Indonesia, saat ini, sedang dikepung oleh paham ekstrimis. Salah-satu instrumen yang paling hebat melawan mereka adalah ilmu pengetahuan. Demikian penjelasan Gus Baha pada acara Muhadlarah Ammah, di PP. Salafiyah Pasuruan, yang bertemakan, “Meneladani Ulama Menjawab Tantangan Dakwah Masa Kini”. Acara tersebut digelar pada hari Ahad, 8 September 2019.
Fenomena ekspresi keagamaan yang ultra konservatif, menurut Gus Baha menuntut keterlibatan seorang dai yang mampu mengintegrasikan khazanah keislaman klasik dan kontemporer. Dalam konteks demikian, Gus Baha mencontohkan pendapat Syekh Sya’rawi sebagai ulama kontemporer.
Pada suatu hari, Syekh Sya’rawi bertemu dengan kaum ekstrimis yang akan melakukan pengeboman orang yang sedang dugem di dalam bar dan diskotik.
“Kalau betul mereka jadi mati, lalu dimanakah tempat mereka?” tanya Syekh Sya’rawi.
“Ya tempatnya di neraka sebab mereka mati kafir.”
Syekh Sya’rawi lanjut bertanya, “Jika betul masuk neraka, apakah itu keinginanmu atau keinginan Rasulullah?”
Ekstrimis menjawab dengan tegas, “Ya tidak, itu bukan keinginan Rasulullah.”
Jawaban tersebut dibantah Syekh Sya’rawi, “Jika ini bukan keinginan Rasulullah, ya tidak usah kalian lakukan.”
Opini Syekh Sya’rawi di atas, diperkuat Gus Baha dengan menunjukkan literatur klasik, berupa hadits Rasulullah, sebagai berikut:
“Suatu hari, Rasulullah didatangi seorang Badui, meminta uang pada Rasulullah. Namun orang tersebut ternyata tidak terima mengingat pemberian Rasulullah yang dianggap terlalu sedikit, sehingga Rasulullah dipojokkan dan dijelek-jelakkan di depan publik. Akhirnya Rasululah mengajak orang tersebut masuk ke dalam rumah dan diberikan uang tambahan.
“Apa ini sudah cukup?” tanya Rasulullah.
“Iya cukup. Terima kasih kamu itu orang baik.” Jawab si Badui sembari memuji Rasulullah.
Kemudian Rasulullah bersabda, “Tadi, kamu menghujat saya di depan publik, maka sekarang kamu juga harus memuji saya di depan publik.”
Akhirnya permintaan Rasulullah dilayani oleh si Badui. Namun setelah Badui itu pulang, Rasulullah bersabda, “Kalau saja ia mati setelah mengkritik dan menghujat saya, maka ia mati sebagai ahli neraka, karena berstatus sebagai pencaci maki nabi.”
Hadits di atas merupakan indikator bahwa Allah itu Maha Pengasih dan Penyayang, sehingga hanya dengan memuji Rasulullah dengan cara disuap, ditambahi uang lagi, sudah menunjukkan bahwa Islam “suapan” itu sudah sah dan legitimate. Sebab, penilaian Allah tidak sama dengan pikiran kita. Bisa jadi, menurut kita negatif, tetapi di mata Allah justru bernilai positif.
Tetapi anehnya, lanjut Gus Baha, kubu sebelah itu terlalu ekstrim dan memaksa Allah agar berpikiran seperti mereka, sehingga dengan mudahnya selalu mengklaim orang yang berbeda, mendapat stigma negatif, bahkan disudutkan sebagai penghuni neraka. Faktornya, selain karena mereka tidak tuntas mengaji kitab, juga karena rasa emosionalnya lebih tinggi dari intelektualitasnya. Mereka teramat bernafsu untuk “menyenangkan” Allah tanpa mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan.
