Sepak terjang perempuan dalam bidang dakwah ternyata tidak bisa diragukan. Perempuan ternyata seringkali memiliki peran ganda baik di sektor privat maupun publik. Kesan umum perempuan yang masih banyak dijumpai terkait stigma perempuan sebagai entitas yang hanya di sumur, dapur dan kasur, tidak berlaku bagi Sitti Maimunah binti Abd. Wali. Seorang guru ngaji dan penceramah terkenal pada masanya, yang akrab dengan panggilan Sitti Maimunah. Ia adalah istri dari KH. Djauhari Joyo Saputro, seorang kiai lokal dari desa Karang Kedawung, Kecamatan Mumblusari, Kabupaten Jember.
Konon, Sitti Maimunah lahir pada tahun 1931. Pendidikan agama di masa kecilnya, ia labuhkan secara informal ke pesantren Darul Ulum (sekarang menjadi pondok pesantren Al-Falah, Silo). Saat itu, ia merupakan seorang perempuan muda yang berani dan tidak pemalu dan pembelajar yang luar biasa. Ia belajar agama secara langsung kepada Kiai Abdul Wali (ayahnya), dan Al-Quran kepada ibunya, Nyai Muja’i.
Pada tahun 1950-an ia mondok di Pesantren Annuqayah, Sumenep dan ngaji langsung kepada kiai Ilyas bin Syarqawi dan kiai Abdullah Sajjad bin Syarqawi. Bersamaan dengan itu, KH. Basyir Abd. Sajjad (W.2017) sedang nyantri ke Sidogiri, ketika itu Sitti Maimunah sendiri cukup akrab dengan kiai Basyir.
Di Pesantren Annuqayah, ia mengaji dan memperdalam ilmu Qiraah, skill da’i dan menguatkan bacaan teks-teks kitab berbahasa arab (kitab kuning). Tidak heran kemudian, setelah itu ia menjadi fasih Qiraatul al-Quran serta ketika terjun di masyarakat seringkali diundang untuk berceramah dalam acara-acara keagamaan. Khususnya kegiatan di Fatayat dan Muslimat NU di daerahnya.
Sitti Maimunah suka berdakwah, perjumpaan pertama dengan suaminya pun (Kiai Joyo) juga ketika dalam acara Muslimat MWC NU kecamatan Mumbulsari. Suatu ketika dalam sebuah pengajian diceritakan bahwa para jamaah (perempuan) yang mendengar bacaan al-Qurannya Sitti Maimunah pasti menangis, kemerduan suaranya dengan dibarengi kekuatan spiritualnya semakin menambah daya magis terhadap jamaahnya. Ia juga dikenal sebagai ahli shalawat dan dipercaya memiliki amalan Ism Daud yang mampu menggetarkan hati manusia.
Suaminya juga sosok pendakwah dan aktivis NU. Ketika musim perang dengan PKI, keduanya tetap aktif berdakwah ke masyarakat. Bersama Kiai Joyo, Sitti Maimunah seringkali mengunjungi pesantren Sukorejo Situbondo untuk meminta Jaza’ (amalan untuk kekebalan) kepada KH. As’ad Syamsul Arifin. Di masa itu, Kiai As’ad dikenal sebagai panglima perang melawan Belanda sekaligus benteng para pejuang penumpasan orang-orang PKI.
Secara nasab, Sitti Maimunah nyambung dengan Kiai As’ad melalui jalur ibunya, yakni Nyai Muja’i. Dakwah Islam telah menjadi sarana Sitti Maimunah dan suaminya dalam berjihad di jalan Allah Swt. Tahun 1995, ia menikah dengan Kiai Joyo dan kemudian ikut membangun rumah tangga dengan suaminya di desa Karang Kedawung. Sitti Maimunah kemudian berdakwah di jalur-jalur dakwah kultural NU di Mumbulsari serta aktif mengambangkan dakwah Islam di Muslimat NU.
Di masa perjalanan dakwahnya, Sitti Maimunah berkawan akrab dengan para Nyai dan kiai NU dari ranting hingga Cabang Jember. Seperti Nyai Muzayyanah, istri KH. Abdul Halim Siddiq dan Nyai Nihayah, istri KH. Achmad Siddiq. Sudah jamak diketahui misalnya Nyai Nihayah ketika itu memimpin Fatayat NU selama 3 periode dan 4 Periode berturut-turut memimpin Muslimat NU cabang Jember. Ia termasuk aktivis perempuan yang cukup berpengaruh di zamannya.
Pada tahun 1990-an bersama Kiai Joyo, ia ikut serta mendirikan pesantren kecil, bernama Pondok Pesantren Nurul Masakin. Ketika itu, santrinya berjumlah sekitar 20-an orang yang berasal dari sekitar wilayahnya. Sebagai Nyai ia memiliki penguasaan literatur teks klasik keagamaan islam yang kaya. Ia menguasai dan mengajarkan kitab Sullam Taufiq, Safinatun najah, Ibrahimul Bajuri, Ta’limul Muta’allim, Durratun Nasihin, kitab Riyadus Sholihin, Ihya’ ‘ulumuddin, kitab ad-Dardir serta Bidayatul hidayah.
Di NU sendiri, ia menggerakkan dan memberdayakan perempuan di daerahnya sebagai jama’ah dan jam’iyyah sekaligus. Meminjam bahasa Fathorrahman JM (2016), bahwa jama’ah NU adalah komunitas masyarakat yang memiliki karakteristik unik di tengah-tengah masyarakat yang majemuk. Sedangkan Jami’yyah merupakan wadah formal untuk jam’aah yang dilengkapi dengan AD/ART yang bersifat formalistik.
Sitti Maimunah telah melebarkan sayap dakwahnya dengan mengaktifkan pengajian ibu-ibu tiap minggu di kediamannya. Hal ini dalam rangka mengedukasi tentang Islam Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan berupaya mengguyupkan para ibu-ibu di tengah kesibukan mereka sebagai perempuan domestik dan pekerja sekaligus.
Di tengah perjalanan panjang dalam dakwahnya, ia dipanggil keharibaan-Nya diumur 87 tahun pada dini hari di rumah sakit Bina Sehat Jember, 23 Mei 2018. Innalillahi Wa Inna Ilaihi Roji’un.