Sedang Membaca
Dari Taklid ke Talfiq: Mengupayakan Islam yang Lebih Humanis
Faris Ahmad Toyyib
Penulis Kolom

Santri PP. Annuqayah Latee. Mahasiswa Tasawuf dan Psikoterapi di Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA).

Dari Taklid ke Talfiq: Mengupayakan Islam yang Lebih Humanis

pesantren

Jika kita percaya, semua pemahaman ulama dari Al-Quran dan Hadis, maka Islam serupa sebuah pohon dengan akar, yaitu dua pedoman tadi, dan pemahaman mereka  jadi cabang sekaligus ranting, yang rindang dan meneduhkan.

ياأيها الذين أمنوا إذا قمتم إلى الصلوة فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إلى المرافق وامسحوا برءوسكم وأرجلكم إلى الكعبين (المائدة: 6)

Wahai orang-orang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6)

Berawal dari ayat di atas, ulama empat mazhab mengalami perbedaan pendapat (ikhtilaf) perihal apa saja yang menjadi rukun (tata cara wajib) wudlu’. Hanafiyah menolak jika niat dikategorikan rukun. Karena melihat pada literal teks, ayat wudlu’—sebutan untuk ayat di atas—tadi tidak ada bunyi perintah niat atau instruksi dengan kata an-niyah (niat). Tapi Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanabilah menyanggah itu, bahwa pada ayat tersebut sudah ada perintah niat secara tersirat. Melakukan basuhan-basuhan dan pada salah satunya mengusap untuk melakukan salat, itu menunjukkan adanya sebuah pekerjaan karena maksud tertentu: yakni niat.

Perdebatan itu terus subur. Selanjutnya, empat mazhab itu terbagi menjadi dua kubu: Syafi’iyah dan Hanabilah yang mewajibkan tertib dalam wudlu’ (sesuai dengan tata cara yang ditampakkan pada ayat) dan Hanafiyah dan Malikiyah sebagai ‘oposisi’.

Madzhab pertama berdalih, ayat wudlu’ tidak menggunakan kata tsumma (ثم) atau fa (ف) yang bermakna ‘kemudian’, tapi wawu(و) , yaitu ‘dan’. Misalkan,  ja’a zaydun wa amrun (جاء زيد وعمرو), jadi siapakah yang datang terlebih dahulu apakah Zaid atau Amr? hal tersebut tidak jelas. Bisa Zaid terlebih dahulu, atau sebaliknya,  bersamaan. Jika diubah ja’a zaydun tsumma amr (جاء زيد ثم عمرو), maka jelas setelah Zaid datang, baru kemudian Amr. Kelompok  melakukan penalaran lebih radikal lagi. Penyebutan ‘maka basuhlah wajahmu…’ dan seterusnya sesuai dengan instruksi ayat, itu telah menyiratkan tertib. Apalagi ada pendapat Nabi yang mendukung: “Mulailah sesuatu serupa Allah memulainya.”

Baca juga:  Ketika Seorang Syaikh Disanggah Santri Muda

Seperti itulah, sebuah fragmen ikhtilaf ulama-ulama yang pada gilirannya bisa sampai terjadi perbedaan yang amat radikal dan kontradiktif  dalam al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu, karya monumental Dr. Wahbah Az-Zuhaili—polemik lebih detail dan panjang baca sendiri di buku ini. Sekarang, yang menjadi permasalahan, bagaimana cara menyikapinya dalam memilah dan memilih silang-sangkarut berjubel pendapat itu dan mempraktikannya dalam ibadah?

Secara ekstrim ada dua sikap: taklid (berkiblat) pada satu mazhab atau memilih sesuai selera dengan mengambil yang paling ringan, plinplan—istilah Gus Nadir, talfiq, bahasa fiqihnya. Untuk sikap yang kedua ini, tidak banyak mendapat anggukan ulama: setuju. Bahkan di lapangan, mereka yang talfiq mendapat sorotan sinis, atau klaim-klaim buruk yang terlalu sentimentil. Ia—mungkin salah satu alasannya—dianggap mencampur adukkan islam yang benar dan sesat atau entah saya tidak tahu alasan selebihnya. Di sisi lain, taklid juga mengalami beberapa masalah. Yang paling parah adalah melahirkan sikap dikotomis-ekstrimis (takfir) dan kaku (klabakan) menghadapi dinamika umat muslim yang semakin kompleks.