Kesalahan Memberikan Status pada Allah
Gus Baha mengkritik kesalahan gerakan intoleran dalam memberikan status pada Allah, berdasarkan hadits Rasulullah, riwayat Imam Muslim, sebagai berikut:
“Ada orang shalih yang sedang sujud, kemudian lehernya diinjak oleh orang fasik. Lalu ia bersumpah, ‘Demi Allah, dosamu tidak akan diampuni oleh Allah.’ Kemudian Allah mewahyukan kepada Rasulullah dengan firman-Nya, “Siapa yang bersumpah atas nama Allah dengan memberi status bahwa saya tidak bisa memberi maaf, sungguh orang fasik itu saya maafkan dan bagi orang yang shalih, sungguh amal ibadahnya saya hapus.”
Hadits di atas membuktikan bahwa Allah tidak boleh distatuskan sesuai dengan keinginan kita. Seringkali kita mengentalkan identitias diri sebagai ummat yang konsisten berbuat baik dan menuduh yang berbeda sebagai pendosa dan mendapat siksa. Keyakinan semacam ini tentu kontraproduktif dengan status Allah yang berkali-kali diproklamasikan dalam Alquran, sebagai Dzat yang menyiksa (yu’adzdzib), tetapi sekaligus juga sebagai Dzat yang mengampuni (yaghfir).
Namun demikian, realitas sosial yang terjadi di Indonesia, lanjut Gus Baha, kondisi “kubu sebelah” itu suka sekali mencatut status Allah sebagai Dzat yang yu’adzdzib dan tidak pernah distatuskan yaghfir. Bagaimana Allah tidak tersinggung jika status yaghfir-nya dihilangkan. Gus Baha menyindirnya sebagai berikut:
“Fenomena ini, disikapi oleh Allah kira-kira seperti ini, “Saya ini bisa yu’adzdzib dan bisa yaghfir, lalu kenapa statusku hanya tersisa yu’adzdzib. Mereka ini ngaji dimana, khatam apa tidak? Kebanyakan orang ekstrim mensifati Allah hanya dengan status yu’adzdzib, sehingga ruang untuk menghujat dan bertindak jahat selalu terbuka lebar”.
Gus Baha melanjutkan, bahwa Rasulullah itu, sebagai manusia, tentu juga punya rasa benci, sebagaimana rasa benci pada Wahsyi karena telah membunuh Hamzah pada agresi Uhud. Akan tetapi, Allah merespon fenomena kebencian ini dengan menurunkan QS. Ali Imran: 128 yang terdapat dua pilihan redaksi, yaitu mengampuni (yatuba) dan menyiksa (yu’adzdziba). Ajaibnya, kasus Wahsyi tersebut akhirnya diampuni dosanya oleh Allah.
Karena itu, demi mengurangi gerakan ekstrimis, Gus Baha menawarkan agar para ulama tidak boleh selalu menggunakan fiqih yang berorientasi al-tafriq bain al-haq wa al-batil. Tugas para ulama, semestinya juga harus mengintegrasikan ilmu fiqih dengan tasawuf, terutama dalam bab tawadlu’. Sebab, paradigma integrasi fiqih dan tasawuf akan melahirkan pemahaman yang humanis, sehingga dapat mengurangi ekstrimisme.
Misalnya, jika bertemu dengan orang kafir, maka kita harus mengakui bahwa “Dia itu bermaksiat karena ia kufur. Saya muslim, tetapi selalu bermaksiat, berarti fa dzanbi aqbah (dosaku lebih jelek). Melihat orang yang lebih tua, kita harus berani berkata, hadza akstaru ibadatan (orang ini ibadahnya lebih banyak). Jika melihat anak kecil, kita katakan hazdza ashgaruu minni sinnan (usianya lebih muda), tentu dosanya lebih sedikit.
Model pemahaman integrasi dengan menggunakan ajaran introspeksi dan tawadlu’ konsep tasawuf, menurut Gus Baha, penting dilanjutkan dalam rangka menghalau ego ekstrimisme agama, sehingga kehadiran agama tidak berwajah menyeramkan. Gus Baha mengakhiri ceramahnya, sebagai berikut:
“Ini penting saya kemukakan. Mbok yo, orang-orang esktrim ya mikir, keinginan Rasulullah itu agar ummatnya mati dalam keadan muslim, bukan mati kafir.” (RM)