Sedang Membaca
Mengaji “Fikih Identitas” Bersama Ahmad Wahib
M. Fauzi Sukri
Penulis Kolom

Penulis buku Pembaca Serakah (2018), bergiat di Bale Sastra Kecapi dan Pengajian Malem Senin Solo, Jawa Tengah

Mengaji “Fikih Identitas” Bersama Ahmad Wahib

Pada 9 Oktober 1969, pemuda Ahmad Wahib (27 tahun) menulis catatan penuh bukan, “Aku bukan nasionalis, bukan Katolik, bukan sosialis. Aku bukan Budha, bukan Protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut Muslim.”

Catatan “penuh bukan”, dengan penolakan keras antara satu identitas terhadap identitas yang lain, lalu diakhiri dengan afirmasi konklusif penyederhanaan barangkali adalah salah satu pernyataan kegelisahan identitas terpenting sejak kemunculan modernitas dan negara bangsa (nation-state) yang melanda seluruh kawasan mayoritas Muslim pada awal abad ke-20.

Ada sedemikian banyak, besar, penuh gemuruh pemikiran dan isme ideologis, yang memperebutkan identitas seseorang, selain identitas agamanya yang telah menjadi identitas klasik. Semuanya seakan bertarung, sangat sengit, memperebutkan identitas jiwa dan pikiran manusia. Semuanya memukau, menyilaukan, merisaukan, juga membutakan barangkali.

Kita tidak bisa membayangkan pernyataan-pernyataan sedemikian keras sengit, seperti yang dialami Wahib, pada abad ke-19 apalagi pada tahun-tahun ke belakang bahkan apalagi pada zaman Islam awal. Nabi Muhammad dan para pengikut awalnya, jika kita mengingat sejarah, tidak pernah begitu bergejolak dalam menghadapi dan membentuk identitasnya.

Pilihan-pilihan identitas pada masa itu masih sangat sempit: identitas berdasarkan agama, berdasarkan asal-usul suku, atau berdasarkan kerajaan. Setidaknya, tiga kekuatan inilah yang begitu kuat membentuk identitas seseorang pada masa itu, terutama identitas agama sebagai yang paling dominan, sebagaimana juga teridentifikasi dalam al-Quran (atau dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru).

Tentu saja bagi seorang beragama, apa pun agamanya, persoalan identitas adalah hal sangat penting bahkan sangat fundamental. Tanpa identitas seakan agama tak punya wujud aktualitasnya, betapapun agama punya sifat esoteris yang hendak melampaui belenggu identitas yang sangat beragam dan mengaburkan. Barangkali, itulah salah satu alasan kenapa Nabi Muhammad tampak begitu bersemangat menciptakan identitas. Kita tahu Nabi Muhammad gemar membuat identitas keislaman yang sangat khas seperti hari libur Islam adalah Jumat, agar berbeda dengan Yahudi (Sabtu) atau Nasrani (Minggu).

Baca juga:  Sabyan Gambus (2): Pusparagam Tradisi Selawat di Indonesia

Bahkan, kita ingat, setelah perintah salat pertama diwahyukan, Nabi Muhammad berdoa agar umat Islam salat tidak menghadap ke Jerusalem, tapi menghadap ke Kakbah. Dalam agama Ibrahimi, barangkali hanya Nabi Muhammad yang sangat ‘ribet’ perihal identitas agama. Tentu, alasannya sangat sederhana: agar agama Islam yang baru bisa dan mampu punya identitas tersendiri, yang berbeda dengan Yahudi, Nasrani, atau agama lainnya pada masa itu. Di atas apa pun, identitas adalah kenyataan hidup yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan sosial manusia.

Yang sangat menarik dan menantang, ulama fikih tidak atau belum memasukkan identitas sebagai salah satu dalam maqashidusy syari’ah. Siapakah Ahmad Wahib dalam perspektif fikih berdasarkan identitas dirinya? Apakah fikih memikirkan sekuritas identitas seseorang? Bagaimana fikih menyikapi identitas nasionalitas seseorang yang sangat kuat karena sudah diindoktrinasi sejak belia, terutama saat harus berangkat berperang antarnegara seperti di Irak, padahal ada tentara Amerika Serikat yang beragama Islam dan akan melawan seseorang Muslim dan barangkali mereka bisa saja meninggal di medan perang?

