Di tengah pandemi covid-19 cum new normal ini, pesantren di Indonesia menjadi sorotan publik terkait dengan bagaimana manajeman protokol kesehatan yang diterapkan di dalamnya. Pasalnya, banyak pesantren yang sudah mulai mengembalikan para santrinya ke pesantren. Hal ini kemudian menimbulkan polemik di ruang publik, terkait dengan penanganan protokol kesehatan ala pesantren.
Sebagian besar Pesantren telah berusaha menerapkan protokol covid-19 sesuai dengan kondisi zonanya masing-masing. Karena Pesantren sendiri tidak bisa lepas dengan konteks kerumunan, karena pesantren merupakan tempat belajar bersama dan berkegiatan yang bersifat komunal. Di tengah pesatnya kemajuan insfratruktur dan manajemen pesantren di Indonesia, mobilitas dan akselerasi santri di suatu pesantren pun semakin luas, santri tidak hanya berasal dari satu daerah saja, tetapi dari berbagai daerah.
Pada bulan Juli-Agustus biasanya merupakan momen kembalinya santri ke pesantren, pasca musim liburan semester dan hari raya. Dalam kondisi new normal ini, pesantren berbeda-beda dalam disiplin melawan covid-19. Dalam konteks ini, sebenarnya terdapat tiga madzhab pesantren dalam merespon pandemi covid-19. Pertama, pesantren yang mengembalikan santri ke pesantren dengan mengikuti protokol kesehatan dengan tanpa mengaktifkan proses pembelajaran di dalam pesantren.
Kedua, pesantren yang mengaktifkan proses pembelajaran dengan tetap menjalankan protokol kesehatan dengan penyediaan hand sanitizer serta wajib bermasker. Sedangkan yang terakhir, adalah pesantren yang mengangggap pandemi covid-19 hanya konspirasi belaka, dan pesantren model ini menjalankan proses pembelajarannya tanpa menerapkan protokol kesehatan covid-19.
Dari tiga model di atas, kebijakan pesantren sendiri cukup random dalam merespon covid-19. Sedangkan di tengah kondisi seperti ini, sejatinya dibutuhkan koordinasi dan satu komando dalam mereduksi penyebaran virus korona di ranah pesantren. Berdasarkan informasi dari berbagai media, pesantren telah menjadi locus covid-19 karena beberapa pesantren telah terjangkit covid-19, salah satunya adalah pesantren Sempon di Wonogiri, Jawa Tengah yang mencuat pada awal Juli yang lalu dan Santri positif korona dari Kajen Mergoyoso, Pati yang kian hari semakin bertambah, sebagaimana dilansir dari Patinews Cyber Media (09/08).
Dilema Pesantren
Pesantren adalah lembaga pendidikan informal yang mayoritas merupakan bagian dari lembaga otonom di bawah naungan Nahdlatul Ulama yang terwadahi dalam Rabithoh Ma’had Islamiyah (RMI) PBNU. Dalam merespon covid-19, Asosiasi Pesantren (RMI) dalam payung NU ini telah menjadi khodim-nya pesantren-pesantren di Indonesia untuk melakukan koordinasi dan komunikasi dalam mengampanyekan protokol kesehatan bagi pesantren. Selain itu, RMI ini juga menjadi volunteer untuk memberikan bantuan kepada pesantren yang membutuhkan alat medis covid-19.
Sebenarnya, lembaga pemerintah melalui Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (PD Pontren) Kementrian Agama RI telah mengumumkan akan memberikan bantuan khusus untuk penanganan Covid-19 kepada pesantren-pesantren di Indonesia, pada 17 Juli 2020 di Jakarta. Dana yang akan dikucurkan oleh Pemerintah ini sebesar Rp. 2,559 Triliun bagi 21.173 Pesantren. Jumlah ini terdiri dari 14.906 pesantren dengan kategori kecil (50-500 santri) yang mendapatkan bantuan sekitar Rp 25 Juta. Kemudian terdapat 4.032 pesantren dengan kategori sedang (500-1.500 santri), yang akan mendapatkan bantuan sebesar Rp 40 Juta.
Tetapi sampai hari ini, pihak PD Pontren Kementrian Agama RI masih belum mendistribusikan bantuan tersebut. Proses yang dilakukan oleh mereka masih pada tahap verifikasi data, belum ke tahap distribusi bantuan pendanaan. Padahal dalam kondisi adaptasi kebiasaan baru ini, bantuan tersebut sudah cukup mendesak dibutuhkan oleh kalangan pesantren. Apalagi di tengah masih belum diaktifkannya proses pembelajaran di ranah pendidikan, pesantren bisa saja secara mandiri dan berani mengambil kebijakan untuk mengaktifkan kegiatan pesantren agar proses ngaji santri tidak vakum lagi.
Sebagian besar Pesantren masih dilema dalam situasi yang tak menentu ini, kebimbangan kalangan pesantren menghadapi covid-19 pun semakin terasa pasca meninggalnya Gus Kamil, putra dari Almagfurllah Kiai Maimun Zubair, yang meninggal akibat covid-19 pada hari Minggu, (12/07/2020) di rumah sakit RUSD dr. Soetrasno, Jawa Tengah. Pesantren kemudian berusaha untuk semakin memitigasi diri dalam melawan pandemi covid-19.
Dalam konteks ini, setidaknya ada dua langkah yang bisa diupayakan oleh pesantren di tengah dilema dalam proses aktualisasi pembelajaran. Pertama, pesantren jika ingin tetap mengaktivasi pembelajaran di tengah suasana adaptasi kebiasaan baru, harus menjalankan protokol kesehatan dan melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah terkait. Selain itu, mobilitas para santri juga harus dijaga dengan ketat oleh pihak pesantren, kalau perlu berkoordinasi dengan pihak RMI PBNU untuk meninjau langkah-langkah antisipatif yang perlu dilakukan dalam memutus mata rantai covid-19 di Pesantren.
Kedua, jika secara geografis pesantren tertentu berada di dekat zona merah covid-19, jangan kemudian pesantren tersebut memaksakan diri untuk mengaktifkan proses pembelajaran di dalamnya. Karena bisa jadi langkah tersebut akan berpotensi menimbulkan korban positif baru. Pesantren jangan sampai gegabah dalam mengambil suatu keputusan dan kebijakan. Pesantren harus mengikuti anjuran dari pemerintah dan berkoordinasi dengan RMI PBNU untuk menjalankan prosedur kesehatan di era new normal ini.
Akhirnya, pesantren harus tawakkal, dalam hal ini ikhtiar untuk melawan pandemi covid-19. Agar pesantren tetap bisa survive dalam menjalani pembelajaran di tengah pandemi. Semoga.