Pada tahun 2011, di Sampang, seorang anak berusia 18 tahun harus berkabung dan mengalah: “Saya memaafkan pembunuh abah (ayah)…” dan bersama 200 orang syiah lainnya berdesakan di sebuah gedung oleh raga setelah rumah mereka diamuk dan dibakar—diusir. Di Lombok, umat Ahmadiyah bernasib sama: rumah-rumah diporak poranda dan tiga orang terkapar tak bernyawa. Apa ini? Agama menjadi mala dan keji. Memang ada banyak faktor mengapa semua itu terjadi. Tapi, satu kepercayan absolut pada satu mazhab yang mewujudkan faktor-faktor lainnya itu.

Baca juga:  Kriteria Jarh yang Sah

Talfiq, saya ajukan sebagai solusi. Mungkin perlu juga untuk menjadi gerakan nasional.

Saya sepakat dengan dua ahli fikih ini menegenai hukum talfiq:

“Kalau saya memilih (menurut selera saya) pendapat al-Kammal bin al-Hammam yang secara tegas membolehkan orang plinplan secara mutlak. Alasan saya adalah di samping arti sebenarnya dari mazhab itu, juga Islam memang agama yang mudah,” kata Gus Nadir.

Dr. Wahbah Az-Zuhaili juga menerangkan, “Tidak wajib bertaklid pada mazhab tertentu. Karena bertaklid itu hanyalah mengambil pendapat orang lain tanpa mengetahui landasan dalilnya… hal yang mengkhawatirkan secara syariat, bukanlah plinplan dalam semesta pendapat mazhab-mazhab dengan memilih yang paling ringannya. Allah berfirman, “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 185)—masih banyak ayat dan hadis lainnya yang bernada sama, tapi saya lelah menuliskannya.

Jika boleh berpendapat, ber-talfiq merupakan pilihan paling rasional—sebab meniru Nabi secara utuh. Ketika terjadi pemetakan pendapat, yang ini mazhab A dan ini B, tanpa sadar pemahaman kita terhadap Nabi (agama) mulai sepenggal-sepenggal. Seakan, setiap ulama mempunyai nabinya sendiri. Pendapat yang berbeda diandaikan berasal dari sumber lain atau nabi lain, lalu dipertemukan. Padahal, tidak. Semuanya, hingga yang paling kontradiktif itu dari Nabi: pernah dikatakan, dikerjakan, dan diafirmasi.

Baca juga:  Studi Islam Politik dalam Jebakan Dikotomi Kultural

Sebuah kaidah usul fiqih: sebuah ijtihad tidak mungkin dibantah oleh ijtihad lain. Kaidah itu menampakkan bahwa status antar pendapat ulama itu egaliter. Tidak ada yang lebih unggul—tanpa saya menafikan tarjih. “Selama fatwa tersebut berdasarkan kaidah keilmuan,” jelas Gus Nadir, “tidak ada yang aneh. Kontroversi itu hal biasa. Pendapat jumhur mayoritas bisa benar, dan pendapat yang berbeda belum tentu salah.

Tulisan ini hampir habis. Tapi, sedari tadi, mungkin pembaca masih bertanya-tanya sampai mana batas cakupan talfiq yang dimaksudkan. Saya kira sudah jelas, bahwa status semua pendapat ulama itu egaliter. Tidak terbatas cuma pada empat mazhab besar dalam Aswaja, tapi ulama Syiah, Wahabi, dan lainnya semuanya sama. Jika dianggap gawat ber-talfiq lintas mainstream, sekurang-kurangnya dilakukan dalam skala lebih kecil—antar empat mazhab Aswaja sendiri misalkan.

Sehingga dengan talfiq tadi—meskipun skala kecil, seorang jadi terbiasa menyikapi perbedaan. Lebih tolerir pada kemajemukan. Pertikaian antar ras dan umat beragama yang sewaktu-waktu membutuhkan darah—khususnya pertikaian agama, setidaknya dengan ini terkurangi. Harapan yang lebih besar lagi, hingga teratasi. Semoga saja!

Maka ber-taklid pada satu mazhab sangatlah tidak masuk akal dan perlu ditinggalkan. Sebab ia—sekali lagi—melakukan distorsi, dan seringkali anarkis. Oleh karenannya, mari dari taklid ke ber-talfiq: sebuah langkah menuju Islam yang lebih humanis. Nabi berkata: “Agama ini mudah dan tidaklah seseorang memperberat agama ini kecuali ia akan kalah.”

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top