Seiring perjalanan kuasa sejarah, seperti yang kita alami sekarang, kita tahu bahwa masalah identitas sudah menjadi diskursus global karena politik identitas terbukti mampu menggerakkan massa, baik dalam skala kepentingan personal, komunal, nasional, bahkan global. Keresahan utama global adalah ternyata identitas bisa menjadi pemicu kekerasan yang mengerikan.

Amartya Sen (2016), salah satu filsuf yang membahas masalah ini, menyatakan bahwa kekerasan agama berbasis identitas sebenarnya dipicu oleh sesat pikir terhadap identitas. Bagi para pelaku kekerasan, identitas hanya ada satu dan wajib satu bagi seseorang. Bukan sangat banyak, ruwet, saling berdekatan, dan terkadang satu identitas meminta prioritas dalam diri seseorang seperti yang dialami diakui Wahib.

Tentu saja, tesis Amartya Sen itu bisa disanggah secara teologis keislaman. Kita tahu, dalam teologi Islam sebagaimana selama ini diyakini, tiap orang dihadapkan satu per satu di akhirat, sebagai satu individu, bukan sebagai satu kolektivitas, apa pun identitasnya. Meski sungguh belum bisa dibuktikan tentu saja, yang jelas diyakini adalah bahwa ‘identitas’ yang dituntut di akhirat adalah identitas keislaman, bukan identitas yang lain.

Baca juga:  Perkembangan Psikologis Santri: Pesantren dan Self Healing

Masalahnya menjadi semakin menarik tapi sekaligus tambah ruwet karena identitas diasumsikan sebagai bagian integral dari individualitas seseorang. Hampir semua orang mengafirmasi asumsi itu: aku adalah aku individual. Namun, “Sebagaimana Bergson mengatakan dalam Creative Evolution, individualitas adalah persoalan jang bahkan tak sepenuhnja terlihat, sekalipun dalam hal kesatuan wudjud manusia jang tampaknja tertutup. ‘Chususnja tentang individualitas dapat dikatakan, bahwa walaupun ketjenderungan mengindividukan itu terdapat dimana-mana dalam dunia jang telah tersusun, ketjenderungan itu selalu mendapat tantangan dari ketjenderungan mereproduksi. Sebab individualitas untuk mendjadi sempurna memerlukan suatu keadaan, dimana tak ada bagian organisme jang terlepas dapat hidup secara terpisah. Tetapi apabila demikian maka reproduksipun tak mungkin terdjadi. Sebab apakah reproduksi itu, ketjuali pembentukan suatu organisme baru dari bagian jang terlepas dari organisme jang lama. Oleh sebab itu individualitas meletakkan lawannja dalam dirinja sendiri,” kata Muhammad Iqbal (1966: 64), yang mengutip Bergson.

 

Tak ada contoh yang sangat pas untuk menggambarkan secara konkret pernyataan Bergson itu selain catatan Ahmad Wahib. Pada 1 Desember 1969, kegelisahan identitas tampak masih menghantui Ahmad Wahib. Dia menulis lagi dalam catatan yang penuh bukan:

“Aku bukan Hatta, bukan Soekarno, bukan Sjahrir, bukan Natsir, bukan Marx dan bukan pula yang lain-lain. Bahkan…aku bukan Wahib. Aku adalah me-Wahib. Aku mencari, dan terus-menerus mencari, menuju dan menjadi Wahib. Ya, aku bukan aku. Aku adalah meng-aku, yang terus menerus berproses menjadi aku. Aku adalah aku, pada saat sakratul maut!”

 

Baca juga:  Imajinasi Kiai Asyhari Marzuki tentang Perpustakaan

Apakah kata ulama fikih dalam proses perjuangan “fikih identitas” yang dialami Wahib? Masalah ini tampaknya hanya bisa dihakimi oleh Allah di akhirat, bukan oleh manusia di dunia. Apalagi, jika rentang waktu historis yang kita bentang ada dalam kuasa historis peradaban, yang terus berubah dan berganti.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)
  • Alllah telah menjadikan kamu, wahai manusia beridentitas, berjati diri, yaitu berbangsa-bangsa, bersuku-suku,berbahasa-bahasa, berbudaya-budaya, beragama-agama, supaya kamu semua wahai manusia, agar saling mengenal dan berkasih sayang.Politik identitas dijinkan oleh Allah swt, bukan (Q.S. 49 :13).

Komentari

Scroll To Top