Menurut saya, ajaran Islam didasarkan pada dua prinsip dasar: Pertama, penyembahan kepada Tuhan, dan kedua pelayanan kepada sesama manusia. Dalam hal ini melakukan amal saleh. Karena tanpa mempraktikkan kedua prinsip ini, tidak akan ada pemenuhan yang sempurna dari kewajiban agama seorang muslim.
Islam menanamkan dalam diri setiap muslim semangat cinta (hāb) dan hormat kepada seluruh manusia tanpa pandang bulu. Dalam sebuah hadis, Nabi SAW mengajarkan bahwa kita harus berbuat baik kepada sesama dan dengan begitu Allah akan mencintai kita.
Dalam kitab Matsnawi karya Jalaludin Rumi terdapat sebuah kisah menarik yang bisa kita jadikan pelajaran.
Jadi, suatu waktu, ketika nabi Musa A.S. baru saja turun dari Gunung Sinai, seorang tiba-tiba datang dan bertanya kepada Musa, “Apakah kau bisa mengundang Tuhan datang dan makan malam bersama kita?”
Mendengar itu Nabi Musa spontan marah, “Kita tidak bisa mengundang Tuhan untuk datang makan malam. Tuhan tidak butuh makan malam. Dia tidak terbatas. Tuhan melampaui batasan kebutuhan akan makanan. Selain itu Tuhan tidak memiliki mulut. Tuhan jauh melampaui bentuk ragawi manusia! Tuhan tidak seperti kau dan aku. Tuhan ada dimana-mana dan Tuhan adalah segalanya.”
“Apa kau yakin kita tidak bisa mengundang Tuhan untuk makan malam bersama kita?” Tanya orang itu lagi.
“Ya!” Jawab Nabi Musa singkat.
Ketika Nabi Musa kembali lagi ke Gunung Sinai, Tuhan langsung bertanya tentang undangan tersebut. Nabi Musa lalu berkata, “Aku bilang kepada mereka bahwa Kau tidak dapat makan.”
Tuhan lalu berkata, “Tidak, Musa. Kembalilah dan katakan kepada mereka untuk menyiapkan jamuan untuk-Ku besok sore dan Aku akan datang.”
Mendengar itu Musa cukup terkejut. Bagaimana ia harus menjelaskan ini kepada kaum-Nya bahwa Tuhan akan datang makan malam bersama mereka? Padahal ia sudah memberitahu mereka dengan tegas bahwa Tuhan tidak makan dan minum. Tuhan tidak punya mulut. Dan Tuhan tidak sama seperti manusia. Namun, mengingat ini adalah perintah-Nya, Musa pun menuruti perintah tersebut dan akan menyampaikan pesan-Nya kepada kaumnya.
Usai mendengar kabar yang baru saja Musa sampaikan bahwa Tuhan akan hadir di jamuan mereka, semua orang tentu saja sangat senang. Mereka pun menyiapkan sebuah pesta besar keesokan harinya. Para juru masak membuat hidangan terbaik, dan semua orang ramai-ramai sibuk mempersiapkan pesta tersebut.
Lalu, di tengah-tengah kemeriahan dan kesibukan persiapan pesta mereka, tiba-tiba seorang lelaki tua datang. Lalaki itu nampak kelaparan. Dia bertanya, apakah dia bisa mendapatkan beberapa makanan atau minuman? “Aku kelaparan.” Kata pria tua itu.
Nabi Musa pun dengan tegas menjawab, “Maaf. Hari ini Tuhan akan datang untuk makan malam di sini. Tunggu sampai Tuhan datang. Tidak seorang pun yang boleh makan sebelum Tuhan datang!” Akhirnya, para juru masak menarik pria tua itu untuk ikut membantu, dan menyuruh pria tua tersebut mengambil air.
Tak terasa waktu yang sudah ditetapkan pun tiba. Waktu terus begulir, dan malam semakin larut, namun Tuhan tak kunjung datang juga. Makanan mulai menjadi dingin. Semua orang menunggu dengan gelisah. Tentu saja semua yang hadir di situ langsung mengeluh kepada Nabi Musa:
“Apa kau berbohong kepada kami? Pertama kau mengatakan bahwa Tuhan tidak makan, lalu kau bilang Tuhan akan datang untuk makan malam bersama kita, tapi sampai sekarang Tuhan belum juga muncul. Nabi macam apa kau ini?” Nabi Musa yang malang itu pun terdiam. Karena dia tidak tahu harus berkata apa.
Keesokan harinya, Nabi Musa kembali lagi ke Gunung Sinai dan mengeluh, “Wahai Tuhan, aku sudah mengatakan kepada kaumku bahwa Kau tidak makan. Kemudian Engkau mengatakan akan datang makan malam bersama kami, tetapi Engkau tidak juga muncul.”
Tuhan lalu menjawab: “Aku sudah datang, Musa. Aku kehausan dan kelaparan, tetapi tidak seorang pun memberiku sesuatu untuk dimakan atau diminum. Lelaki tua yang datang dari gurun pasir kemarin adalah salah satu hamba-Ku dan ketika kalian memberi makan hamba-Ku, kalian juga sudah memberi-Ku makan; sewaktu kalian melayani hamba-Ku, kalian pun juga sudah melayani-Ku.”
**
Ini merupakan pelajaran penting. Dari kisah di atas, paling tidak kita belajar beberapa hal. Pertama, jika seseorang ingin menemukan Tuhan, pertama-tama dia harus membuat dirinya layak untuk itu dengan cara memberikan bantuan kepada orang lain, atau kepada mereka yang membutuhkan.
Kedua, kisah ini juga mengingatkan kita bahwa bentuk ibadah atau pelayanan kita kepada Tuhan tidak muluk hanya tentang sholat, haji, atau bentuk ibadah lain yang umum kita ketahui, tapi menolong atau melayani orang lain juga adalah salah satu ibadah. Karena dengan melayani makhluk Tuhan, kita juga melayani Tuhan dan pelayanan itu adalah ibadah.
Ketiga, kisah ini juga mengingatkan kepada kita bahwa apapun yang kita pikirkan tentang Tuhan sesungguhnya tidaklah sempurna, karena apa yang kita pikirkan dibatasi oleh konsep dan sudah terdistorsi oleh berbagai batasan dan kelemahan manusiawi kita.