Jika sistem keimanan dimaknai sebagai konsepsi teologis tentang Tuhan, maka, seseorang bisa beragama tapi bisa saja sesungguhnya tidak bertuhan. Sebab tuhan yang dikonsepsikan bukan lagi Tuhan, melainkan sosok personifikasi yang direkayasa oleh akal menjadi suatu konsep teologis.
(Sujiwo Tejo & Dr. Muhammad Nursamad Kamba, Tuhan Maha Asyik 2, hlm. 30)
“Jangan berusaha mengingat Allah, karena ia bukan kiai yang kita pernah temui, dikagumi, lalu diingat. Cukup kerjakan yang menjadi kewajiban. Bila waktunya salat, maka salatlah. Masuk bulan Ramadhan, berpuasalah. Berzakat, jika sudah berkewajiban mengeluarkan. Haji, bila sempat. Itu saja,” kata seorang teman. Saya terkesiap dan didera kebingungan. Bukankah makhluk perlu untuk selalu mengingat penciptanya: Allah. Kenapa sekarang jadi tidak perlu?
Pertama, saya tidak sepakat dengan teman saya itu. Dalam surat Al-Ahzab: “Wahai orang-orang beriman! Ingatlah kepada Allah, dengan mengingat sebanyak-banyaknya”. Atau di surat lainnya, “Ingatlah hanya dengan mengingat Allah hati jadi tentram.” Al-Ghazali menuliskan sabda Nabi yang senada, dalam Mukhtashar Ihya’ Ulumuddin: “Seorang yang mengingat Allah di tengah orang-orang lalai, serupa seorang hidup di tengah ribuan mayat.” Guru-guru pun, saat saya sedang ngaji,sering kali mengulang-ulangi hal itu juga. Tapi, saya khawatir penolakan saya ini hanya karena sudah terbiasa dengan yang itu-itu, kemudian menjadi doktrin, dan tidak mau berfikir secara rasional.
Jika diingat kembali, Allah sendiri menyatakan dirinya sebagai “laisa kamitslihi sayun” atau tiada yang serupa dengan-Nya apapun, atau Allah itu bukan apa dan siapa. ‘Negasi’ jadi pilihan ulama-ulama, terutama pengikut Asy’ariyah dan Maturidiyah dan—hemat saya—merupakan satu-satunya peranti terbaik yang sampai kini kita miliki untuk menjawab persoalan ‘siapa Tuhan itu’ ketika dibutuhkan jawaban verbal. Allah yang ‘bukan siapa-siapa’ dan tidak sebagai ‘bukan…’ itu pula, lalu bagaimana cara mengingat-Nya? Untuk menyederhanakan maksud saya itu, bahasa Leila S. Chudori mungkin amat tepat: “Seperti warna masa depan yang tak pernah bisa kuraba.”
Berupaya keras mengingat Allah bisa berdampak fatal. ‘Mengingat’ menuntut imajinasi atau gambaran empiris. Mungkin saja, dalam proses mengingat Allah, seseorang rentan terjebak pada sesuatu yang bukan-bukan: cahaya putih menyilaukan atau dibentuk dari ingatan-ingatan lain menjadi Tuhan. Nyaris saja tersesat!
“Berpikirlah tentang makhluk Allah (saja), bukan siapa Allah itu,” sabda Nabi. Sabda nabi itu bisa jadi adalah sebuah kekhawatiran atas umatnya yang akan terlalu berlarut-larut perihal ketuhanan yang seringkali menyesatkan, apalagi sampai tidak beriman (ateis). Karena akal berbatas, meskipun batasnya tidak jelas. Sementara Allah tidak berbatas, maka ia tidak bisa dipastikan oleh akal. Maka kini, ditemui dalam beberapa kitab pedoman pokok pesantren, filsafat diharamkan atau minimal dikategorikan sebagai ilmu yang tercela dan hina—disamakan dengan ilmu sihir, perdukunan.
