Pada mulanya adalah kata, ujar Alkitab. Tapi, “Seorang penyair percaya pada mulanya adalah pembacaan,” tulis GM.
Dan GM sebermula adalah seorang penyair meskipun tentu saja memiliki berbagai atribusi dan dimensi lain. Dalam amatan saya, GM nyaris selalu menjadikan puisi sebagai moda pemikrannya –dalam tulisan, lisan, maupun lukisan– untuk meraba kebenaran, mendedahkan persoalan, termasuk mendekati Tuhan.
Apakah yang khas dari seorang penyair dengan moda puisi dalam perihal Tuhan ini, katakanlah jika dibandingkan dengan moda lainnya, seperti sufisme dan filsafat ?
Hasrat utama dari moda sufisme adalah menyatu dengan Tuhan, menghilangkan diri untuk melebur bersama Sang Kekasih. Dalam moda sufisme, “aku” tak perlu ada dan segala kemelekatan kepada apapun ‘yang selain Dia’ mesti dilepaskan, termasuk kemelekatan pada tubuh dan pikiran. Pada moda sufisme, agama dalam wujud perangkat aturan atau syariat tak pernah mengalahkan tujuan yang lebih besar, yaitu Tuhan itu sendiri.
Sementara, moda filsafat bertujuan utama mempertanyakan, memeriksa dan memahami keberadaan Tuhan dan agama secara rasional. Di sini ‘aku ‘ hadir, berdiri setara, menatap Tuhan dengan jarak. Jarak menjadi sesuatu yang krusial, karena tanpa jarak kita tak bisa menatap. “Aku” dengan moda filsafat bisa percaya ataupun menolak Tuhan, namun kesimpulan kerap tak sepenting proses memahaminya.
Sedangkan moda puisi mengenali kehadiran Tuhan dan pengalaman keberagamaan, tidak melulu menggunakan rasionalitas, melainkan juga melankoli dan ketakjuban. Moda puisi sekubu dengan sufisme ketika meyakini bahwa selalu banyak jalan menuju Tuhan, dan bahwa kata ‘jalan’ itu saja sudah mengisyaratkan ‘suatu proses yang terus mengalir, terus terjadi.’ Tapi “aku” dalam moda puisi selalu hadir, karena dahaganya mengenali dan menamai segalanya dengan bahasa. Dalam mendekati Tuhan. moda puisi bisa saja mengungkap rindu menyatu, tapi tak selalu, karena memang bukan itu muara yang dituju. Dalam mengenali kehadiran Tuhan, moda puisi tak luput dari pertanyaan-pertanyaan filosofis, tapi memahami bukanlah ambisinya yang utama.
Moda puisi tak pernah memaksa mengerti. Ia hanya tak ingin klise.
Sang penyair muda itu –yang meninggalkan tradisi dan bahasa ibunya bak si Malin Kundang– juga telah menjadi Malin Kundang di hadapan doktrin-doktrin agama dan cara-cara tradisional dalam berurusan dengan Tuhan. Sejak belia, GM berdiri menjadi manusia modern, yang melangkah keluar tradisi, seraya menolak pemutlakan dan kemutlakan.
Dunia modern adalah dunia yang kehilangan magisnya, ujar Weber, dan seiring dengan itu adalah penghilangan rasa “mistis” tentang kehadiran Tuhan. Tapi dengan menggunakan moda puisi, barangkali kita masih dapat mengenali kehadiran Tuhan pada segala sesuatu—“karena bukankah kemana pun kau berpaling, ada wajah Tuhan? “ (QS. Al Baqarah 115)– dengan sesekali merinding terharu.
Moda puisi -yang konsisten kita temukan pada karya-karya GM– ini mengayakan, karena metafor-metafor puisi selalu terbuka pada beragamnya kemungkinan tafsir, bahkan yang menyangkal dirinya sendiri. Puisi adalah bahasa yang dipadatkan, ujar Susan Sontag, tapi kita tahu pada benda padat itu ada jarak antarpartikel, ada kekosongan yang memungkinkan pelepasan dan pertukaran, juga rahasia. “Bahasa juga bahasa yang dipilih Tuhan, dibentuk oleh bolong dan keinginan.”
