyim, tak akan melakukan hal semacam itu. Karena mereka memahami prioritas dakwah, bahwa membuka aib, berghibah dan memfitnah, adalah perbuatan keji yang diharamkan oleh agama.
“Ketakutan dan kepanikan akan adanya hantu komunis adalah bagian dari kemiskinan jiwa sebagian masyarakat, akibat ketidakseimbangan otak dan pikirannya. Hal ini akan menimbulkan delusi paranoid, hingga skizofrenia, yang ujung-ujungnya semua orang dan setiap benda mati di sekitarnya akan dituduh PKI. Padahal, komunisme tak pernah menjadi penguasa di negeri ini,” demikian orasi Hafis Azhari, pengarang novel Pikiran Orang Indonesia saat acara bedah bukunya di pesantren Al-Bayan, Rangkasbitung, Banten (baca: kompas.id, Memahami Skizofrnia dari Karya Sastra).
Dominasi sistem limbik (amigdala) dalam struktur saraf otak manusia, bukan saja merupakan penemuan neurosains yang bersifat saintifik, tetapi sekaligus penemuan mutakhir dari persoalan-persoalan agama di era milenial ini. Bahkan, Hafis Azhari mengajukan pertanyaan kepada hadirin: “Apakah Abdurrahman bin Muljam, yang tetap membenarkan tindakan anarkisnya setelah membunuh Ali bin Abi Thalib, karena kecemburuan terhadap Fatimah ataukah sekadar kebencian kepada Ali yang dinilainya telah menyelenggarakan negara dengan kemampuan akal pikirannya? Ataukah diakibatkan bertemuanya kedua ekstrim itu?”
Sebab bagaimanapun, ketidakseimbangan sistem limbik dan otak tengah (amigdala) dapat menumpulkan otak depan (cortex prefrontal) yang membuat kecerdasan seseorang tak mampu menentukan prioritas baik dan buruk. Ia akan termakan oleh rasa cemas, dengki, cemburu dan irihati, hingga mencapai taraf frustasi dan putus asa. Jika ia menghinggapi kalangan seniman atau sastrawan, kerjaannya hanya sibuk berfantasi dan berimajinasi tentang macan, singa, ular berbisa, lubang buaya, dan segala tetek-bengek menyeramkan, yang seakan-akan siap menerkam dirinya. Padahal, barang dan bendanya tak pernah ada di hadapannya.
Celakanya, jika dia seorang figur publik, yang akan sibuk cari duit untuk mengompori orang-orang agar takut dengan macan-macan di sekelilingnya. Itulah garis besar dari pernyataan Hafis Azhari perihal Republik Pengidap Skizofrenia yang dituangkan dalam novel terbarunya, “Jenderal Tua dan Kucing Belang”.
Dalam novel itu digambarkan tentang orang yang mengalami ketakseimbangan sistem limbik (amigdala) yang berlebihan, sehingga memiliki kecenderungan untuk mencintai hingga ke tafar mengultuskan, bahkan memusuhi liyan hingga ke taraf amarah, caci-maki dan membinasakan. Dalam konteks inilah kita memasuki konsep Tauhid yang lemah pada suatru bangsa yang menyatakan diri Berketuhanan Yang Maha Esa.
Padahal, mencintai tokoh agama hingga Rasulullah sekalipun, tak boleh berlebihan sampai-sampai menafikan rasa cintanya kepada Allah? Apalagi orang-orang narsis dan genit yang merasa dirinya “hebat” berdakwah sana-sini, padahal dia lebih mencintai sorban, minyak wangi, tasbih, rosario, keris yang memiliki kesaktian, hingga jubah dan jenggot bertuah?
Kini, setiap menjelang pemilu di negeri ini, gejala-gejala akan munculnya proses pendangkalan berpikir selalu saja hadir di sekitar kita. Pihak penguasa, termasuk pihak yang menyerang kekuasaan, terus saja memainkan retorika berpikir dangkal, mengumbar kebodohan dan ketakutan massa. Karena mereka memandang pola dan cara-cara seperti itulah yang dianggap valid, dan mudah dijadikan dagangan komoditas politik yang menggiurkan.
Tak ada inovasi dan desain cerdas untuk melakukan revolusi dan terobosan perubahan. Cukup dengan seragam kuntul baris yang menjadikan “kebebasan berpikir” sebagai metode satu-satunya yang akan mengantarkan mereka menjadi binatang-binatang buas. ***