‘Berpikir’ dalam Islam memang mendapat banyak afirmasi, baik dari Al-Quran dan Hadis. Ayat-ayat dan Hadis kerap mempertegas itu. Ada sebuah riwayat entah dari nabi atau bukan, bahwa berpikir sejenak lebih mulia dibandingkan seribu shalat. Tapi berpikir di sini, bukan tentang ketuhanan, tapi terhadap apa yang Tuhan ciptakan.
Karena agama itu bukan sesuatu yang matematis secara keseluruhan. Ia lebih menekankan unsur emosi dan spiritualitas . “Jika agama ini adalah rasionalisme, maka mengusap sepatu (mashu-l-khuffain) yang diusap bagian bawahnya—karena kotor—bukan atasnya,” saya lupa siapa yang mengatakannya. Agama memang tidak menafikan akal, karena ia juga dibutuhkan, tapi agama serupa air harus diteguk, bukan diperhatikan.
Paul Tillich, seorang teolog Lutheran memaparkan bahwa agama sebagai the ultimate concern, sesuatu yang dalam mempengaruhi jiwa. Tidak heran agama menjadi sebab konflik-konflik bengis dan keji dalam sejarah manusia sebelum adanya revolusi teknologi, bahkan sekarang pun tetap saja begitu. Dari perkataan Tillic itu, dapat ditarik kesimpulan, agama menempatkan jiwa sebagai peranti utamanya dan akal cuma pelengkap kemudian.
Dalam bersembahyang (ibadah) Nabi memberikan wanti-wanti: “Hendaklah engkau bersembahyang seakan kau melihat-Nya. Jika tidak bisa, Ia sesungguhnya melihatmu.” Proposisi yang dinyatakan Nabi itu, tidak usai itu saja. Ia masih menyisakan sebuah konklusi yang harus dinalar secara deduktif, yaitu semua yang bersembahyang pasti Allah mengetahuinya (melihat). Tidak perlu bagi seorang yang sembahyang itu khawatir apakah Allah mengetahui sembahyangnya atau tidak. Cukup kerjakan dan hayati tiap spektrumnya.
Alkisah—dalam Masnawi—Nabi Musa ditegur oleh Allah karena telah melaknat seorang hamba yang tengah melupakan cintanya pada Tuhan. Allah ia serupakan dengan manusia dengan mengatakan, “…bolehkah aku jadi sahaya-Mu, menjahit kasut-Mu, dan menyisir rambut-Mu?…” jelas Nabi Musa pasti marah karena perkataannya tidak pantas. Hamba itu akhirnya berhenti bedoa dan lenyap di tengah sahara didera sesal yang membara.
Melihat itu, Allah menegur Musa: “Telah kau pisahkan Aku dari hambaku. Engkau datang untuk merukunkan atau meretakkan? Jangan kau memisah-misahkan; hal yang Aku benci adalah perceraian. Telah Ku-berikan pada setiap orang ekspresi tersendiri… Aku tak bergantung pada kemurnian apapun maupun najis, tak bergantung pada kemalasan maupun kegairahan sembahyang.” Kemudian Musa menemuinya lagi. Ia menyampaikan pesan Allah. Tapi sayang, Ia terlambat. Hamba itu telah kehilangan dirinya yang sebelumnya. Saya suka cerita yang dituturkan Goenawan Mohamad (Mas Goen) Tadi.
Saya sadar Allah meskipun telah dibuatkan narasi, konstruksi, dan analogi, ia tetap adalah ketidakpastian. Keyakinan (iman) berada di tengah ketidakpastian itu. Memang risiko. Tapi, Blaise Pascal, seorang apologia, mengambil risiko itu pada sebuah pertaruhan: “Kalau kau percaya (akan adanya Allah), kalau kau menang, kau menangkan segalanya.Kalau kau kalah (ternyata Allah tidak ada), kau tidak akan kehilangan apapun. Jadi percayalah jika kau dapat.” Kata,
Akhirnya, saya kutipkan kutipan Mas Goen di sebuah esainya, Gurun: “Unggahlah muatan dan berangkatlah berlayar” tulis Rumi. “Tak seorang pun bisa tahu pasti akankah kapal tenggelam atau sampai kem pelabuhan.”