Pada moda puisi yang memerhatikan komposisi, keserasian rima, atau rupa, ada upaya mencapai keseimbangan, juga keindahan meskipun “tiap karya adalah permainan dengan kegagalan.”
Tapi pada proses mencipta itu, kita tumbuh.
Dengan moda puisi, GM melahirkan sudut pandang yang orisinal dan ungkapan yang segar, dan sesekali lucu. Kita diajak bersentuhan dengan Tuhan yang punya banyak sekali rupa dan kemungkinan. Bahwa Tuhan tak hanya hadir dengan cahaya, wibawa dan keagungan, tapi juga pada “serpihan kayu yang tersisadan lapisan yang lepas ketika papan dirampat ketam,” pada yang gelap, terbuang dan remeh. Dan bahwa kita bisa saja mendatangiNya dengan bernyanyi seperti Tagore. Dan menari bersamanya, karena Tuhan bisa saja menari seperti yang dikatakan Nietzsche.
Pengembaraan GM dalam mengenali kehadiran Tuhan membawanya mengarungi lautan referensi —puisi-puisi Amir Hamzah hingga Iqbal, pemikiran tradisi Islam -Al Ghazali dan tradisi Katolik – Marion, kegetiran para dewa mitologi Yunani hingga pergulatan karakter-karakter dunia perwayangan, sembari mengurai pertanyaan, pemikiran dan sudut pandangnya sendiri. Lalu kita bisa memilih melanjutkan perjalanan, pembacaan dan pertanyaan-pertanyaan kita sendiri, sebab GM mengajukan tanpa mendesakkan.
Tuhan yang ‘selesai’
Jika ada moda puisi, berarti ada pula moda antipuisi yang kerap digunakan oleh sebagian besar masyarakat kita, bahkan para penyairnya.
“.. (Misalkan) seorang penyair membicarakan kehidupan sebuah taman, kebun. Apa yang dibicarakannya tentang bunga-bunga di sana? Saya kira banyak penyair bisu..” ujar GM di wawancara dengan Ulumul Quran, 1992.)
Di awal 90-an, GM menyoroti di masa orde baru “terjadi birokratisasi bahasa, sehingga bahasa direnggutkan dari kehidupan yang konkrit”. Di kemudian hari, GM menamainya sebagai “deartikulasi”, yakni ketakmampuan mengartikulasikan perasaan dan pikiran lewat kata-kata. Moda antipuisi bergerak seiring pemiskinan bahasa.
Ludwig Wittgenstein mengklaim bahwa batas bahasa saya berarti batas dunia saya. Maka kemiskinan bahasa kita dapat berpeluang membatasi imajinasi dan rentang pandang. Ketika moda antipuisi digunakan untuk mendekati Tuhan, kita barangkali mendapatkan kepastian, satu jalan lurus dan lempang. Tidak ada penafsiran yang berbeda. Maka, tidak ada pertanyaan, tidak ada bantah. Kami dengar maka kami taati, kata sebagian pemeluk teguh. Tapi moda puisi mendengarkan kesunyian, juga kata-kata dengan lebih dari seribu cara.
GM menyoroti bagaimana sebagian pemuka agama menjelma menjadi ‘teknokrat iman; yang merancang panduan paling benar agar manusia selamat dari godaan, murka Tuhan, dan panasnya api neraka.’ Mereka kerap lupa bahwa seberapa pun berusaha mengkaji dan mengaji, tak akan pernah sebenarnya mampu menyusur dan mengukur kehendak Tuhan.
