Setelah kita bahas bersama empat pantangan dari delapan perkara yang dinasihatkan oleh al-Ghazali dalam kitab Ayyuhal Walad di tulisan sebelumnya. Kini, akan kita obrolkan empat anjuran sisanya.
Agar seorang ahli ilmu bisa merengkuh manisnya ilmu dan terhindar dari keburukan (Arab: afat)-nya, maka ia harus memperhatikan empat anjuran al-Ghazali dalam kitabnya tersebut, yaitu ikhlas, simpatik, arif, dan selalu cukup atas dunia.
Pertama, ikhlas. Kata ini ringan bagi lisan namun berat bagi hati. Pernahkah ada terbesit tanya, mengapa surat 112 di Alquran dinamakan ikhlash? Abdullah B Mubarak menjawab, karena di dalamnya terkandung makna pembersihan atas dzat Allah dari segala aib, sekutu dan anak. Ini adalah tauhid, dimana manusia beriman harus bersih dari sikap mendua ketika meyakini Allah.
Sekarang banyak orang yang tidak tulus. Sering berada di dua niat, termasuk ahli ilmu. Buktinya, saat ini para pendidik atau ulama masih saja ada yang masih tergoda aspek duniawi selain ukhrawi. Sebagian alim di zaman ini, ketika menulis buku, tidak sedikit yang masih mempersoalkan jumlah imbalan diterima, di luar niat menyebarkan ilmu.
Padahal dulu, ahli ilmu itu tak mementingkan harta ketika menjadi juru ilmu, lihat kitab-kitab dari para alim yang di mukadimah selalu mengutamakan niat agar mendapat rida Allah dan kebermanfaatan ilmu. Mereka tidak mementingkan hak cipta atau royalti dari karya ilmiahnya itu.
Pengajar ilmu di zaman ini, juga sebagian masih melihat seberapa besar sekolah dan perguruan tinggi menghargai jasanya setelah ilmunya diajarkan kepada murid-muridnya. Atau negara memperhatikan kesejahteraan hidupnya, menuntut hak “pahlawan tanpa tanda jasa” adar ditukar dengan nominal atasnama profesi. Bukannya tidak boleh, tapi lagi-lagi ikhlas itu urusan niat yang letaknya di hati.
Kedua, simpatik. Ilmu itu harus melahirkan sikap bijaksana. Seorang berilmu berarti telah merengkuh kebijaksanaan yang menjadikan dirinya mudah bersimpati. Artinya, mudah bagi cerdik pandai untuk ikutserta merasakan perasaan orang lain ketika dalam keadaan senang dan susah. Rasa simpatilah menjadi penyebab munculnya sikap belas kasih dan keperdulian, itulah bijaksana. Seorang alim akan mudah mengerti penderitaan sesama.
Al-Ghazali mengutip hadis muttafaqun ‘alayh ketika memberi gambaran atas profil cerdik pandai yang simpatik. Rasulullah berkata, tidaklah menjadi mukmin di antara kalian sampai ia dapat menyayangi saudaranya (sesama manusia) sebagaimana halnya kepada dirinya sendiri. Coba, hal ini diperhatikan betul. Yakin, tidak bakal ditemukan kasus-kasus kekerasan di dunia pendidikan. Seorang alim yang simpatik akan mudah memahami kesalahan-kesalahan dan kenakalan murid-muridnya, juga ihwal orang awam yang mungkin tidak sejalan dengan keyakinan ilmunya.
Ketiga, arif. Arif adalah buah dari ilmu. Karena ilmunya, seorang alim akan merasa semakin tahu kekurangan dan kebutuhannya terhadap Allah yang Maha Tahu. Ketika ahli ilmu semakin tahu kelemahan diri, ilmu itu yang kemudian menuntunnya agar rendah diri (tawadlu’), tidak jumawa dan pongah. Barang siapa tahu ihwal dirinya, ia telah sampai pada derajat makrifat. Artinya, tuhan itu dikenal dengan ilmu yang membawa diri makhluk tahu akan kesempurnaan-Nya.
Faktanya, tidak jarang ahli ilmu terpeleset oleh pengetahuan yang telah diperoleh. Lalu menjadi sombong dan angkuh. Seolah tak ada yang lebih tahu darinya. Hikmah dari kisah Nabi Khidir dan Nabi Musa bisa jadi pengingat bahwa di atas langit masih ada langit, dan di atas segalanya ada Allah yang Maha Perkasa. Oleh karenanya, ilmu hati itu penting dikuasai sebelum merengkuh ilmu lahir seperti fikih, kalam dan lainnya. Bahkan, al-Ghazali berpandangan jenis ini hukumnya wajib individual, sementara lainnya hanya wajib kolektif, atau tuntutannya sebatas tahu tata cara beribadah.
Keempat, cukup atas dunia. Cobaan dunia itu bisa menjerumuskan ahli ilmu ke dalam hal yang gelap. Tamak dapat membutakan ketajaman mata hati. Nabi berdoa, ya Allah jadikanlah rizki keluargaku sebatas cukup. Doa ini berarti menunjukkan pilihan nabi untuk tidak serakah. Sebab keserakahan itu pintu menuju kelaliman. Sudah banyak amsal dari sejarah manusia, bahwa tirani itu lahir dari keinginan yang tak pernah dibatasi. Tidak ada kata cukup untuk berkuasa.
Sekelumit dari renungan atas nasihat-nasihat al-Ghazali dalam kitabnya Ayyuhal Walad setidaknya menjadikan kita wawas diri. Jika di antara pembaca ada yang mengaku bagian dari cerdik pandai, maka bukankah berat amanah ilmu itu, sehingga perlu berpikir jauh apakah kita sudah pantas disebut alim? Ini mudah diucapkan tapi sulit dilakukan, bukan?