“Yang tak disadari para imam, tapi disadari para penyair adalah bahwa hal itu tak gampang. Hidup selalu terkait ‘bumi.’ Dan bumi seperti kata Heidegger, ‘menghantam tiap usaha untuk menembusnya. Bumi menampi;lan diri hanya ketika ia tetap tak terungkap dan tak terjelaskan.’ “
Tapi kita semua akrab dengan hal seperti itu, godaan untuk mengendalikan, lalu mengutuk dan tak jarang menghakimi bila hal-hal terjadi di luar kendali. Dan pada saat itu, kita kemungkinan sedang menggunakan moda antipuisi.
Moda antipuisi juga menggunakan bahasa, namun biasanya lebih tertib, juga klise, karena ia mengulang, demi setia pada garis yang sudah ditetapkan. Oleh siapa? Oleh orang-orang sebelum kita, para pendahulu yang telah menempuh perjalanan dan mencatatkan pembelajaran mereka. Jika para pendahulu mendekati Tuhan dengan penuh ketakutan, maka orang-orang setelahnya -dengan moda antipuisi- akan mengulanginya, memperkuat, bahkan melembagakan ketakutan tersebut.
Tak ada yang salah dengan apapun pembelajaran dari perjalanan orang-orang sebelum kita, juga tak ada yang salah dari menjadi gentar. Persoalan baru dimulai ketika semua itu dianggap selesai dan menjadi suatu kepastian, karena pada saat itu kita membekukan kemanusiaan dan mengerdilkan kemahabesaran Tuhan. GM kerap mengutip filsuf Perancis Jean-Luc Marion ketika berbicara tentang ‘berhala konsep.’
Kita menyelesaikan Tuhan ke dalam konsep yang kita yakini, lalu menyembah konsep tersebut, dan jika sampai lebih jauh lagi, mengutuk dan menghadang orang-orang yang menolak menyembah konsep kita. Dan itulah yang terjadi pada kelompok puritan yang fasis.
Bagaimanapun, menggunakan moda puisi memiliki kerentanan dan keterbatasannya sendiri. Ia barangkali tak tepat digunakan pada persoalan-persoalan gawat yang darurat. Kehati-hatian –yang pada moda puisi adalah sikap yang dirawat dan dirayakan, rawan dimaki sebagai sikap ragu yang plin-plan, yang terlalu pengecut menentukan sikap. Namun dalam konteks masyarakat yang terlalu lama mengalami pembatasan cakrawala bahasa dan pemikiran oleh penguasa –apakah itu negara maupun agama—saya percaya, kita tak ingin kehilangan moda puisi. Kita masih butuh lebih banyak memerhatikan, mengenali dan menelusuri segala sesuatu, lalu berlatih mengartikulasikannya dengan bahasa, antara lain agar kita lebih terampil menerima ironi dan tak mudah terpesona pada suguhan kalimat-kalimat hampa dan teater kerja-kerja-kerja.
Moda puisi yang konsisten pada pemikiran dan karya-karya GM inilah salah satu sumbangan besarnya dalam membangun alam pikir masyarakat Indonesia (tentu saja hanya salah satu, karena kita tahu ia sudah berkarya, membangun dan merampungkan begitu banyak hal). Indonesia, lewat dua puluh tahun setelah Orde Baru runtuh, dan kita masih berhadapan dengan warisannya yang keji, antara lain pemiskinan bahasa yang menyebabkan kedangkalan ajar dan nalar; yang akan mudah membatasi Tuhan yang akbar jadi Tuhan yang sekadar.
Tuhan tak perlu selesai. Bila iya, Ia akan mati, seperti patung-patung Raja Namrud yang mudah dihancurkan oleh kapak Nabi Ibrahim. GM meyakini itu, dan dengan moda puisi bersetia menyampaikannya pada kita melalui karya-karyanya.
Catatan:
1. Semua kalimat yang ditulis dalam tanda kutip adalah kalimat kutipan dari buku Tuhan dan Hal-Hal yang Tak Selesai (Goenawan Mohamad, Edisi Revisi, Diva Press 2019 )
2. Esei ini ditulis untuk diskusi JalanKaji.net dalam rangka merayakan 80 tahun Goenawan Mohamad